Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Pulau Belitung. Rabu siang (9/3/2016). Jam menunjukkan pukul 2 lewat. Matahari masih bersinar terik. Tapi, aku sudah kembali ngadem di jok depan mobil.
Alhamdulillah....
Meski demikian, agenda keluyuran kami pada hari ini belum selesai.
Diawali dari Bapak yang melempar pertanyaan terbuka, “Habis ini enaknya ke mana ya?”
Kemudian disambut gayung oleh Ibu, “Lihat desanya nelayan.”
Bang Dedy pun lantas mengemudikan mobil menuju Desa Tanjung Binga. Lokasinya masih di sudut barat laut Pulau Belitung yang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung.
SILAKAN DIBACA
Wajah Desa Nelayan di Tanjung Binga
Aku kurang paham rute perjalanan menuju Desa Tanjung Binga. Tapi yang jelas, awalnya mengikuti jalan raya besar kemudian mengambil cabang jalan yang mengarah ke Jalan Ujung Tanjung.
Desa Tanjung Binga yang menjadi tujuan kami ini letaknya nggak seberapa jauh dari jalan raya. Maksudku ya bukan daerah pelosok gitu lah.
Mungkin diletakkan di luar agar mudah bilmana hendak bolak-balik menimbang.
Memasuki Desa Tanjung Binga, rumah-rumah panggung tampak berjejer di sepanjang jalan. Selain rumah-rumah panggung ya tetap ada juga rumah-rumah bergaya modern yakni rumah yang dibangun menggunakan semen dan batu bata.
Menurut informasi yang aku peroleh dari laman visitbangkabelitung.com, warga Desa Tanjung Binga ini adalah keturunan Bugis. Mengingat suku Bugis terkenal sebagai pelaut, jadi nggak heran bilamana mayoritas warga Desa Tanjung Binga berprofesi sebagai nelayan.
Hmmm, apa mungkin itu juga sebabnya di sini banyak rumah panggung yang identik sebagai rumah tradisional suku Bugis ya?
Rumah-rumah panggung tradisional di Desa Tanjung Binga.
Omong-omong tentang nelayan, sebagian besar dari kita boleh jadi berpendapat bahwa tingkat kesejahteraan nelayan Indonesia itu masih rendah. Itu pula yang mendadak terlintas di pikiranku saat menyaksikan penampakan rumah-rumah panggung di Desa Tanjung Binga.
Hmmm, apa mungkin karena selama ini aku beranggapan bahwa warga yang sejahtera itu tinggal di rumah bergaya modern?
Tapi, aku ya ragu-ragu menyebut nelayan di Desa Tanjung Binga ini sebagai warga miskin. Hampir setiap rumah memiliki antena parabola atau antena televisi berbayar. Jangan lupakan juga sepeda motor yang kini ibarat kendaraan wajib bagi setiap keluarga Indonesia.
Kalau mau ditelisik lebih lanjut, bisa jadi benda-benda “mewah” yang aku sebutkan di atas dimiliki atas dasar “keterpaksaan”. Berawal dari ungkapan, “Habisnya mau bagaimana lagi?”. Di Belitung sinyal televisi sulit ditangkap dengan antena biasa. Adapun di Belitung juga tak ada kendaraan umum.
Antena parabola hampir bisa ditemui di setiap rumah.
Ah, sudahlah....
Mari kita singkirkan dulu topik terkait dengan kesejahteraan para nelayan. Ayo kita apresiasi profesi mereka sebaik mungkin. Salah satunya adalah dengan membeli hasil produksi mereka sebagaimana yang dilakukan Ibu.
Di belakang rumah-rumah panggung ini terdapat halaman luas tempat menjemur ikan asin.
Tujuan Ibu singgah ke desa nelayan adalah membeli ikan asin. Mulanya, kami pikir ikan-ikan asin itu dijual di sentra khusus semacam pasar ikan asin. Tapi, Bang Dedy bilang nggak ada tempat semacam itu di Desa Tanjung Binga. Kalau mau membeli ikan asin ya langsung saja mendatangi nelayan yang mengolahnya.
Alhasil, saat mobil melintasi rumah yang di halamannya terlihat banyak ikan-ikan asin yang dijemur, Bapak meminta Bang Dedy untuk berhenti. Kami turun dari mobil. Di sana Ibu terlibat obrolan dengan seorang ibu yang sedang menata ikan. Kami dikira hendak membeli ikan asin dalam jumlah besar. Padahal hanya sedikit sebagai oleh-oleh.
Proses merebus ikan-ikan asin sebelum dijemur. Semerbak aromanya khas sekali!
Ibu pun masuk ke dalam rumah, meminang ikan-ikan asin yang siap dijual. Sementara itu, aku dan Bapak memotret-motret aktivitas pengolahan ikan asin di luar.
