Kalau saja Dwi nggak meminta berkunjung ke Desa Adat Sade di Kabupaten Lombok Tengah, mungkin seumur-umur aku nggak akan pernah menginjakkan kaki di sana.
Aku bukan orang yang senang berkunjung ke desa wisata atau ke desa adat. Aku lebih senang berkunjung ke tempat yang sepi, yang hampir nggak ada orang sama sekali.
Aku juga bukan orang yang terlalu penasaran dengan kehidupan orang lain. Terutama orang-orang desa yang memiliki pola hidup yang berbeda dengan orang kota.
Tapi, karena sudah sampai di Desa Adat Sade, jadi ya aku amatilah ada apa di desa adat yang konon terkenal di seantero Pulau Lombok ini.
SILAKAN DIBACA
Aku nggak akan memaparkan sejarah atau keunikan Desa Adat Sade. Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang aku rasakan selama berada kurang dari satu jam di sini.
Ketika mendengar nama "desa adat", otomatis di benakku terbayang desa yang penduduknya masih teguh menjalani hidup serba tradisional. Kasarnya, di desa adat modernitas masih merupakan suatu hal yang langka. Banyak hal berbeda dari di kota.
Yang membuatku terkejut, saat ini Desa Adat Sade mulai dirambah hal-hal modern. Salah satu yang terlihat menonjol adalah toilet umum. Wujud toiletnya bagus banget! Nggak kalah bagus dari toilet yang ada di mal-mal.
Urusan buang air adalah kebutuhan manusia yang (sebaiknya ) nggak ditunda-tunda. Jadi, keberadaan toilet jelas merupakan sesuatu hal yang krusial.
Tapi, melihat wujud toilet yang modern itu bikin aku berpikir.
Apakah wujud toilet umumnya harus sebagus itu?
Apakah toilet umumnya dibuat sebagus itu karena sebagian besar penggunanya adalah para wisatawan yang hidup di peradaban modern?
Berdasarkan pengalamanku blusukan di desa-desa, biasanya warga membangun toilet dengan wujud yang lebih sederhana. Kadang tanpa kloset. Nggak jarang pula berada di pinggir sungai, yang sekali “cuuur” atau “plung” langsung lenyap terbawa air.
Menimbang paparan bentuk toilet "tradisional" yang seperti itu, bisa jadi bakal membuat wisatawan dari peradaban modern sulit beradaptasi.
Aku pun ragu warga Desa Adat Sade aktif menggunakan toilet umum modern itu. Aku meyakini warga desa lebih akrab dengan toilet berkloset jongkok yang dilengkapi tampungan air berciduk.
Tapi, ada bagusnya toilet umum modern ini karena ramah bagi penyandang disabilitas.
Pindah topik dari toilet ke serambi rumah warga. Beragam kain, kaos, gelang, dan pernak-pernik lain dipajang di sana.
Hampir setiap warga menjajakan buah tangan kepada pengunjung. Interaksi warga kepada pengunjung umumnya diawali dengan menawarkan barang dagangan.
Komersialisasi sepertinya sudah mulai merambah Desa Adat Sade. Aku kurang tahu sejak kapan hal ini terjadi. Apa mungkin semenjak Pulau Lombok mulai dibanjiri turis? Tatkala Lombok mulai mengekor Bali sebagai destinasi favorit wisatawan mancanegara.
Konon, ada anggapan bahwa turis adalah golongan orang-orang berduit. Dengan demikian, adalah suatu hal yang lumrah jika para penyedia pariwisata ingin agar para turis membelanjakan uang mereka di tempat wisata.
Aku pun mengamati, di sejumlah dinding depan rumah warga tertempel stiker bertuliskan keluarga miskin. Apakah ini juga salah satu penyebab munculnya komersialisasi di Desa Adat Sade?
Adalah suatu kenyataan bahwa kebutuhan (biaya hidup) semakin meningkat seiring bergantinya tahun. Itu sebabnya, mengapa UMR rutin naik. Itu sebabnya pula muncul keinginan untuk menambah penghasilan. Jika berlebih ditabung. Syukur disedekahkan.
Sepertinya pula parameter miskin bagi kelompok masyarakat yang mempertahankan gaya hidup tradisional cukup menarik untuk ditelisik. Apakah parameter miskin tersebut turut mempertimbangkan bentuk tempat tinggal, harta kekayaan, dan juga tingkat pendidikan?
Seketika terbayang, keputusan warga desa menyekolahkan anak-anak mereka nun jauh di kota agar si anak memperoleh penghidupan yang lebih baik. Itulah sebabnya, arus urbanisasi tak pernah menyurut.
Sudah hukum alam, bahwa bagaimanapun kota akan selalu lebih maju dari desa. Bagaimana cara agar warga desa bisa sesejahtera warga kota, itulah tantangannya.
Tapi sebelumnya, apakah pengertian sejahtera itu?
Menurutku, mempertahankan hidup serba tradisional berarti juga mempertahankan hidup dari gempuran kemajuan zaman. Pertanyaannya, sampai kapan idealisme seperti ini akan bertahan? Apakah sampai nggak ada lagi penyokong dan yang disokong?
Bagi orang awam, Desa Adat Sade mungkin sebatas menyajikan keunikan yang nggak ada di tempat tinggalnya. Buatku sendiri, tempat ini tak terlalu menarik untuk sekadar disambangi. Tempat ini justru merupakan suatu hal yang menarik untuk diamati dan diteliti:
- Sampai sejauh mana warga Desa Adat Sade bisa hidup mendampingkan hal-hal tradisional dengan hal-hal modern?
- Apakah hal-hal tradisional akan tergerus seiring dengan masuknya hal-hal modern?
- Apakah suatu saat Desa Adat Sade akan mengisolasi diri?
Hidup adalah rangkaian pilihan yang membawa konsekuensi. Semoga Desa Adat Sade tak bakal berakhir sebagai nama tanpa roh.
NIMBRUNG DI SINI
saking lamanya ga ke lombok, aku ga perhatian soal toillet modern ini, terakhir kali taun
2015 main ke sade