Kodratnya adalah laki-laki tertarik dengan perempuan.
Bukan malah laki-laki dengan laki-laki.
Lalu, apa yang membuat si perempuan menarik?
Penilaian macam apa yang digunakan oleh si laki-laki?
Umumnya, paling mudah dan paling sering dipraktikkan adalah menilai citra si perempuan.
Paras cantik.
Busana anggun.
Tutur kata lembut.
Ketiga hal di atas membuat laki-laki ingin mengetahui si perempuan lebih dalam.
Menempatkan si perempuan menjadi suatu sosok misterius yang bercokol di hati.
Uwwwww....
Akan tetapi, ada kalanya sesuatu yang kontradiktif juga dapat berlaku.
Bahwa ada sesuatu yang tidak umum yang membangkitkan daya tarik.
Perihal daya tarik ini, sepertinya tidak begitu digubris oleh sang Istri terlucyu.
Meninggalkanku yang masih berkonsentrasi, sebelumnya ia berkata
“Aku balik ke atas ya Laav. Nanti Mbak Mar nyari-nyari.”
Dengan demikian tinggallah aku seorang diri. Berdiri di atas hamparan pasir. Bernaungkan dahan-dahan. Berkawan semilir angin pagi.
Seorang diri membidik dengan lensa uzur 18-135 mm. Semata-mata agar perempuan di kejauhan itu terekam dalam bingkai foto.
Apakah yang menarik dengan seorang ibu yang sedang ngarit?
Buatku, keberadaan sang ibu membangkitkan sejumlah pertanyaan yang turut mengundang sejumlah (asumsi) jawaban. Dimulai dari,
“Salahkah apabila hidup dalam harmoni semacam ini?”
Hidup di kaki gunung.
Hidup bersama alam yang masih asri.
Hidup minim hiruk-pikuk.
Akan tetapi, seketika terlintas pula parameter-parameter kesuksesan manusia yang umum dianut banyak orang.
Hidup di kota besar.
Berpendidikan tinggi.
Pekerjaan bergengsi.
Harta melimpah.
Jalan-jalan ke mancanegara.
Dan seterusnya. Dan seterusnya. Dan seterusnya....
“Salahkah apabila hidup di kaki gunung dan menjalani hidup serupa ibu itu?”
Jeda sekian menit, pertanyaan itu belum mendapat jawaban.
Jeda sekian menit, malah muncul pertanyaan lain.
“Kenapa kamu selalu menggolongkan segala hal sebagai yang BENAR atau yang SALAH?”
Iya juga ya?
Kenapa ya?
Apa mungkin karena efek dari bakunya sistem pendidikan, di mana mendapat nilai ujian sekian karena benar sekian nomor dan salah sekian nomor?
Apa mungkin karena ajaran agama, bahwa salah adalah dosa dan pintu neraka menanti mereka yang timbangan dosanya lebih berat?
Apa mungkin karena orang-orang di sekitar, yang memutuskan benar atau salah sesuai dengan pendapat mayoritas berbalut budaya setempat?
Ngarit yang dilakukan oleh ibu itu sebetulnya kan bebas dilakukan.
Mungkin hanya orang lebay, yang selalu mengaitkan arit dengan simbol partai yang sekarang sudah dilarang.
Memangnya pula ngarit bakal membuat hutan gundul?
Dewasa ini, generasi muda lebih melirik pekerjaan yang menjanjikan. Pegawai negara masih diidolakan setiap generasi. Dus, para pengarit seakan terpinggirkan.
Boleh jadi, bagi perempuan generasi muda, ngarit adalah pilihan hidup yang kesekian. Apa mungkin pula ibu itu mengarit dalam keterpaksaan?
Mungkin benar bahwa lambat-laun desa akan dipenuhi oleh generasi tua. Mereka yang berkarier cemerlang lebih memilih tinggal di kota. Jikalau hunian kota tak terjangkau, barulah desa terdekat menjadi pilihan.
Tapi, rantai kehidupan berkata bahwa warga kota senantiasa membutuhkan campur-tangan warga desa. Mudahnya, apa yang masuk ke dalam perut, pasti ada yang berasal dari desa.
Seia sekata dengan seorang bapak yang juga ngarit. Susu yang diminum anak-anak kota berasal dari sapi perah di desa. Dua jam ngarit, pagi dan petang. Begitupun dengan memerah susu, dua kali sehari, pagi dan petang.
Seperti itulah sekilas hidup para peternak sapi yang tinggal di desa.
Hidup di desa tidak perlu diperkarakan.
Hidup di kota pun tidak perlu diperkarakan.
Kedua-duanya senantiasa memiliki hal yang dapat diperbandingkan.
Kedua-duanya senantiasa memiliki hal yang dapat dinilai dengan bermacam cara.
Syukuri nikmat yang melekat hari ini.
Nikmat sehat. Nikmat bernyawa. Nikmat memiliki.
Jalani hidup dengan sebaik-baiknya.
Jalani hidup dengan terhormat.
Teruntuk sang perempuan di kejauhan sana.
Terima kasih untuk renungan hidup kali ini.
NIMBRUNG DI SINI