Sosoknya mengingatkan aku dengan Rifqy, sang pemilik blog Papan Pelangi.
Heee... kenapa ya?
Mungkin karena perawakannya semampai dengan janggut yang menghiasi dagu. Mungkin pula karena ia mengaku berasal dari Malang. Walaupun sebetulnya, Malang itu kan tempatnya Rifqy kuliah.
Yang jelas, aku dan pria ini berkenalan tanpa menyebutkan nama. Sapaan yang terucap dengan logat medok, jelas memberi tanda bahwa kami adalah dua orang yang bersuku sama, yang kebetulan sedang berada beribu-ribu kilometer dari kampung halaman.
Perjumpaan ini pun terjadi tanpa disengaja. Awalnya, pada Rabu sore itu (27/4/2016) aku sedang duduk-duduk di bangku serambi warung di dekat simpang tiga Batu Bersurat. Aku menunggu kedatangan angkutan ke Kota Pekanbaru.
Dari bangku serambi warung, aku mengamati truk-truk batu yang hilir-mudik melintasi simpang tiga Batu Bersurat. Aku lihat ada beberapa truk ada yang berhenti menurunkan orang. Setelahnya, truk-truk itu pun berlalu.
Menumpang truk batu adalah salah satu pilihan transportasi yang lazim dipraktekkan oleh warga setempat. Nggak hanya sebatas warga sih, pas meninggalkan Desa Muara Takus aku juga menumpang truk batu sampai simpang tiga Batu Bersurat . Begitu pula dengan pria itu. Aku lihat ia juga turun dari salah satu truk batu yang melintas.
Pria itu sempat menghampiri warung tempatku duduk. Tapi, kami nggak sempat bertegur sapa. Ia membeli sesuatu dari warung kemudian berlalu ke bangunan semacam halte di seberang jalan. Kami pun terpisah posisi sekian puluh meter jaraknya.
Sekian puluh menit berlalu, tapi bus atau superben ke Pekanbaru belum muncul juga. Di tengah kebosanan menunggu, perhatianku mendadak tertuju pada mobil MPV yang datang dari arah Payakumbuh. Di dekat bangunan semacam halte, mobil itu menurunkan penumpang. Oh, rupanya itu mobil travel.
Tiba-tiba, ide cemerlang pun muncul. Bergegas aku meninggalkan warung, menghampiri mobil travel yang sedang berhenti itu. Aku tanya ke pak sopir, apakah mobil travel ini tujuannya ke Pekanbaru? Pak sopir mengiyakan. Apakah bisa aku ikut naik? Pak sopir mengiyakan lagi. Berapa tarifnya? Rp40.000 saja katanya.
Tanpa pikir panjang, aku menyetujui harga yang disebutkan pak sopir. Masuklah aku ke mobil. Oleh pak sopir aku ditempatkan di bangku paling belakang. Aku sih terima-terima saja duduk di mana asalkan bisa tiba di Pekanbaru.
Nggak berselang lama seusai aku duduk, pria itu juga masuk ke mobil. Ia duduk di sebelahku. Rupanya, dari tadi dia juga menunggu angkutan ke Pekanbaru. Melihat aksiku melobi pak sopir mobil travel, ia pun berinisiatif melakukan hal yang serupa, hehehe.
Mobil travel pun melaju menjauhi simpang tiga Batu Bersurat. Sebagian waktu dalam perjalanan kami habiskan dengan bercakap-cakap. Mungkin para penumpang lain kebingungan mendengar obrolan kami dalam bahasa Jawa, sebagaimana kami mendengar mereka mengobrol dalam bahasa Ocu.
Pertanyaan menarik yang pertama tercuat jelas adalah mengapa kami yang notabene orang Jawa bisa “nyasar” jauuuh sampai ke Desa Muara Takus? Alasan pria dari Malang itu adalah karena ia ikut orang tuanya pindah ke sini sejak beberapa tahun silam. Kini, pria ia sudah berkeluarga, beristrikan warga setempat. Kalau alasanku, ya sudah pasti karena ingin menuntaskan misi blusukan kurang kerjaan di Sumatra sebelum berumur 30 tahun, hehehe.
Pria itu bercerita, kehidupan di Desa Muara Takus sangat berbeda dengan di Malang. Bapak si pria yang dulu bekerja di perusahaan kini menjadi petani karet. Pada waktu itu, satu kilogram sadapan karet dihargai Rp24.000. Dengan luas kebun karet yang mencapai satu hektar, pendapatan keluarga mereka melimpah ruah.
