Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Minggu (6/5/2018) = hari kedua “bulan madu” di Pulau Lombok! Hari ini ceritanya berpindah lokasi menginap dari Kota Mataram ke kawasan Pantai Kuta.
Kemarin itu serah terima sepeda motor sewaan di sekitaran Jl. Bypass BIL (Desa Batujai). Sebetulnya, kalau dari sana itu jarak ke Pantai Kuta lebih dekat dibandingkan dari Kota Mataram.
Tapi, karena serah terimanya pas magrib, jadi ya jelas malas kalau malam-malam harus lanjut meluncur ke Pantai Kuta. Ciut nyali lebih tepatnya . Setahuku, jalan raya ke Pantai Kuta kental nuansa hutannya. Gelap minim penerangan jalan pula.
Oleh sebab itu, baiknya menginap dulu di Kota Mataram. Baru setelah matahari terbit dilanjut ke Pantai Kuta. Walaupun ya boros jarak sekitar 60 km sih.
Tapi ya namanya juga “bulan madu”. Asal kemana-mana berdua sama istri, yang penting dibawa happy saja. Wekekeke.
SILAKAN DIBACA
Drama Sehabis Subuh
Hari kedua diawali dengan “drama”.
Sehabis salat Subuh aku berniat mengecek aplikasi WhatsApp. Eh, tapi kok ya WhatsApp-nya malah error! Pesan error-nya, “unfortunately WhatsApp has stopped”. #doh
Gawai tablet aku matikan dan nyalakan lagi. Tapi, error-nya masih tetap nongol. Pikirku mungkin WhatsApp-nya harus di-install ulang. Jadi, tanpa pikir panjang aku uninstall-lah itu aplikasi.
Selesai proses uinstall WhatsApp, kini saatnya meng-install-nya lagi lewat PlayStore. Eeeeeh… kok yang ada malah gagal terus pas men-download aplikasi WhatsApp!
Doh!!! #panik.banget
Screenshot dipinjam dari: https://appuals.com/unfortunately-whatsapp-has-stopped-error-on-android-phones/
Dari hasil googling, katanya harus me-remove akun Google dari sistem gawai lalu meng-add-nya lagi. Mengikuti cara itu, aku remove lah akun Google-ku. Pas mau meng-add akun Google lagi, eh... malah lupa password-nya! Hahaha!
Setelah itu aku berusaha me-recover password akun Google. Tapi kok ya proses recovery-nya lama banget! Hadeeeh....
Alhamdulillah, akhirnya “drama” WhatsApp ini terselesaikan dengan cara berikut:
- Membuat akun Google baru.
- Mengganti koneksi internet dari WiFi hotel ke paket data.
Jebul ternyata, internet WiFi-nya hotel nggak bisa dipakai untuk men-download aplikasi di PlayStore!
Beh!
Mampir ke Desa Adat
Pukul 7 pagi kami sarapan di hotel sebelum berangkat ke Pantai Kuta. Pas sedang sarapan datanglah Pak Manan dari Lombok Motor Bike Rental. Beliau membawa helm yang kondisinya waras.
Sebetulnya, “drama” WhatsApp itu bikin aku panik karena pagi itu aku membuat janji dengan Pak Manan. Kami mau bertukar helm karena salah satu helm kami kondisinya nggak waras.
Lha, kalau aplikasi WhatsApp-nya error, kan ya sulit dong komunikasinya? Alhamdulillah “drama” WhatsApp itu terselesaikan sebelum Pak Manan tiba.
Pukul setengah 8 pagi kami check out dari hotel. Sebelum ke Pantai Kuta, Dwi kepingin mampir ke Desa Adat Sade. Sang istri penasaran dengan lantai rumah yang dipel pakai kotoran sapi.
Dari Kota Mataram ke Desa Adat Sade lewatnya ya Jl. Bypass BIL ke arah Bandara Internasional Lombok. Karena kemarin malam sudah lewat sini, jadinya nggak bingung arah. Mumpung sekarang sudah terang, jadi bisa menikmati pemandangan deh.
Jalan Bypass BIL lebar dan sepi banget! Sepeda motor bisa digas dengan kecepatan di atas 80 km/jam. Nggak ada macet. Nggak ada lampu lalu lintas pula! NIKMAT DUNIA!
Tapi ya, lewat sini tetap harus waspada. Soalnya, ada sejumlah lajur yang terlarang dilewati sepeda motor. Mirip seperti di ringroad Jogja, sepeda motor harus pindah ke lajur khusus di sisi kiri jalan.
