Wanita itu menjerit. Berkali-kali. Seakan tak berjeda. Dengan suara amat nyaring.
Siapa pun yang mendengar jeritannya mestinya bakal tergugah. Tapi entah kenapa, aku malah menikmatinya. Betul itu, aku menikmati momen di mana sang wanita ini tengah menderita.
Eh, lebih tepatnya ketakutan sih.
Si Mbak yang Berdiri di Atas Batu
Selagi si wanita masih menjerit-jerit, aku pun tertarik untuk mengabadikannya. Pelan-pelan, aku pijak bebatuan sungai yang bulat dan licin. Sesekali aku berhenti, menyeimbangkan pijakan kaki dari terpaan air sungai yang mengalir cukup deras.
Hingga pada akhirnya, merapatlah aku di batu besar yang ada di tengah sungai. Tentu dengan celana panjang yang 3/4 bagiannya sudah basah kuyup.
Setelah aku mendapat posisi yang pas, aku keluarkan perangkat dari dalam tas. Sepertinya si wanita melihat aksiku dan seketika itu pula sang wanita menjerit lebih keras sambil menunjuk-nunjuk aku.
“Bang! Jangan difoto Bang! Awas kalau difoto Bang!”
Adapun ancaman si wanita aku tanggapi dengan senyum serta tawa pendek. Mereka-mereka yang berada di sekitar sang wanita, juga terlihat menikmati saat-saat mendebarkan ini dengan canda dan tawa.
Salah satunya adalah seorang ibu paruh baya berkewarganegaraan asing. Si ibu menoleh ke arahku. Ia tersenyum. Tentu bukan senyum licik penuh maksud terselubung , melainkan senyum ramah nan hangat yang kerap tersungging di wajah manis penduduk negeri tropis.
“Can I shoot her?”
Ah, sebodo amat dengan grammar dan pronunciation! Toh, ini bukan oral test, TOEFL test, TOEC test, atau yang semacamnya. Ini hanya suatu cara berkomunikasi antar dua manusia dari dua bangsa yang berbeda bahasa ibu.
Ibu paruh baya itu tertawa kecil dan mengangguk. Pandangannya pun beralih kepada sang wanita mengenaskan yang masih menjerit-jerit di atas bebatuan sungai. Posisinya sudah berubah, tapi nyalinya masih ciut.
“Just jump!”, teriak sang ibu memberi semangat
Aku pun ikut semangat. Aku sudah stand-by dalam posisi mengintip dari balik jendela bidik. DSLR sudah aku set ke mode burst. Apa pun momen yang terjadi nanti ya terjadilah. Yang penting aku sudah dapat approval dari si Ibu paruh baya.
Nasibmu deh mbak ketakutan nggak berani lompat, hahaha.
Momen “ceria” yang terjadi pada Selasa siang (8/3/2016) sekitar pukul setengah 11 itu lumayan memberi kesegaran di tengah perjalanan panjang menyusuri kawasan Taman Wisata Alam Batu Mentas yang terletak di kaki Gunung Tajam. Secara administratif taman wisata ini terletak di Dusun Kalekak Datuk, Kecamatan Badau, Kabupaten Belitung, Kepulauan Bangka Belitung.
Si Tarsius yang Tinggal di Pinggir Sungai
Jadi, apakah sebetulnya Taman Wisata Alam Batu Mentas itu?
Taman Wisata Alam Batu Mentas merupakan salah satu tempat wisata alami di Pulau Belitung yang tersohor sebagai tempat penangkaran satwa langka yaitu tarsius. Primata endemik yang mendiami Pulau Belitung ini memiliki nama ilmiah Tarsius bancanus. Sedangkan warga Belitung mengenal hewan mungil ini dengan nama pelilean.
Dalam pandanganku tarsius itu ibarat monyet mini dengan mata besar, sebesar bola ping-pong (ini lebay, hahaha ).
Gimana nggak? Ukuran tarsius itu mungil BANGET! Hanya sekitar belasan cm! Ditambah lagi matanya besar. Aneh toh?
