Rampung sama urusan penginapan, kini saatnya aku beralih ke agenda yang dari tadi sudah aku tunggu-tunggu.
Apalagi kalau bukan... NYARI MAKAN!
Bayangkan! Demi menyeberang dari Pulau Bintan ke Pulau Lingga, aku rela menahan lapar selama 5 jam lebih! Eh, padahal pas puasa Ramadhan nahan laparnya lebih dari 5 jam ya?
SILAKAN DIBACA
Aku nahan makan itu sebetulnya untuk jaga-jaga. Khawatirku, semisal aku makan, bisa-bisa aku muntah. Lha maklum, namanya juga anak sepeda darat. Baru sebentar diombang-ambing perasaan ombak Laut Natuna saja perut rasanya sudah mual.
Aneh ya? Menurut lirik lagu, nenek moyang dulu itu seorang pelaut. Tapi, kok cucu moyangnya mabuk laut begini?
Payah... payah....
Keliling Daik? Mau Naik Apa?
Jam menunjukkan pukul 5 sore lebih sekian menit ketika aku pada akhirnya bisa melangkahkan kaki ke luar penginapan di Kota Daik. Semilir angin sore yang berpadu dengan langit yang cerah adalah kombinasi yang pas sebagai teman jalan-jalan santai.
Tapi... beberapa saat kemudian aku malah jadi ragu-ragu plus bimbang.
Yakin ini mau jalan kaki di Daik?
Mau nyari makan di mana memang?
Sebabnya, suasana dan kondisi di Daik itu nggak seperti Kota Tanjungpinang. Meskipun menyandang status sebagai ibu kota Kabupaten Lingga di Provinsi Kepulauan Riau, dalam pandangan kedua bola mataku yang Alhamdulillah masih minus 2.0 ini #nggak.nyambung, suasana di Daik itu lebih mirip dengan suasana pedesaan di Jawa.
Yang pasti adalah fakta bahwa di Daik itu nggak ada angkutan umum!
Lha kan ya bikin repot buat pelancong macam aku ini?
Sebetulnya sih, di Daik ya ada semacam angkutan umum, yaitu perahu! Tapi, naik perahu buat nyari makan kayaknya ya nggak banget deh. Apalagi kalau naik perahu kan aku nggak bisa muter-muter keliling Daik. Kalau untuk silaturahmi ke tempat warga yang bermukimnya di ujung sungai sebelah sana, ya bolehlah naik perahu.
Alhasil, seburuk-buruknya pilihanku muter-muter Daik untuk nyari makan adalah dengan berjalan kaki. Itu pun aku juga ragu-ragu. Apa masih ada ya yang jual makan di Daik sore-sore begini?
Yang benar saja kalau aku harus nahan lapar sampai pagi...
Di saat aku sedang dilanda kegalauan itu, ndilalah Gusti Allah SWT, lagi-lagi, berbaik hati memberi aku secercah harapan. Di luar bangunan penginapan, aku melihat suatu benda familier yang tersandar di tembok.
Tanpa pikir panjang, langsung aku putar balik masuk ke penginapan dan mencari si abang resepsionis. Dirinya aku dapati sedang merapikan salah satu kamar.
“Bang! Di bawah itu ada SEPEDA, boleh saya pinjam buat nyari makan?”
Si abang pun melongok dari jendela, mencari eksistensi sepeda yang aku maksudkan itu.
“Ya, pakai saja. Tapi (sepeda) itu sudah lama tidak dipakai. Tidak tahu apa masih bisa dipakai jalan atau tidak.”
“Oh ya, nanti saya cek, makasih Bang!”
Baliklah aku ke luar penginapan dan kemudian memeriksa kondisi sepeda. Alhamdulillah, kedua bannya masih terisi angin meskipun terasa agak gembos. Aku angkat sepeda dan mencoba memutar pedal. Alhamdulillah, ban belakangnya juga masih bisa berputar.
Dari pemeriksaan singkat aku menyimpulkan, sepeda made in Cina ini masih layak pakai untuk diajak berkeliling-keliling. Walaupun ya dengan sejumlah catatan. Tiang sadelnya agak pendek, nggak bisa berpindah gigi, serta remnya kurang pakem. Yang bikin aku heran, remnya sudah disc brake lho!