Tepat di belakang rumah ada seorang bapak yang sedang sibuk merebus ikan-ikan asin. Ikan-ikan asin ini ditempatkan di keranjang plastik sebelum dibenamkan ke dalam air yang mendidih.
Kata beliau, ikan-ikan asin ini direbus terlebih dahulu sebelum akhirnya dikeringkan di bawah terik matahari. Air yang digunakan untuk merebus ikan-ikan asin ini adalah air laut. Bisa jadi itu sebabnya mengapa ikan-ikan asin rasanya asin. #ya.iyalah
Oh iya! Proses pengolahan ikan asin ini sama sekali nggak menggunakan formalin lho! Jadinya ikan-ikan asin ini adalah produk alami yang... tetap tidak sehat bagi penderita darah tinggi.
Gunungan ikan-ikan asin siap dikemas dan dikirim ke Pontianak.
Dari keterangan ibu yang bertransaksi dengan Ibu #halah, katanya ikan-ikan asin ini dikirim ke luar Belitung, khususnya ke Pontianak. Aku jadi penasaran, apa orang Pontianak itu hobinya makan ikan asin ya?
Ikan asin dan sejumput cumi (yang akhirnya kami borong ) itu dikenai total harga senilai Rp45.000. Untuk ikan asinnya sendiri dihargai Rp50.000 per kilogram.
Menurutku, kita dapat turut mendongkrak kesejahteraan para nelayan dengan membeli ikan asin produksi mereka. Dari info yang pernah aku dengar, salah satu faktor yang menyebabkan kesejahteraan nelayan Indonesia masih rendah adalah karena para nelayan lebih fokus menangkap ikan daripada pengolahan pascatangkap.
Padahal, nilai jual olahan pascatangkap itu kan lebih tinggi daripada ikan mentah toh?
Biar pun jalan-jalan sampai ke mana-mana harap selalu ingat kepada sang pemilik nyawa.
Di Desa Tanjung Binga kami pun menyempatkan diri untuk menunaikan salat Zuhur (yang kesorean ) di Masjid Al-Huda. Masjidnya bagus, besar, dan bersih. Buatku, yang terkenang dari masjid ini adalah pengalaman menunaikan salat sambil menghirup semerbak aroma ikan asin.
Benar-benar masjid di desa nelayan...
Wajah Kawasan Pesiar di Tanjung Binga
Bungkusan plastik ikan asin sudah di tangan. Bang Dedy pun menawari tujuan berikutnya.
“Mau sekalian ke Bukit Berahu?”, tanyanya
Berhubung lokasi Bukit Berahu lumayan dekat dan sama-sama masih berada di wilayah Desa Tanjung Binga, kami pun mengiyakan tawaran Bang Dedy. Mobil melaju menyusuri jalan desa yang membelah rumah-rumah warga. Kemudian berbelok menuju cabang jalan yang menanjak.
Tepat di jalan yang menanjak ini terdapat suatu kompleks bangunan yang terpagari. Di dalamnya aku lihat ada sejumlah menara pemancar (sepertinya menara seluler). Di depan gerbang masuk ke kompleks bangunan tersebut, seorang abang keluar dari pos jaga dan menghampiri mobil.
“Per orangnya Rp10.000.”, ujarnya seraya menyodorkan karcis
Wew!
Kok ada biaya masuk? Mana biaya masuknya lumayan mahal pula. Aku jadi penasaran, apakah gerangan sebetulnya tempat yang bernama Bukit Berahu ini.
Lho? Kok ada bangunan seperti ini di atas bukit?
Heeeee! Rupanya Bukit Berahu itu semacam tempat pesiar (terjemahan bahasa Inggris dari kata “resort”). Benar-benar meleset dari bayangan awalku! Aku mengira Bukit Berahu itu adalah suatu tempat di ketinggian yang bentuknya mirip perahu. Soalnya, kata berahu itu mirip-mirip dengan kata perahu toh?
Dari lokasi parkir, yang pertama kali terlihat adalah bangunan restoran. Berhubung beberapa jam yang lalu kami baru saja makan siang, jadinya kami nggak mampir ke restoran itu. Akan tetapi, bila mencermati suasana restoran yang lumayan ramai, sepertinya ya restorannya nggak mengecewakan.
Di dekat bangunan restoran aku melihat ada anak tangga. Jadi, kami pun menuruni anak tangga yang mengarah ke dasar bukit. Dari ketinggian anak tangga terlihat sejumlah rumah-rumah kayu yang menghadap ke pantai kecil. Hooo! Rupanya Bukit Berahu juga menyediakan tempat menginap semacam vila.
Kalau melihat wujud vila-vila ini, sepertinya harga sewa per malamnya lumayan menguras dompet.