Berdasarkan hasil ngobrol-ngobrol sama si abang petugas jaga ditambah informasi dari makalahnya Kak Chica, berikut ini adalah fakta-fakta menarik dari tarsius.
- Di Taman Wisata Alam Batu Mentas, tarsius yang dikandangkan hanya 2 ekor, satu jantan, satunya betina.
- Pernah dicoba dua tarsius dikandangkan, tapi kemudian salah satunya mati. Diduga mati karena stress karena nggak ditemukan luka karena bertarung.
- Tarsius yang hidup di Taman Wisata Alam Batu Mentas dan sekitarnya diperkirakan berjumlah 1.000 ekor.
- Tarsius hidup dengan usia rata-rata 15 tahun. Ibaratnya mati setelah lulus SMP.
- Tarsius
akil balighdewasa dalam usia 1 tahun. - Tarsius merupakan hewan nokturnal (aktif di malam hari). Di siang hari tarsius nyantai seperti di pantai.
- Tarsius hewan karnivora. Makanan favoritnya adalah serangga kecil.
- Tarsius hidup dan bersarang di pohon.
- Tarsius NGGAK BISA JALAN, bisanya hanya MELOMPAT.
- Tarsius nggak bisa melompat lurus ke depan, melainkan vertikal menyamping.
- Tarsius lompat sambil kencing untuk mendadai daerah kekuasaannya. Kalau ngendog-nya sambil lompat juga nggak ya?
- Tarsius kalau diletakkan di tanah bakal langsung lompat nyari pohon. Kalau nggak ada pohon dia bakal stress.
- Tarsius berteriak-teriak ketika melompat dan juga saat mengumpulkan anggota keluarganya.
- Tarsius itu hewan SETIA alias monogami. Hanya kawin SEKALI seumur hidup.
- Tarsius nggak perlu ikutan program KB, karena hanya BERANAK SATU.
- Tarsius betina hamil sekitar 6 bulan.
- Tarsius hidup di wilayah kekuasaan dengan luas 1 hektar!
- Dari poin 14, 15, dan 17 sangat nggak mungkin dunia bakal dikuasai tarsius.
Di Taman Wisata Alam Batu Mentas ini pengunjung juga bisa mengamati kehidupan tarsius di alam bebas. Tentu saja di malam hari dengan didampingi pemandu. Sayang aku nggak bertanya lebih detil perihal paket wisata tarsius ini.
Selain wisata tarsius, ada pula paket wisata lain di Taman Wisata Alam Batu Mentas seperti river tubing yang fotonya ada di atas itu.
Di Taman Wisata Alam Batu Mentas juga ada semacam riverside, yaitu bagian sungai yang dangkal dan luas sehingga cocok sebagai lokasi berbasah-basahan. Anak-anak pasti lah senang bermain air di sini.
Di tepian sungai berjejer banyak bangku dan kursi. Ada pula kedai-kedai sederhana. Beberapa warga juga tampak sedang membangun bangunan kedai baru.
Ah, amboi sekali rasanya bersantai di tepi sungai sambil menyesap teh hangat sambil ditemani gemericik air sungai dan alunan warga hutan.
Tapi buatku, yang menarik dari Taman Wisata Alam Batu Mentas sebetulnya bukan hanya tarsius atau pun river tubing, melainkan gosip bahwa di sini ada AIR TERJUN!
You know lah Pembaca, setiap kali aku datang ke lokasi baru yang sekiranya “potensial”, yang pertama kali dikulik pasti adalah info air terjun. #hobi
Lagipula petunjuk ke air terjun terdengar sederhana,
“Ikuti saja sungainya Bang.”
Ya kan? Mana mungkin aku nggak tergelitik untuk mencoba menyusuri sungai kan?
Si... Apa yang Ada di Sana?
Kemudian dimulailah perjalanan menyusuri sungai dengan berjalan kaki. Medannya ya jalan setapak tanah hutan selebar kira-kira kurang dari satu meter.