Perjalanan ke Desa Adat Sade berlangsung lancar tanpa hambatan. Di SPBU dekat bandara sempat mengisi full bensin sepeda motor. Katanya, di sekitaran Pantai Kuta nggak ada SPBU. Jadinya, agak khawatir saja kalau di tengah jalan kehabisan bensin ekonomis.
Sempat juga berhenti di masjid yang baru dibangun di pinggir jalan raya. Sang istri kepingin memotret warga yang bergotong-royong membangun masjid. Jadi, waktu itu para warga sedang oper-mengoper ember berisi adonan semen gitu.
Pemandangan yang menarik sih. Di seputaran Yogyakarta aku nggak pernah melihat gotong-royong membangun masjid yang seperti ini. Semoga budaya ini tetap lestari lah.
Sekitar pukul 9 pagi tiba dengan selamat di Desa Adat Sade. Suasana di muka desa sedikit bikin tegang. Ada banyak polisi dan tentara yang bersiaga! Selidik punya selidik, rupanya mau ada kunjungan dari rombongan TNI AL.
Kami menghabiskan waktu sekitar 40 menit di Desa Adat Sade. Keluar-masuk gang, memotret sana-sini, dan berinteraksi dengan warga.
Kesimpulannya, Desa Adat Sade ini agak jauh dari bayangan awal. Sekadar masuk kategori tempat yang “oh, cukup tahu saja”.
Pantai Pertama di Lombok
Dari Desa Adat Sade lanjut ke Pantai Kuta. Kurang dari setengah jam, tibalah di kawasan pantai terpopuler di Lombok Tengah itu. Dekat dari Desa Adat Sade ternyata.
Tapi oh tapi, karena baru bisa check-in di hotel lewat pukul 2 siang, jadilah sepeda motor dipacu ke arah barat menuju Pantai Mawi. Ya… masak seumur-umur yang namanya Mawi belum pernah ke Pantai Mawi sih.
Perjalanan dari kawasan Pantai Kuta ke Pantai Mawi sungguh sangat luar binasa! Tepatnya setelah jalan yang menanjak bukit (untung sepeda motor matic-nya kuat ) muncul sambutan dari proyek pelebaran jalan!
Sudah jalannya turunan terjal. Gronjal-gronjal. Pasir di mana-mana (rawan tergelincir). DEBUNYA BANYAK PULA!
Betul-betul “jalan penderitaan” lah.
Untung panjang ruas “jalan penderitaan” itu hanya sekitar 1 km. Tapi ya... masih ada PR, karena untuk balik ke kawasan Pantai Kuta, mau nggak mau harus lewat jalan itu lagi!
DOOOOOOH!
Di tengah perjalanan ke Pantai Mawi, terlihat ada papan petunjuk arah ke Pantai Mawun. Karena pukul 2 siang juga masih lama dan sudah jauh-jauh sampai di Lombok, ya… nggak ada salahnya lah buat mampir sebentar ke sana.
Sebelum masuk ke Pantai Mawun dipungut tiket masuk di pos jaga. Tapi, di dalam sana bebas parkir alias gratis.
Pemandangan hamparan pasir putih yang berpadu dengan birunya laut dan langit sungguh amat-sangat memanjakan mata. Kesan terhadap pantai perdana yang kami sambangi di Pulau Lombok ini menyenangkan.
Walaupun hari Minggu, menjelang pukul 11 siang pengunjung Pantai Mawun nggak begitu ramai. Beberapa pasangan turis asing terlihat berjemur di pantai. Adapun beberapa pasangan turis lokal terlihat mojok di dekat semak. #doh
Di antara pengunjung Pantai Mawun, terlihat pula sejumlah bocah penjaja gelang. Mereka juga sempat menawari kami. Untung sang istri lumayan lihai mengalihkan bujuk-rayu persuasif mereka.
Demi suasana yang lebih sepi dan penasaran melihat pemandangan Pantai Mawun dari ketinggian, kami pun bergerak menuju bukit di sisi barat. Setelah mendaki-daki bukit yang nggak begitu curam, terbentanglah pemandangan yang diharapkan.
Sayangnya, menurutku lanskap Pantai Mawun dari puncak bukit kurang cetar membahana. Walaupun demikian, bukit ini sepertinya cocok sebagai tempat menyendiri (mojok ) atau berkemah.