Turun tangga menuju ke dasar Bukit Berahu.
Selain vila apa ya menyediakan kamar biasa juga ya?
Keluar vila langsung ketemu pantai.
Tepat di depan vila-vila ini aku lihat ada jalan setapak yang sepertinya mengarah ke suatu tempat. Didorong rasa penasaran aku pun menelusuri ke mana jalan setapak ini kan berujung. Ternyata ujung jalan setapak ini adalah suatu pantai!
Weh! Pantai lagi. Pantai lagi!
Di Belitung ke mana-mana ujungnya selalu ketemu pantai.
Ketemu lagi sama pantai! Eh, terlihat juga itu ada pulau kecil.
Pantai tanpa nama yang aku jejaki sekarang ini karakteristiknya berbeda dengan Pantai Tanjung Kelayang dan Pantai Tanjung Tinggi. Nggak ada satu pun batu granit yang aku lihat. Baik itu batu granit berukuran besar maupun yang berukuran kecil.
Menurutku, karakteristik pantai yang sepi ini mirip-mirip dengan Pantai Tanjung Pendam. Ada banyak bebatuan karang-karang tajam yang memadati dasar pantai. Sekilas kondisi dasar pantainya mirip-mirip seperti pantai di kawasan Gunungkidul, Yogyakarta.
Selain itu, aku juga melihat ada banyak pecahan batu-batu padas tersebar di sana-sini. Apakah batu-batu ini dari dulu sudah ada di sini? Ataukah ini batu-batu sisa pembangunan kawasan pesiar Bukit Berahu?
Pecahan batu-batu padas yang memadati sebagian bibir pantai.
Seperti apa yang tampak pada foto di atas, aku lihat di sana juga ada pulau kecil. Sepertinya jaraknya nggak begitu jauh. Sepertinya pula bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Alhasil, untuk yang ketiga kalinya pada hari ini, aku kembali menggulung kedua ujung celana panjang. Dengan terpaksa pula kedua kaos kaki aku lepas dan kumasukkan ke dalam tas.
Jujur, sebagai orang yang tidak bisa melewatkan sehari pun tanpa balutan kaos kaki, rasanya berat untuk kembali menyibak air laut di saat kaki mulai nyaman terbalut hangatnya kaos kaki. Apalagi kalau mengingat resiko sandal gunung yang sudah aku keringkan beberapa jam yang lalu (pas makan siang) bakal basah kuyup lagi.
Jadi, supaya benda-benda yang keringnya lama nggak basah kembali, kali ini aku memantapkan niat untuk nyeker alias bertelanjang kaki!
Resikonya ya... aku bakal lebih intim merasakan tajamnya batu karang serta panasnya pasir yang terpanggang matahari.
Mari menyusuri bibir pantai dengan bertelanjang kaki!
Dengan demikian, perjalanan menyusuri bibir pantai pun dimulai. Untungnya, perjalanan menyusuri bibir pantai tak bernama ini nggak sepanjang seperti saat aku menyusuri bibir Pantai Tanjung Kelayang dan Pantai Tanjung Tinggi.
Kira-kira lima menit semenjak aku mulai berjalan kaki, aku menjumpai lokasi di mana banyak kapal nelayan yang bersandar. Ini seperti parkiran umumnya kapal nelayan. Selain kapal yang kondisinya masih baik ada pula kapal yang karam. Rupanya tempat ini jadi kuburan kapal juga.
Nelayan di Desa Tanjung Binga menangkap ikan pakai kapal seperti ini.
Tapi, terus terang aku jadi bertanya-tanya. Apakah nelayan-nelayan pemilik kapal-kapal ini tinggal di pemukiman nelayan yang barusan kami singgahi?
Soalnya ya lokasi kapal-kapal bersandar ini dengan pemukiman nelayan lumayan jauh. Aku perhatikan di sepanjang pantai juga nggak terlihat adanya pemukiman warga. Terlebih bila mengingat untuk kemari harus melewati kawasan pesiar Bukit Berahu.
Bangkai kapal yang dibiarkan teronggok di bibir pantai.
Nggak seberapa jauh dari lokasi parkir perahu aku menemukan apa yang aku cari-cari. Aku lihat ada jalan yang mengarah ke pulau kecil.
Jalannya jelas hanya berupa jalan pasir. Kalaupun kondisi laut sedang pasang naik besar kemungkinan jalan setapak ini akan hilang tertelan air laut.
Jadi, mumpung kondisi laut sedang pasang surut, aku pun memanfaatkan kesempatan ini untuk menyebrang ke pulau kecil tersebut.
Akhirnya, walaupun aku nggak island hopping tapi bisa island walking, hehehe.
Pulau kecil yang bisa disinggahi tanpa perlu repot-repot naik perahu.