Sekitar 15 menit berjalan kaki dari lokasi kedai-kedai atau riverside tibalah aku di lokasi river tubing di mana sang wanita menjerit-jerit ketakutan itu.
Sampai sejauh ini aku belum mencium bau-bau air terjun. Mungkin masih lebih masuk ke dalam hutan lagi.
Akan tetapi, perasaan ganjil mulai menghantui sanubari tatkala menapak jalur selepas lokasi river tubing.
Perasaanku, jalan setapaknya mulai “ngawur”. Yang semula jelas berada di tepi sungai, perlahan-lahan mulai kelihatan samar. Juga, si doggy yang dari tadi sukarela menemaniku mendadak diam berhenti dan mulai menyalak.
Ada apa?
Meskipun demikian aku tetap melangkah maju tanpa gentar. Sampai kemudian aku tiba di suatu tempat yang mana aku menjadi... agak... takut.
Suasananya mendadak jadi sepi. Benar-benar sepi. Sepi banget. Nyaris nggak ada suara.
Sepanjang perjalanan tadi aku masih sesekali mendengar kicauan burung dan juga gemericik air sungai. Tapi sekarang ini suasananya benar-benar hening.
Ini aneh.
Yang lebih membuatku bersiaga satu sebetulnya adalah sekelebat bayangan yang melintas di sisi seberang sungai di antara pepohonan dan semak. Weh, apa itu?
Aku nggak mau berpikir yang aneh-aneh. Aku berasumsi sekelebat bayangan yang kulihat itu adalah hewan atau mungkin warga setempat. Tapi, ketika bayangan itu melintas beberapa kali, dosis pikiran positif itu tak lagi mempan.
Beberapa kali aku berhenti dan mengamati kondisi sekitar. Sama sekali nggak terlihat ada yang mencurigakan. Nggak ada suara. Semua hening.
Mana mungkin ada yang bergerak tanpa suara?
Masak tarsius keliaran di siang bolong?
Mana mungkin pula ukuran tarsius sebesar itu?
Sempat terlintas pikiran untuk menyebrangi sungai ke sisi seberang. Tapi aku mengurungkan niat karena ya... aku nggak mau nyari perkara dengan kondisiku yang seorang diri di tengah hutan.
Alhasil aku mempercepat langkah kaki. Aku terobos saja pepohonan dan semak tanpa peduli jalan mana yang semestinya aku pijak.
Kepala perlahan disusupi oleh beragam pertanyaan.
Mungkinkah sekelebat bayangan itu adalah “penghuni” Gunung Tajam?
Perasaan aku nggak berbuat aneh-aneh?
Perasaan aku juga sudah mengucap salam?
Apa mungkin si bayangan bermaksud memberitahu aku sesuatu?
Kenapa si bayangan seperti mengikuti dan mengawasi aku?
Semua pikiran liar itu seakan dibenarkan oleh teori, bahwa di dalam hutan yang notabene jauh dari hiruk-pikuk manusia, segala hal di luar nalar sangat mungkin untuk terjadi.
This is bad...
Tiga puluh menit berlalu dan aku masih dibayang-bayangi kecemasan. Dan juga oleh sekelebat bayangan di sisi seberang sungai itu.
Sekarang aku tahu gimana rasanya diikuti "sesuatu"....
Di tengah suasana tegang ini aku tiba di tempat yang janggal. Ada area yang cukup luas di dalam hutan di mana pohon-pohonnya ditebangi. Bisa jadi warga berniat membangun sesuatu di kawasan ini. Sayangnya, di lokasi aku nggak menjumpai satu pun warga.
Sedangkan di tanah, aku lihat ada patok biru yang mirip seperti patok batas wilayah kelurahan di Jogja sini. Di patok tersebut tertera logo Dinas Pekerjaan Umum serta tulisan BBWSS VIII BM 01 Th. 2014. Dari hasil googling, BBWSS itu singkatan dari Balai Besar Wilayah Sungai Sumatra.
Di sinilah jalur menyusuri pinggir sungai yang sedari tadi aku lalui menjadi buntu. Sejauh ini aku sama sekali nggak menjumpai tanda-tanda keberadaan air terjun. Jangankan papan petunjuk arah, suara air sungai saja masih gemericik.