Puas melihat pemandangan Pantai Mawun dari atas bukit, kami pun kembali ke area parkir sepeda motor. Di sana berjejer banyak warung-warung makan. Dikarenakan capek berjalan kaki ditambah cuaca yang panas, satu kelapa muda pun dipesan sebagai pelepas dahaga.
Kesimpulan terhadap Pantai Mawun adalah pantai ini cocok sebagai pantai keluarga. Untuk pengunjung yang mendambakan ketenangan cocok juga.
Tempat Ngumpulnya Para Bule
Sekitar pukul 12 siang lewat sedikit menit kami meninggalkan Pantai Mawun. Perjalanan ke Pantai Mawi dilanjutkan kembali.
Karena sudah masuk waktu salat Zuhur, jadilah di sepanjang jalan kami celingak-celinguk mencari masjid. Dibandingkan dengan di Bali, mencari masjid di Lombok seharusnya bukan perkara sulit. Tapi kok ya ternyata jarang juga ada masjid di pinggir jalan raya.
Akhirnya ditemukanlah satu masjid yang letaknya nggak begitu jauh dari jalan raya. Bersebelahan pula dengan rumah penduduk.
Di saf terdepan masjid terhampar banyak pakaian. Sepertinya, masjid tanpa nama ini merangkap fungsi sebagai tempat tinggal warga. Apa mungkin tempat tinggalnya pengurus masjid ya?
Berbekal petunjuk arah dari Google Maps, perjalanan ke Pantai Mawi berlangsung mulus. Satu-satunya hal yang nggak mulus dalam perjalanan ini adalah KONDISI JALAN KE PANTAI MAWI!
Kalau boleh menyimpulkan, jalan ke Pantai Mawi = JALAN NERAKA!
Nggak level kalau cuma sekadar “jalan penderitaan”.
Jalan beraspal rusak bolong-bolong berdebu yang dihiasi tanjakan-turunan terjal nan berliku adalah biang keroknya.
Serius! Aku lebih memilih jalan kaki lewat jalan ini daripada naik sepeda motor.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan menguras kesabaran #doh sekitar pukul setengah 2 siang tibalah kami di Pantai Mawi. Semoga saja sepeda motor masih waras dibawa pulang dari sini.
Di balik tempat parkir sepeda motor, pemandangan “putih-putih” homogen menyergap mata. Dwi pun menyeletuk,
“Wah, enak kamu Mas. Banyak Vitamin A di sini.”
Berbeda dengan Pantai Mawun, pengunjung Pantai Mawi sebagian besar adalah BULE!
Boleh dibilang Pantai Mawi adalah pantainya para bule. Baik itu bule bocah sampai bule simbah-simbah, semuanya tumplek brek di pantai ini.
Serasa bukan di Indonesia....
Di Pantai Mawi, kegiatan para bule itu beragam. Bule-bule pria bermain surfing. Bule-bule bocah bermain pasir. Sedangkan bule-bule wanita... berjemur dengan pakaian yang… begitulah....
Mungkin ada betulnya juga dibuat zonanisasi pantai. Mana yang “pantai pribumi” dan mana yang “pantai bule”. Jadinya, bagi orang kita yang “belum terbiasa” dengan serbuan “Vitamin A” nggak bakal overdosis.
Tapi jujur, untuk urusan pemandangan, menurutku lanskap Pantai Mawi yang dipagari dua bukit kurang cetar membahana. Oleh karena itu aku mengajak Dwi untuk mendaki bukit di sisi utara pantai. Menurutku pemandangan Pantai Mawi dari puncak bukit lebih bagus dan syahdu.
Ternyata, di balik bukit yang kami daki ada pantai lain!
Sepenglihatan dari lensa telefoto, pantainya itu tergolong “pantai perawan”. Nggak ada satupun bangunan warung. Pohon-pohon, semak, dan padang rumput masih mendominasi. Jalan menuju ke sana sepertinya dengan melewati bukit yang kami daki.
Jikalau ingin menyendiri atau menyesapi kesyahduan alam Lombok, agaknya “pantai perawan” itu adalah tempat yang tepat.
Tapi, kok ya ada saja bule-bule yang menjamah "pantai perawan" itu. Semoga saja mereka nggak melakukan hal-hal yang diblokir Internet Positif di tempat sepi itu.
Kesimpulan Pantai Mawi apa ya? Mungkin, kalau ingin berada di tengah-tengah kumpulan para bule yang sedang mantai, tempat inilah jawabannya. Tapi, ya siap-siap saja canggung, merasa salah tempat, hahaha.