Bersepeda Nyari Makan Sekalian Berburu Foto
Nah, berikut ini adalah sudut-sudut di Kota Daik yang sempat aku potret sembari bersepeda sore pada Jumat (29/4/2016) silam. Bagi Pembaca yang ingin tahu seperti apa suasana dan kehidupan di pulau di pelosok Indonesia, maka Pembaca sudah blusukan di blog yang tepat!
Yuk, bersepeda sore-sore keliling Daik!
Pasar di Daik
Berjarak sekitar 100 meter dari penginapan adalah foto di bawah ini. Sebetulnya, ini itu pertigaan dengan cabang jalan ke kiri dan ke kanan. Nah, foto di bawah ini adalah foto cabang jalan yang arah ke kiri. Kalau lurus terus mengikuti cabang jalan ini nanti bakal berjumpa dengan klenteng.
Aku sendiri menyebut daerah ini dengan sebutan “pertigaan pasar”. Meskipun ya sepertinya, sebutan itu kurang tepat. Sebab, berdasarkan penuturan beberapa warga yang aku jumpai, di Daik ini sama sekali nggak ada pasar! Weh!
Tapi tetap, menurutku kawasan seputar pertigaan ini merupakan pusat aktivitas ekonomi di Daik. Di sini ada banyak kios-kios. Sayangnya, pukul 5 sore lebih sudah banyak kios yang tutup. Jadinya aku kurang tahu, apakah kios-kiosnya itu sebetulnya beroperasi semua dan menjual benda-benda apa saja.
Sebetulnya ya nggak tepat juga kalau dibilang bahwa di Daik nggak ada pasar. Aku sempat lewat suatu bangunan yang diberi plakat bertuliskan “PASAR BARU”. Tapi ya... masak bangunan semacam ini disebutnya pasar sih? Jauh banget dari bayanganku pada bangunan pasar pada umumnya.
Kalau dipikir-pikir, lumrah bilamana orang-orang lantas memilih berjualan di kios-kios yang bangunannya lebih representatif untuk berjualan. Hmmm... jadi ya dianggap benar sajalah bahwasanya di Daik itu nggak ada pasar.
Tempat-Tempat Ibadah di Daik
Seperti yang barusan aku bilang. Kalau terus mengikuti cabang jalan ini nanti bakal berjumpa dengan klenteng. Sepertinya, klenteng di Daik ya cuma satu ini deh.
Keberadaan klenteng ini menandakan bahwa Daik turut dihuni oleh warga etnis Tionghoa yang taat beribadah . Sayang sekali, gerbang masuk ke klenteng tertutup. Jadi, aku hanya bisa mengambil foto klenteng ini dari luar. Aku kan bukan orang yang hobi masuk ke tempat ibadah tanpa kulo nuwun, hehehe.
Mayoritas warga Daik (dan juga warga di Pulau Lingga) adalah suku Melayu. Umumnya, suku Melayu kan muslim. Jadi ya bisa ditebak, di Daik sini juga bisa dijumpai sejumlah masjid. Walaupun ya jumlah masjid di Daik nggak begitu banyak karena ya populasi warga di Daik kan sedikit.
Salah satu masjid yang sempat aku singgahi dan numpang salat di sana adalah Masjid Jami’ Sultan Lingga. Masjid ini merupakan peninggalan bersejarah karena merupakan masjid yang dibangun semasa Kesultanan Lingga berkuasa.
Di artikel berikutnya ya aku bakal mengupas perihal sejarah Kesultanan Lingga.
Masjid berikutnya yang sempat aku lewati adalah Surau Al-Falah. Warga setempat menyebutnya surau karena ukurannya lebih kecil dari Masjid Jami’ Sultan Lingga. Surau ini terletak di kawasan Kampung Bugis. Karena suku Bugis dikenal sebagai suku pelaut, jadi nggak heran bilamana populasi mereka juga terdapat di Pulau Lingga.