Jalur yang aku lalui ini besar kemungkinan masih berlanjut. Aku lihat ada jalan setapak yang mengarah masuk ke dalam hutan. Tapi aku kurang yakin kalau mengikuti jalan itu bisa sampai ke air terjun.
Bilamana nekat melanjutkan menyusuri pinggir sungai, sepertinya aku harus berpindah ke sisi sungai yang di seberang. Tapi jelas aku nggak mau memilih opsi itu! Skenario terburuk, si bayangan sudah menantiku di seberang sana....
Ini situasi yang pelik wahai Pembaca.
Apa boleh buat.
Demi alasan keamanan, aku pun mundur, kembali pulang ke tempat kedai-kedai di mana peradaban manusia berada. Kemungkinan aku bisa menemukan air terjun sepertinya amat minim.
Bendera putih berkibar. Air terjun di Taman Wisata Batu Mentas masih menjadi mitos.
Semisal di sepanjang jalan ada petunjuk arah yang jelas dan ditemani orang yang paham lokasinya, mungkin ceritanya bakal berbeda. Sayang, keberuntungan tidak sedang berpihak padaku seperti waktu di Kerinci dulu itu.
Alhamdulillah aku tiba kembali dengan selamat. Sesampainya di kedai, si ibu pemilik berujar,
“Dari sini ke air terjunnya dua jam jalan kaki Bang.”
Beh! Kenapa aku nggak tanya dari tadi!?
Tapi terus terang aku nggak mau menyinggung-nyinggung perkara si bayangan. Aku cuma bisa bilang kalau medan jalannya "aneh".
Ya sudahlah. Mari pindah ke lokasi “potensial” berikutnya!
Semoga tanpa dhemit.
NIMBRUNG DI SINI
baru tahu kalau tarsius berasal dari daerah sana :D ...
blukusan sendiri di hutan .. ga pernah kapok kapok :) ... kepo
2 ga bobo? kasian ya. umurnya cuma sampai SMP :( g bisa ambil kuliah d matematika ugm
dong yaa. sungaine jan segeeer banget
awal
Btw, soal menelusuri daerah yang jarang ditapakin manusia ini emang sering terjadi hal-hal yang gak biasa ya, saya juga sering begitu, pas lagi jalan/motret sendiri di tempat yang jarang ada manusia, rasanya seperti diikuti sesuatu, yang walaupun lari kenceng juga terasa sesuatu itu lari mengejar kita juga, beeeh.. merinding disko lah pokoknya, saya pernah ky gitu, sering malah :D
terjunnya walaupun sangat tersembunyi ya. jadi inget objek wisata di bali. banyak banget
ada tempat wisata alam kayak gini.
foto2 sungai setelah foto anjing juga kerasa hening penuh misteri
Baiklah aku mau tarsius versi manusia nya wkwk
Sungaiinya jan nyeburable, adusable banget.
Mas mawi susur sungai bentuknya ala ala
pedalaman begitu kalau ada buaya apa anaconda
atau piranha gimana?
Sungainya emang enak buat main air. Tapi nanti malah dimain-mainkan sama yang nunggu piye?
Kalau ada apa-apa ya berdoa wae lah...
dunia, jadi ngakak mas. Hahahahah. Yaiyalah,
umurnya aja, segitu.
Waduh.... Kok bisa-bisanya mas, sampe diikuti gitu.
Aku juga pernah, sih. Waktu itu di hutan larangan
Kampar. Nah, pas siang katanya gak boleh ke
mana2. Yg lain duduk, aku nya celangak-celinguk sini
dan sono. Endingnya di lihat in bayangan gak jelas
lewat di dalam hutan. Penasaran bukan malah takut,
tapi daripada, yasudah aku duduk lagi mas.
Hehehehe
dengan mata, hahaha.... Kasihan tuh Tarsius, belum melanjutkan ke SMA udah mati,
apalagi merasakan bangku kuliah, hahaha