Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Kala itu.
Delapan Maret 2009.
Adalah kali pertama kaki menjejak putihnya pasir Pantai Kuta.
Itu pulalah pertama kalinya diri menyambangi Pulau Lombok.
Maret adalah hujan yang acap kali menyapa.
Pun bila hujan kebetulan alpa, kehadirannya acap digantikan mendung.
Demikian pula Pantai Kuta pada delapan Maret 2009.
Hujan semalam, mengundang mendung kala fajar.
Alhasil, pantai pertama di Nusa Tenggara Barat itu tampak muram.
Muram semuram gejolak hati dewasa tanggung.
Pun hanya satu hari di bulan Maret itulah kesempatan tuk menyambangi Pantai Kuta.
Sedih....
Kala itu.
Delapan Mei 2018.
Sembilan tahun lebih dua bulan sejak kunjungan pertama.
Pasir putih Pantai Kuta pun terjejak untuk kali kedua.
Alhamdulillah.
Kali ini, tiga malam dihabiskan di seputar Pantai Kuta.
Kunjungan singkat bertahun-tahun lalu itu terobati.
Akan tetapi.
Segala di bumi senantiasa menjumpai akhir.
Demikian pula dengan kunjungan di Pantai Kuta.
Oleh sebab itu, berpamitan adalah sesuatu yang tak terelakkan.
Untuk mengenang momen terakhir pada suatu torehan cerita hidup.
SILAKAN DIBACA
Pagi itu, jarum pendek belum menyentuh angka enam ketika kami keluar kamar.
Untung gerbang penginapan tak digembok oleh abang penjaga yang terlelap di kursi panjang.
Di luar penginapan, suasana sepi sesepi-sepinya.
Jalanan lenggang minim kendaraan.
Pintu jendela bangunan tertutup rapat.
Warga pun tak memperlihatkan batang hidung.
Benar-benar kontras dengan riuhnya suasana saat malam.
Cukup dengan berjalan kaki, Pantai Kuta dapat dijangkau kurang dari lima menit.
Tak ada petunjuk arah, tapi seharusnya mereka yang ke mari tak akan tersasar.
Kaki pun melangkah, mengulang kembali ingatan sembilan tahun dua bulan silam.
Dalam ingatan yang terekam, tak jauh dari Pantai Kuta ada pasar tradisional.
Sayang, pagi itu baru ada satu pedagang yang menata lapak.
Mungkin pasarnya hanya ramai pada hari-hari tertentu.
Pun, suasana jalan yang menghubungkan pasar dengan pantai terlihat berantakan.
Mungkin baru rapi setelah proyek penataan kawasan Kuta Mandalika rampung sepenuhnya.
Sebuah gapura menyambut setelah melewati pasar.
Darmaga Rakyat Kuta adalah tulisan yang terpampang bagian atasnya.
Pemandangan pun berganti.
Dari lapak-lapak pasar menjadi rumah-rumah warga.
Bangunan-bangunan usaha berganti menjadi rumah-rumah sederhana.
Kawasan yang jauh dari keramaian turis asing.
Mungkin, beranjak siang tempat ini bakal ramai.
Sebab, beberapa langkah dari sana irama lembut ombak saling bersahut-sahutan.
Ada Kuta Mandalika.
Ada Pantai Kuta.
Untuk pelancong awam, keduanya sepertinya identik.
Pantai Kuta pada pagi ini adalah pantai yang dihiasi dengan dermaga dan perahu.
Kuta Mandalika pada pagi kemarin adalah pantai rapi yang pernah disambangi Pak Jokowi.
Di Pantai Kuta, dermaga apung membentang bagaikan permadani menuju cakrawala.
Dari sanalah kami menyaksikan matahari muncul dari balik bukit.
Maha Suci Allah atas segala ciptaan-Nya.
Derit menyayat plat besi dermaga dengan tiang beton mengiringi langkah perpisahan.
Demikian pula dengan anjing-anjing yang membuat sang istri siaga satu.
Hadir kembali di sini setelah sembilan tahun dua bulan berlalu.
Sang Pemilik Nyawa seakan mengganti kemuraman masa lampau dengan keceriaan.
Mungkin karena pagi itu cuaca cerah.
Mungkin pula karena ditemani wanita yang tak pernah absen menguatkan dirinya dengan perkataan,
“yang sabar ya aku.”
Setidaknya, setelah sembilan tahun dua bulan lalu, lirik yang terngiang di kepala saat di tempat ini bukanlah
Lupakan aku kembali padanya
Aku bukan siapa siapa untukmu
Ku cintaimu tak berarti bahwa ku harus milikimu slamanya
melainkan
I wanna know know know know
What is love?
Sarangi eotteon neukkiminji
Walaupun, aku pribadi merasa lebih condong sebagai BUDDY dibanding ONCE.
NIMBRUNG DI SINI
uwong uwong durung podo tangi...