Pohon kering (masih hidup nggak ya?) yang menurutku (agak) fotogenik.
Begitu menjejakkan kaki di pulau kecil aku langsung disambut oleh semak lebat. Terlihat juga ada jalan setapak yang membelah semak. Tentu saja ini medan selanjutnya yang mesti aku hadapi.
Masalahnya, dasar dari pulau ini bukanlah tanah, melainkan batu-batu cadas. Jadi, seperti yang aku utarakan di atas, di pulau kecil ini aku harus menguatkan diri memijak batu-batu cadas yang... suhunya lumayan panas. Sempat kepikiran sepulangnya dari sini telapak kaki bakal melepuh semua.
Ah, entah kenapa aku jadi rindu dengan sandal gunung yang aku tinggalkan begitu saja di bibir pantai. Entah kenapa aku juga percaya di pantai-pantai Belitung ini nggak ada orang yang punya hobi iseng memaling sandal gunung, hahaha.
Serasa mencari air terjun....
Perjuangan menyusuri jalan berbatu di pulau kecil ini pun berakhir tepat di ujung pulau. Terlihat ada banyak batu-batu cadas di sana-sini.
Niatku untuk mengeksplorasi ujung pulau kecil ini sudah pupus sejak awal aku menapak jalan berbatu. Lha ya gimana? Batu-batunya panas bok! Berdiri salah. Duduk pun salah karena pantat lama-lama juga terasa terpanggang.
Ya salahku sendiri memang. Siapa suruh ke sini tanpa pakai alas kaki?
Kenapa pula kurang kerjaan sandal gunung ditinggal nun jauh di sana? Kan bisa dicangking atau dimasukkan ke dalam kantong plastik?
Hadeh....
Ujung pulau kecil! Batu-batunya itu panas!
Benda-benda apakah yang berjejer di lepas pantai ini?
Dengan mempertimbangkan kemampuan kedua kaki untuk memijak batu-batu cadas nan panas, aku pun nggak berniat berlama-lama di pulau kecil ini. Aku beranjak pulang segera setelah mengabadikan sekilas pemandangan di ujung pulau kecil.
Kembali lagi menapak jalan setapak pasir yang belum tertutup air laut.
Kembali lagi melewati tempat perahu-perahu nelayan bersandar.
Kembali lagi menyusuri bibir pantai ke arah Bukit Berahu.
Akhirnya, kembali lagi mengenakan sandal gunung yang masih aman dan masih kering.
Sebelum kembali berkumpul dengan Bapak dan Ibu, aku menyempatkan diri mengintip isi bangunan yang aku duga sebagai toilet umum.
Duh! Kondisi di dalamnya mengenaskan!
Beginikah kualitas perawatan toilet kawasan pesiar sekelas Bukit Berahu?
Kurang cocok sebagai tempat mencari inspirasi sambil ngendog.
Jadi begitulah wajah Desa Tanjung Binga. Di satu sisi, kita bisa menjumpai potret kehidupan nelayan Belitung. Di sisi yang lain, kita bisa menjumpai potret geliat pariwisata di pesisir pantai.
Menurutku, apa yang aku jumpai pada hari Rabu ini merupakan dua hal yang kontras. Yang mana sangat mencitrakan adanya suatu kesenjangan antara kaum yang berada dan tidak berada.
Apakah kelak nelayan Desa Tanjung Bisa bisa hidup sejahtera sebagaimana yang kita harapkan?
Apakah kelak bakal banyak kawasan pesiar dibangun di pesisir pantai Desa Tanjung Binga?
Bagaimanakah nantinya interaksi serta hubungan timbal balik antar dua elemen di atas?
Semoga waktu kan menjawab dengan jawaban yang memuaskan....
Semoga semuanya mendapatkan yang terbaik....
KATA KUNCI
- alam
- antena parabola
- batu cadas
- batu padas
- belitung
- bukit berahu
- cara mengolah ikan asin
- desa
- desa nelayan
- desa tanjung binga
- ekspor ikan asin
- harga ikan asin
- ikan asin
- ikan asin belitung
- ikan asin tanjung binga
- kehidupan nelayan
- masjid
- masjid al-huda
- masjid belitung
- nelayan
- pantai
- pantai belitung
- pantai bukit berahu
- pantai pasir putih
- pantai sijuk
- pantai tanjung binga
- perahu nelayan
- perahu tradisional
- pulau kecil
- rumah panggung
- rumah tradisional
- sijuk
- tanjung binga
- toilet
- vila bukit berahu
NIMBRUNG DI SINI
nyamuknya. Harus
sedia lotion kalo ke
sini.
Seru gitu ya bapak dan ibu suka diajak blusukan gitu :)
Eh iya, solate khusyuk opo ora nek mambu iwak asin? :D