Balik ke Pantai Kuta
Pukul 3 sore kurang beberapa belas menit kami meninggalkan Pantai Mawi. Tujuan terakhir perjalanan panjang pada hari ini jelas adalah kembali ke kawasan Pantai Kuta untuk check-in di hotel yang sudah dipesan.
Jadi ya... balik lagi melewati “jalan neraka” di Pantai Mawi… balik lagi melewati tanjakan “jalan penderitaan” ke Pantai Kuta.
Hari kedua “bulan madu” di Lombok seakan sudah mendapat gambaran bahwa perjalanan ke depan bakal tetap menguji kesabaran. Senggaknya dengan itu, bakal jadi sering nyebut, mendekatkan diri pada sang pemilik nyawa lah.
Alhamdulillah, sekitar pukul setengah 4 sore lebih beberapa belas menit tibalah kami dengan selamat di Banyu Urip Homestay di dekat pertigaan Jalan Pariwisata Pantai Kuta. Hanya 5 menit jalan kaki dari sana sudah ketemu pantai.
Selesai check-in, pas melihat di sana ada kolam renang nganggur, aku yang sudah nggak bisa berpikir lurus akhirnya berenang!
Alhamdulillah! Nikmat dunia akhirat!
Setelah bersih-bersih diri, salat Asar, dan rebahan memulihkan kewarasan, sekitar pukul 5 sore kami keluar mencari makan. Ceritanya ini makan siang dirangkap makan malam.
Karena malas keliling-keliling terlalu jauh, akhirnya warung makan Padang di dekat pertigaan Jalan Pariwisata Pantai Kuta terpilih sebagai sasaran. Benar katanya uda empunya warung, turis-turis bule juga suka masakan Padang! Jadi ini toh yang namanya diplomasi kuliner.
Selesai makan, jam masih menunjukkan pukul setengah 6 sore kurang. Dwi mengajak nyunset ke Pantai Kuta. Jadilah sepeda motor digas dari parkiran hotel ke kawasan Kuta Mandalika.
Sore itu kawasan Kuta Mandalika ramai banget! Tapi, seramai-ramainya, Alhamdulillah masih tersisa ruang untuk memotret pemandangan.
Lumayanlah senja di Pantai Kuta pada sore hari itu. Seenggaknya keinginan Dwi untuk nyunset di Lombok keturutan.
Selesai nyunset di Kuta Mandalika ya selesai juga hari kedua “bulan madu” di Lombok. Saatnya balik ke hotel untuk memulihkan tenaga.
Pengeluaran Bulan Madu Hari Kedua di Lombok
Mari berhitung!
Isi bensin Pertalite | Rp18.000 | Full tank pokoknya. |
Donasi Desa Adat Sade | Rp20.000 | Seikhlasnya. |
Parkir sepeda motor di Desa Adat Sade | Rp5.000 | |
Beli kerajinan dompet di Desa Adat Sade | Rp25.000 | |
Tiket masuk Pantai Mawun | Rp10.000 | Per orangnya Rp5.000. |
Beli kelapa muda di Pantai Mawun | Rp10.000 | |
Tiket masuk Pantai Mawi | Rp5.000 | Per orangnya Rp2.500. |
Beli 2 minuman di warung | Rp8.000 | |
Makan di Warung Padang | Rp37.000 | (Nasi sayur + telur dadar + es teh) x 2 + 1 tempe goreng |
Beli minuman di minimarket | Rp7.000 | |
Menginap di Bayu Urip Homestay | Rp194.000 |
Total pengeluaran “bulan madu” hari kedua di Lombok adalah sebesar:
Rp339.000
Hari ketiga ke mana ya?
KATA KUNCI
- alam
- bukit
- bulan madu
- bule
- desa adat sade
- dwi susanti
- hotel lombok
- kolam renang
- laut
- lombok
- lombok tengah
- mekar sari
- nusa tenggara barat
- pantai
- pantai bule lombok
- pantai kuta
- pantai lombok
- pantai lombok tengah
- pantai mawi
- pantai mawun
- pantai nusa tenggara barat
- pantai pasir putih
- pantai praya
- pantai praya barat
- pantai pujut
- pasir
- praya
- praya barat
- pujut
- pulau lombok
- rembitan
- rumah adat
- rumah adat lombok
- senja
- senja pantai lombok
- sepeda motor
- tumpak
- turis asing
- warung makan padang
NIMBRUNG DI SINI
iku foto jalan bypass, deket rumahku...
Tapi pasir e putih banget yo, Mas. Mantep juga sih nek gak terlalu ramai.