Siang hari di Pulau Lombok.
Di bawah terik matahari.
Di atas hamparan pasir putih nan panas.
Rasanya, ingin cepat tiba di tempat sepeda motor diparkir.
Tapi jauh....
Kalau bukan karena “sudah jauh-jauh dari Jogja, masak nggak disambangi?” bisa jadi perjalanan kaki yang menguji kesabaran ini nggak akan terjadi.
Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit.
Sedikit demi sedikit, lama-lama tiba jua.
Deretan rumah warga semakin terlihat jelas.
Demikian pula dengan sekumpulan manusia yang berkerumun di hamparan pasir.
Ah, rupanya pada tengah hari ini masih ada manusia lain yang berpanas-panas ria di Pantai Nambung.
“Maaf, Mas, Mbak boleh minta waktunya sebentar?” tanya seorang mbak-mbak dari mereka.
He?
Berbusanakan jas almamater biru tua, mas-mas dan mbak-mbak ini jelas bukan penikmat pantai pada umumnya. Rupanya, sebuah tugas kampus mengantarkan mereka sejauh 40 km dari ibu kota Nusa Tenggara Barat.
Beruntung siang ini mereka bertemu dengan dua narasumber yang kurang kerjaan . Apa ya umum orang berwisata ke pantai pada Selasa siang terik (8/5/2018) yang tergolong jam kerja?
Berhubung mereka dan istri sama-sama dipersatukan oleh gugusan ilmu sosial, jadi ya biarlah orang-orang yang tampak pada foto di atas itu bercakap-cakap….
Di bawah teriknya matahari.
Di atas hamparan pasir putih nan panas.
Aku butuh es teh....
SILAKAN DIBACA
Pada intinya, mas-mas dan mbak-mbak ini meminta pendapat kami perihal wisata halal di Pulau Lombok.
Buatku, konsep halal dalam kehidupan sehari-hari lebih diterapkan pada kuliner. Khususnya makanan.
Dibandingkan Pulau Bali, menurutku makanan di Pulau Lombok lebih bersahabat. Mayoritas warga Pulau Lombok adalah muslim. Jadi, diasumsikan sebagian besar tempat makan pasti menyediakan makanan halal.
Jika ingin lebih meminimalkan tingkat keraguan, rumah makan Padang atau mie instan di minimarket bisa menjadi solusi.
Tapi ya untuk urusan makanan halal pada praktiknya pun nggak seketat itu. Saat membeli gorengan, cilok, atau mie ayam nggak pernah ada screening kehalalan . Apalagi kalau pembelinya didominasi wanita berjilbab.
Pada akhirnya, halal atau haram itu bagian dari kejujuran si penjual. Seluput-luputnya pembeli dalam memilah, semoga dengan basmalah sebelum menyantap, Gusti Allah SWT masih berkenan melindungi.
Lalu, tentang wisata yang islami di Pulau Lombok?
Menurutku, menjalani hidup sebagai seorang muslim di Pulau Lombok itu nggak berat. Warung makan halal banyak. Masjid pun di mana-mana ada. Islami sekali hidup di Pulau Lombok, menurutku.
Jadi, perkara wisata yang islami... memangnya pengertian wisata yang islami itu macam apa?
Apakah rekreasi yang senantiasa mengingatkan manusia kepada Sang Pencipta?
Apakah baiknya berdiam di tempat ibadah sambil terus-menerus menyebut nama-Nya?
Atau mungkin mendengarkan kajian-kajian pemuka agama?
Tentang lokasi-lokasi wisata yang kurang sesuai dengan budaya warga, jangan lantas menyalahkan alam. Bisa jadi, sesama manusia belum saling memahami, antara warga dengan pendatang. Komunikasi harus senantiasa dibangun.
Halal, syari, dan hijrah adalah jargon-jargon yang sedang naik daun. Ada anggapan, bahwa sesuatu dikatakan belum islami ketika belum menyandang ketiga jargon tersebut.
Menurutku, wisata halal itu sebatas jargon jualan pariwisata kepada turis muslim. Terus terang, label halal seakan mendatangkan rasa aman dan nyaman. Ujung-ujungnya, para turis muslim diharapkan betah berlama-lama dan membelanjakan banyak uang.
Entah apakah itu di Pulau Lombok, di Antartika, atau bahkan di sabuk Kuiper sekalipun, jikalau seorang muslim memegang teguh imannya, ia akan senantiasa mengingat Gusti Allah SWT dalam segala gerak-geriknya. Jargon-jargon populer itu pun tak perlu banyak digaungkan.
Sesuatu yang berlebih-lebihan itu tidak baik. Demikian pula dengan pariwisata yang segala macam yang berhubungan dengannya.
NIMBRUNG DI SINI