Oh iya, rasa-rasanya, ngobrol dengan warga Daik itu bagaikan ngobrol dengan orang Malaysia. Logat melayunya sama-sama kental. Hanya saja, kosakata yang dipakai mayoritas masih kosakata Melayu asli. Nggak disusupi sama kosakata serapan asing seperti yang orang Malaysia pakai.
Boleh dibilang, hanya di Daik inilah aku paling ngerti arti percakapannya orang daerah. Lha wong mereka ngomongnya pakainya bahasa Melayu kok!
Sudut-Sudut Jalan Raya di Daik
Selanjutnya aku mau ngasih lihat salah satu sudut pemandangan di Daik yang menunjukkan bahwa di Daik masih banyak tanah kosong! Singkat kata, di Daik sini masih banyak tempat buat bangun rumah!
Selama ini, karena aku hidupnya di Jawa, aku merasa kalau di Jawa ini sudah padat banget. Ambil contoh di Kota Jogja. Nyari tanah kosong untuk membangun rumah saja susahnya setengah mati. Kalaupun ada, harganya muaaahalnya selangit! Beh!
Sedangkan di Daik ini tanahnya masih turah-turah. Beberapa malah dijadikan tempat menggembala sapi. Eh, di Daik sini juga banyak sapi lho! Tapi sapinya masih sopan-sopan. Nggak seperti sapi di Aceh yang hobinya seliwar-seliwer di jalan raya. Soalnya, sapi-sapi di Daik ditali supaya nggak keliaran sembarangan, hahaha.
Hal yang membuat aku kagum di Daik adalah jalan rayanya yang lebar dan halus mulus! Nggak ada bolong-bolongnya sama sekali! Bisa jadi, karena populasi truk berat di Daik ini amat sangat minim. Mana jalan rayanya sepi pula. Seakan-akan, guling-guling di jalan raya juga nggak takut ketabrak deh!
Di dekat Masjid Jami’ Sultan Lingga ada suatu pertigaan di mana di sana terdapat lampu pengatur lalu lintas. Sepengamatanku, inilah satu-satunya lampu pengatur lalu lintas yang ada di Daik!
Pas aku lewat sana, lampu pengatur lalu lintasnya dalam kondisi mati. Tapi... sebetulnya krusial banget nggak sih ada lampu pengatur lalu lintas di Daik ini? Kendaraan kan sedikit. Jumlah mobil saja bisa dihitung jari. Macet? Nggak ada!
Bahan Bakar Minyak di Daik
Di Daik ini juga nggak ada stasiun pengisian bahan bakar umum alias SPBU alias pom bensin lho!
Meski demikian, sepeda motor-sepeda motor yang hilir-mudik di jalan raya Daik itu ya tetap diberi minum bensin. Tapi, bensinnya nggak dijual di SPBU Pertamina, melainkan di Pertamini!
Kalau Pertamina punya slogan “Pasti Pas!”, Pertamini punya slogan “InsyaAllah Pas!”
Aaamiin!
Jujur, ini bukan pertama kalinya aku lihat kios BBM yang mengusung nama Pertamini.
Kapan itu, pas mudik lewat jalur selatan di wilayah Jawa Barat, aku pernah lihat ada banyak kios penjual bensin eceran Pertamini yang pakai wadah botol kaca. Di Jambi dan Bengkulu aku juga pernah lihat ada Pertamini yang lebih maju karena sudah pakai sistem tangki dan selang. Sedangkan di Daik ini, Pertamini lebih maju lagi karena pakai sistem digital. Weleh....
Sebenarnya Pertamini itu agen remsi Pertamina untuk di wilayah pelosok bukan sih? Lha, kalau di pelosok nggak ada suplai BBM kan ya repot toh?
Harga BBM di sini juga nggak terlalu mencekik leher. Satu liter premium dihargai Rp8.000. Sedangkan minyak tanah dihargai satu liternya Rp9.000. Konsumsi bensin di sini boleh dibilang irit ya, soalnya jalanannya kan nggak pernah macet.
Eh iya, mayoritas warga Daik kalau memasak masih pakai minyak tanah. Di Daik ini gas LPG langka. Oleh karena itu, harga gas LPG yang tabung melon hijau itu jauuuh lebih mahal daripada harga minyak tanah.
