Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
- Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
- Patuhi peraturan yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Di tengah jalan setapak yang membentang di dalam hutan Muaro Jambi, aku lihat ada papan yang terpaku ke tiang kayu. Tulisan “Kanal Tuo Danau Kelari” tertera di sana. Berikut tanda panah yang menunjukkan arah ke lokasi.
Didorong oleh rasa penasaran, sepeda kuning berkeranjang yang menjadi tungganganku aku arahkan menuju ke cabang jalan tersebut. Mumpung sudah jauh-jauh blusukan sampai Kompleks Percandian Muaro Jambi dan mumpung sepertinya ada tempat menarik, jadi ya kenapa nggak sekalian mampir?
Sepeda pun melintasi cabang jalan setapak yang becek dan berlumpur. Di sejumlah tempat kubangan lumpurnya agak dalam sehingga menyulitkan untuk bermanuver. Alhasil, beberapa kali sepeda pun terpaksa dituntun. Terlebih mengingat sepeda ini kan sepeda sewaan. Seumpama rusak kan aku yang menanggung akibatnya.
Nggak seberapa lama, sampailah aku di pinggir sebuah “sungai”. Kata “sungai” sengaja aku apit dengan tanda petik dua karena sesungguhnya genangan air ini bukanlah sungai walaupun wujudnya seperti sungai. Ini adalah kanal tua Muaro Jambi. Di zaman Kerajaan Sriwijaya, kanal ini dipergunakan sebagai sarana transportasi.
Tidak begitu jauh dari tempatku memotret pemandangan kanal tua, aku melihat ada sebuah pendopo. Pendopo itu berdiri tepat di tepi kanal. Lagi-lagi, karena penasaran, aku pun memarkirkan sepeda dan menghampiri pendopo itu.
Bila mengamati bangunan pendopo yang tampak masih kokoh, sepertinya pendopo ini dibangun sekitar 1 – 2 tahun belakangan. Kondisi di dalam pendopo berdebu dan minim barang. Agaknya, pendopo ini sudah lama tidak difungsikan sebagaimana mestinya.
Adapun kuat dugaanku fungsi dari pendopo ini adalah sebagai dermaga perahu wisata. Di salah satu tiang pendopo terpaku sejumlah kertas berlaminating. Selain himbauan untuk menjaga kebersihan, kertas-kertas yang lain memuat larangan serta tata tertib wisata perahu.
Di bagian tengah pendopo aku mendapati adanya tangga menurun yang mengarah ke kanal tua. Aku mencoba turun dan mengamati kondisi sekitar. Tak ada satu pun perahu yang tertambat. Tak ada pula satu pun aktivitas manusia.
Sepi....
Tapi, ternyata aku tidak sendirian di sana!
Di dekat tangga, aku menjumpai sang penunggu pendopo. Ia tengah berbaring di lantai kayu dengan wajah sayu. Selaras dengan kondisi tubuhnya yang kurus hingga tulang pinggangnya terlihat menonjol keluar.
Sebagai makhluk superior dalam rantai makanan, aku pun mencoba membuka percakapan.
“Meong!”
(artinya: Halo!)
Dia mengarahkan pandangan ke wajahku.
“Meong, Meong, Meong?”
(artinya: Apa kabarmu? Siapa namamu?)
Dia diam.
“Meong, Meong, Meong?”
(artinya: Kok kamu kurus? Makan apa terakhir kali?)
Dia memejamkan mata dan kembali merebahkan kepala di atas kedua tungkai depannya.
Ah, ya sudahlah.
Mungkin dia memang sedang tak ingin diajak ngobrol. Atau mungkin aku yang kurang paham bahasa kucing di Muaro Jambi?
Sebelum meninggalkan pendopo sejenak aku mengamati “peta harta karun” yang terpajang di salah satu dinding. Aku hitung ada 14 situs yang tersebar di kawasan Kompleks Percandian Muaro Jambi. Dua situs berupa sungai yakni Sungai Jambi dan Sungai Batanghari.
Dari 14 situs tersebut yang sepertinya sulit untuk aku kunjungi pada Sabtu siang (11/4/2015) ini adalah Candi Kotomahligai dan Bukit Sengalo. Keduanya terletak lumayan jauh dari kompleks candi. Tentu saja, besar kemungkinan untuk menuju ke sana ya harus blusukan di dalam hutan.
Oh iya! Di Candi Kedaton sebetulnya ada cabang jalan yang konon mengarah ke Candi Kotomahligai. Sayang, jembatan yang ada di cabang jalan tersebut putus diterjang banjir.
Sepeda kuning berkeranjang kembali kupancal menuju cabang jalan setapak utama. Dalam hati terbesit rasa sedih akan wisata perahu kanal tua yang mati dan juga seekor kucing yang semoga kelak akan bugar kembali.
Di tengah jalan, rupa-rupanya aku melintasi penunggu lain. Untuk penunggu yang ini, tentu aku nggak mau macam-macam. Apalagi mencoba untuk berinteraksi lebih lanjut.
Cukup mengucapkan salam. Jepret! Kemudian berlalu pergi bersama angin.
Ke mana lagi ya di Kompleks Candi Muaro Jambi?
Hmmm....
NIMBRUNG DI SINI
Padahal menurutku bagus banget, lho. Apa dia muncul di saat yang kurang tepat?
Mungkin beberapa tahun lalu, netizen belum seliar sekarang.
Setuju banget dengan beberapa poin yang kamu paparkan di pembukaan. Terutama yang
bagian foto selfie.