Sayangnya, harga sadapan karet pada April 2016 nggak setinggi itu. Satu kilogram sadapan karet hanya dihargai Rp9.000 hingga Rp10.000. Kata pria itu, jika harga sadapan karet naik menjadi Rp13.000 per kilogram, keuntungan yang dinikmati petani karet sudah lumayan.
Pria itu juga menceritakan seluk-beluk bertani karet. Para petani menyadap karet hanya pada pagi hari. Biasanya hanya sampai pukul 9 pagi. Hasil sadapan karet di kebun milik orang tua si pria bisa mencapai 10 kilogram dalam sehari. Hanya saja, pohon-pohon karet tidak disadap setiap hari. Jika terlalu sering disadap, pohonnya bakal mati.
Topik tentang petani karet membuat aku teringat dengan cerita Pak Sekretaris Desa Muara Takus pada malam lalu. Beliau termasuk salah satu warga yang menjadi “korban gusuran” Waduk PLTA Koto Panjang pada tahun 1994.
Kata Pak Sekdes, dahulu kala lokasi Desa Muara Takus berada di tempat yang kini menjadi Waduk Koto Panjang. Karena ada proyek pembangunan waduk untuk PLTA, alhasil warga pun bedol desa ke tempat yang menjadi lokasi Desa Muara Takus sekarang ini.
Sebagai ganti rugi, pemerintah memberi sejumlah bantuan kepada warga Desa Muara Takus. Bantuan tersebut berupa kebutuhan sembako untuk 3 tahun, kebun karet seluas 2 hektar, uang Rp3 juta, dan jaringan listrik.
Sayangnya, bantuan tersebut nggak seperti yang diharapkan warga. Pemerintah menjanjikan pohon-pohon di kebun karet dapat disadap pada usia 2 tahun. Nyatanya, pohon-pohon tersebut baru bisa disadap setelah usia 5 hingga 7 tahun.
Tanpa pohon-pohon karet yang siap disadap, kehidupan warga Desa Muara Takus menjadi sulit. Bantuan uang senilai Rp3 juta (yang pada waktu itu nilainya sangat besar) habis untuk hal-hal konsumtif karena warga belum terbiasa mengelola uang dalam jumlah besar.
Bertahun-tahun kemudian, setelah pohon-pohon karet dapat disadap, kehidupan warga Desa Muara Takus mulai membaik. Sayangnya, harga jual sadapan karet yang rendah dalam beberapa tahun terakhir membuat hidup warga kembali sulit.
Alhasil, sebagian besar warga pun mengganti kebun karet menjadi kebun sawit karena harga jual sawit lebih tinggi dari sadapan karet. Saat ini, kebun karet dan kebun sawit di Desa Muara Takus sudah hampir sama banyaknya. Selain itu, beberapa warga juga bekerja sampingan sebagai penangkap ikan.
Kembali ke obrolan dengan pria dari Malang, dia juga menceritakan beberapa hal seputar warga Desa Muara Takus. Tentang badungnya anak-anak desa dan bagaimana ia sebagai suku pendatang berbaur dengan warga setempat yang mayoritas berasal dari suku Ocu.
Selain bercerita tentang hal-hal seputar Desa Muara Takus, pria dari Malang itu beberapa kali mengeluhkan telepon pintar Blackberry-nya yang bermasalah. Gawai miliknya itu hanya bisa difungsikan untuk mengirim dan menerima pesan. Katanya sudah di-install ulang OS-nya, tapi tetap saja tidak membuahkan hasil. Suasana menjadi agak genting karena istrinya sempat menelponnya di tengah perjalanan.
SILAKAN DIBACA
Tidak terasa beberapa saat lagi mobil travel yang kami tumpangi akan merapat ke Pekanbaru. Pria dari Malang itu turun di pool mobil travel di Simpang Panam guna bertemu rekan kerja yang hendak menjemputnya. Aku sendiri turun di muka gerbang Universitas Riau, melanjutkan perjalanan di Pekanbaru di bawah gelapnya langit.
NIMBRUNG DI SINI
Rada sedih baca cerita tentang warganya. Tapi sekarang udah beralih ke sawit yaaa. Semoga bisa menghidupi keluarga mereka. :)
Iya, sekarang hampir sebagian besar warga desa di Riau menggantungkan hidup di kebun sawit Mbak. Semoga saja harga sawit nggak turun. Tapi ya sawit itu berpotensi merusak lingkungan juga sih.