Tempat Pelayanan Umum di Daik
Bicara tentang pelayanan umum, Daik juga dilengkapi dengan sejumlah sarana pelayanan umum lho!
Yang menarik perhatianku adalah Kantor Pemadam Kebakaran Kabupaten Lingga. Pas waktu itu, hanya ada 1 unit mobil pemadam kebakaran yang tampak terparkir di halaman luar. Ini menarik ya, soalnya aku sendiri jarang lihat kantor pemadam kebakaran pas blusukan ke sana-sini. Letak Kantor Pemadam Kebakaran Kabupaten Lingga ini ada di seberangnya lapangan besar.
Melihat ada kantor pemadam kebakaran beserta mobilnya seperti ini bikin aku lega. Soalnya, semisal ada musibah kebakaran di Daik, sudah tersedia unit untuk menanggulanginya.
Aku jadi teringat sama pengalamanku pas blusukan di pemukiman di pelosok perbukitan. Aku acap kali mikir, gimana ya seandainya di sana terjadi kebakaran? Mereka memadamkannya pakai cara apa ya? Soalnya kan jalan di pelosok perbukitan lumayan sulit dilalui oleh kendaraan seperti mobil pemadam kebakaran. Ya toh?
Tapi, sepengamatanku juga, di Daik aku nggak lihat ada hidran. Apa mungkin letaknya di tempat-tempat yang kurang mencolok ya? Yah, semoga saja pasokan air untuk memadamkan bilamana ada musibah kebakaran lancar.
Terus, di dekat kantor Pemadam Kebakaran Kabupaten Lingga ini ada bangunan sekolah. Tepatnya, SD Negeri 001 Lingga. Pas keliling-keliling Daik aku hanya melihat bangunan sekolah ini. Tapi, pas di hari Sabtunya aku muter-muter di sekitar Lingga, aku sempat melewati sejumlah bangunan SMP dan SMA.
Di pelosok daerah, aku seringkali terenyuh ketika melihat siswa-siswi sekolah. Meskipun hidup di lokasi yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar, mereka masih semangat untuk sekolah. Semoga semangat dari siswa-siswi di pelosok ini turut diimbangi oleh semangat guru-guru dalam memberikan ilmu (dan peran pemerintah juga! ).
Eh, sebelum kelupaan, di dekat SD Negeri 001 Lingga ini (dan juga kantor Pemadam Kebakaran Kabupaten Lingga) ada lapangan yang sepertinya umum digunakan sebagai tempat berkumpulnya warga Daik pas lagi ada acara. Ya, mirip seperti alun-alun gitu lah.
Di sini ada bangunan yang terkesan nggak terawat yang mirip seperti panggung. Di sebelahnya ada semacam “garasi” untuk bus dinas Kabupaten Lingga. Sebetulnya, di kawasan lapangan ini juga ada bangunan semacam kantor. Tapi aku kurang tahu itu kantor apa.
Benda menarik yang ada di lapangan ini adalah sepasang meriam tua. Sepertinya ini peninggalan zaman dulu di masa Kesultanan Lingga. Di artikel berikutnya terkait sejarah Lingga aku bakal pajang banyak foto-foto meriam tua deh, hahaha.
Di Daik ternyata juga ada Kantor Satpol PP! Tapi, di Daik ini Satpol PP kerjanya apa ya? Soalnya, selama ini aku beranggapan kalau kerja Satpol PP itu identik dengan penertiban pedagang kaki lima. Tapi, pas aku keliling-keliling ini aku sama sekali nggak lihat ada pedagang kaki lima. Apa ini hasil kerjanya Satpol PP ya?
Oh iya! Di artikelku yang sebelum ini kan aku sempat ngasih lihat foto paket yang dikirim lewat Pos Indonesia. Nah, di Daik ini lokasi kantor pos ada di dekat pertigaan yang dijaga oleh satu-satunya lampu pengatur lalu lintas itu.
Bangunan menarik lain terletak di seberangnya kantor pos. Yang tidak lain adalah penjara! Eh, penjara kan juga termasuk pelayanan umum toh?
Yang membuat unik adalah penjara ini merupakan benda cagar budaya alias peninggalan bersejarah. Tepatnya, penjara peninggalan Belanda yang dibangun pada tahun 1936.
Berhubung lokasi penjaranya ini sepi #apa.hubungannya dan akunya penasaran #ini.baru.bener, jadi tanpa malu-malu aku mendekat dan melongok ke dalam sel penjara. Kira-kira apa ya isinya?
Hooo... ternyata di dalam selnya ini ada kloset jongkok. Kemudian juga ada bak penampungan air. Lumayan lah buat jadi tempat mencari inspirasi sambil ngendog. #eh
Bisa dibilang sel ini nggak ada bedanya dengan toilet umum. Ukuran selnya kecil. Lebarnya sekitar 1 meter. Panjangnya mungkin hanya 3 meter. Bangunan penjara ini memiliki total 4 sel. Semasa penjara ini masih aktif dipergunakan bisa jadi dalam satu sel dijejali banyak orang mirip isi kaleng sarden.
Yang Langka di Daik?
Itu tadi sejumlah sarana pelayanan umum yang sempat aku jumpai pas keliling Daik. Hanya satu yang aku nggak nemu dan mungkin Pembaca sudah bisa menebak, yaitu puskesmas atau rumah sakit.
Ternyata, puskesmas di Daik itu letaknya agak jauh. Di kawasan pinggir kota gitu lah. Tapi di kawasan tengah kota sendiri ada banyak dokter-dokter yang membuka jasa praktek. Macamnya dokter umum dan dokter gigi.
Di Daik ATM itu juga langka banget lho! Hanya ada satu ATM. Itu pun dari BRI. Jadi, sebelum berkunjung ke Daik ada baiknya nyetok banyak uang tunai dari Tanjungpinang dulu.
Tempat Jual Makan di Daik
Waktu sudah beranjak semakin sore. Dari tadi aku keliling-keliling Daik tapi belum juga memutuskan beli makan di mana, hahaha.
Di Daik ada sejumlah warung makan yang umum biasa aku jumpai di Jawa. Macamnya warung bakso, mie ayam, sate, dan warung sejuta umat yang apalagi kalau bukan warung makan Padang!
Sesuai dugaan, berhubung sudah sore (banget) lauk yang ada di warung makan Padang hanya tinggal segelintir. Alhamdulillah, masih tersisa tahu sama tempe yang notabene lauk yang murah meriah.
Eh, tapi di Daik ini, makan nasi dengan lauk tahu dan tempe nggak bisa dibilang murah juga sih. Menurutku (sebagai yang berdomisili di Jogja), harga nasi padang lauk tahu tempe di Daik agak mahal, yaitu Rp12.000. Sedangkan di Jogja, paling hanya Rp6.000. #jogja.murah
Keesokan hari, di hari Sabtu, aku sempat mencoba makan pakai nasi dengan lauk ikan bakar. Harganya juga lumayan mahal, Rp22.000. Mungkin karena di pulau ya, jadinya apa-apa mahal.
Sumber makanan lain #kayak.apaan.aja yang buka sampai malam di Daik adalah minimarket. Di Daik ini nggak ada minimarket waralaba. Sepengamatanku, hanya ada 2 minimarket di Daik ini. Selain minimarket ya ada juga warung kelontong biasa sih.
Produk-produk yang dijual di minimarket ya seperti umumnya produk-produk yang biasa aku lihat di minimarket di Jogja. Beberapa malah ada produk impor semacam dari Malaysia.
Sedangkan harga-harganya terbilang lebih mahal bila dibandingkan dengan harga di Jogja #ya.iyalah. Minuman dalam kemasan yang di Jogja sini dihargai Rp3.500, di Daik dihargai Rp5.000. Rata-rata ya lebih mahal sampai dengan 50% dari harga di Jogja. Untuk harga kebutuhan pokok, aku sempat mencatat 1 kg beras harganya Rp12.000 dan 1 butir telur Rp1.500.
Penutup Jalan-Jalan Sore
Inilah artikelku kali ini yang semoga bisa memberi gambaran seperti apa kehidupan di Kota Daik, ibu kota Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau yang letaknya ada di Pulau Lingga.
Semisal suatu saat Pembaca berkesempatan singgah di Daik, semoga artikel ini bisa membantu untuk memetakan tempat-tempat yang sekiranya bisa dimanfaatkan untuk bertahan hidup, hahaha.
Untuk warga Daik atau warga Lingga yang kebetulan membaca artikel ini, mohon maaf apabila aku ada kekurangan dalam mendeskripsikan tempat-tempat di atas. Semoga berkenan untuk turut membantu mengkoreksi.
Masih banyak sudut-sudut di Daik dan sekitarnya yang belum terkespos olehku karena keterbatasan waktu. Apabila suatu saat nanti aku dapat kembali singgah di Daik, semoga aku diberi kesempatan untuk menjelajah Daik secara lebih “intim”, hihihi.
Siapa tahu, bangunan-bangunan dan pemandangan-pemandangan yang terekam di foto-fotoku ini bakal hilang atau berubah tatakala Pembaca berkesempatan singgah di Daik suatu saat nanti.
Pembaca juga suka jalan-jalan sore sambil keliling-keliling tempat tinggal kan?
NIMBRUNG DI SINI
berkesampaian ingin ke Daik. Hambe
turunan kelima orang yang berasal dari Daik.
Beliau datang ke Kalbar kira kira awal abad
18, mereka datang dengan kapal dan
berdagang. Semule mereka berpindah
pindah. Dihari tua mereka berpencar
menetap, yang tertua bernama Juragan
Muhammad Saleh, moyang buyutku
menetap dan meninggal di dabong kec.
Kubu kab. Kuburaya. Adiknya yang bungsu
Muhammad Yamin menetap dan meninggal
di Meliau kab. Sanggau dan tidak punya
turunan. Sedang yang satunya sepupu dari
kedua abang adik. Beliau menetap dan
meninggal di Suka lanting kec. Sei Raya Kab
Kuburaya. Nama dan data keluarga tidak
kudapatkan. Ketiganya karomah dimana
tempat menetapnya. Kalau diberi umur dan
rezeki rasanya pengin kedaik.
Ini sangat membantu saya yang sebentar lagi pindah tugas dari Bintan ke Daik Lingga.
Suasananya tentu bagus dan indah.
Kakak, abang, saudara, saudari.. di sini Melayu bahasanya dominan. Seru kok.. saya bisa ajak keliling Lingga.. foto yang perahu tadi itu di Kampung Melukap Laut di kampung saya tinggal..
Salam ya dari anak Lingga.. info aja di Facebook namanya YOKA ARISNA. No HP 081293104003. PIN BBM D7E7A863..
Salam kenal .Makasih semue nye..hehe
Ayooo, siapa Pembaca yang mau ke Lingga bisa menghubungi Yoka Arisna buat di-guide jalan-jalan. :D
harganya, jaraknya dari pelabuhan trus yang
recomended gitulah. makasih
dikunjungi
btw, ditunggu postingan tentang museum linggam cahaya ya mas mawi
kapal... bisa banget yaa nerocos cerita setiap sudut
Daik.
Mulai dari perahu, sapi, tempat ibadah, pertamini,
pelayanan umum, jalan jalannya, harga makan --
Kaya udah bisa dibuat profil wilayah haha
Harusnya disurvey juga dong populasi jomblonya
Biar lebih bisa memetakan persebarannya :))
btw kalau tempat nongkrong anak muda pas malam mingguan gitu dimana?
kesana soalnya :D..
daik ini menarik juga ya... sepi bangeettt ^o^.. kota yg begini nih mas yg aku suka
sebenernya..enak utk liburan... tapi susah juga sih kalo g ada transport umum.. sewa
mobil jg g ada ya... mikirin kalo bawa anak ksana gmn jalan2nya p
Iya, kalau ke Lingga ini agak kurang cocok untuk wisata yang membawa anak kecil. Karena ibaratnya ya pulang ke kampung gitu lah.