Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Minggu pagi buta (24/6/2018) silam, seorang suami dan seorang istri berboncengan sepeda motor menembus lenggangnya Jl. Magelang. Seperti yang lalu-lalu, rentetan obrolan tak berfaedah senantiasa mengalir sepanjang perjalanan.
“Hooo, istri sukanya keluyuran ya?” tanya si suami.
“Eh, suami juga sukanya keluyuran lho!” balas si istri.
“Aku kan keluyuran kalau cuma dapat wangsit! (Misal) Hei Mawi! Pergilah kamu ke arah barat!”
“Lho, aku keluyuran ini juga gara-gara dapet wangsit!”
“Hah?”
“Wangsitnya nyuruh aku pergi ke arah barat-utara!”
“Hoooo....”
SILAKAN DIBACA
Jadi, dikarenakan:
- Istri kepingin jalan-jalan setelah satu bulan lebih menunaikan ibadah puasa tanpa sekalipun keluyuran jauh. #hehehe
- Istri dapat wangsit untuk keluyuran ke arah barat-utara. #masak.sih #hehehe
- Suami yang sebisa mungkin berusaha menjauhkan istri dari bad mood. #eh #hehehe
Maka dari itu, pada Minggu pagi yang mendung, aku dan Dwi keluyuran ke arah barat-utara! #senyum.lebar
Tapi, tujuannya nggak jelas! Dwi maunya sih mencari curug. Tapi, aku malah sangsi. Memang masih ada curug yang berair pada akhir Juni begini? Kan sudah masuk musim kemarau ya?
Mau menyebut curugnya sudah kering-kerontang tapi kok ya nggak tega sama istri....
Ya paling derasnya air curug-curug di sekitar Yogyakarta pada akhir Juni ini sudah mirip uyuh butho. Nggak tega juga kalau mau bilang derasnya air curug nggak lebih deras dari uyuh emprit. #hehehe
Mampir Dulu ke Pasar
Tapi ya sudah lah. Dilakoni dulu saja. Yang penting pergi keluyuran ke arah barat-utara dari Kota Jogja dan di sana ada curugnya! Dalam penerawanganku, tempat yang dimaksud itu berada di Perbukitan Menoreh, yang menjulang panjang di wilayah barat Yogyakarta.
Eh, omong-omong, di salah satu lereng Perbukitan Menoreh terdapat pasar tradisional yang bernama Pasar Plono. Sudah lama aku penasaran dengan aktivitas pagi di pasar itu.
Nah, daripada bingung memilih sasaran curug, mending menyambangi Pasar Plono dulu deh! Siapa tahu di Pasar Plono ada warung yang menjajakan sarapan ndeso. Biarlah nanti target curugnya dipikir sambil sarapan. #hehehe
Eh, sekadar informasi, Pasar Plono itu terletak di Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta.
SILAKAN DIBACA
Jadi, bermula dari Jl. Magelang disambung Jl. Kebonagung dan Jl. Dekso – Samigaluh, kami pun tiba dengan selamat di Pasar Plono kira-kira pukul setengah 7 pagi. Seperti biasa, medan jalan ke Pasar Plono tetap berwujud tanjakan yang lumayan jahanam. #doh
Total perjalanan sejauh 36 km ditempuh selama 1,5 jam. Di tengah perjalanan sempat berhenti mengisi bensin di SPBU di dekat Pasar Dekso.
Eeeeh... jebul ternyata, pada Minggu pagi itu Pasar Plono sepi buanget mirip kuburan! Jadi, di sana kami hanya menumpang parkir untuk mengunyah beberapa bungkus snack cokelat. #hehehe
Sepintas melirik, warung makan di sekitar Pasar Plono hanya ada segelintir. Ada sih satu warung yang bersiap buka. Tapi, pas dilirik lagi, sajian di warungnya kurang menggugah selera. #hehehe
Demi mengorek informasi, aku pun merapat ke warung kelontong di seberang pasar. Katanya Ibu warung, Pasar Plono itu hanya ramai pas hari pasaran Legi dan Wage.
Eh, hari Minggu ini rupanya Minggu Kliwon. Artinya, besok baru deh Pasar Plono ramai.
Waduh! Salah jadwal dong ke pasar.... #hehehe
Oh iya, pada waktu itu di belakang Pasar Plono sedang ada proyek pembangunan. Katanya Ibu warung, di belakang Pasar Plono sedang dibuat tempat parkir bus wisata.
Nggak jauh dari Pasar Plono kan memang ada kawasan wisata Kebun Teh Nglinggo. Mana sekarang gerbang masuknya sudah dibuat nge-jreng pula. Wew!
Tapi, memang bisa ya bus pariwisata yang bongsor itu melintasi tanjakan Samigaluh yang terkenal jahanam? #hehehe
Pilihan Jatuh ke Jawa Tengah (Lagi)
Karena keinginan ke ke pasar sudah terlaksana (walaupun salah jadwal #hehehe), jadi ya dilanjut mencari curug deh! #senyum.lebar
Tapi, karena bingung mau ke mana, alhasil Kabupaten Purworejo di Jawa Tengah terpilih jadi TKP. Hanya beberapa kilometer dari Pasar Plono memang sudah masuk wilayah Purworejo.
Secara pribadi, aku lebih senang mencari curug di wilayah Purworejo daripada di Kulon Progo. Soalnya lebih sepi, lebih alami, dan lebih wingit! #hehehe
SILAKAN DIBACA
Jadi, dari DI Yogyakarta pindahlah kami ke provinsi Jawa Tengah. Setelah itu tetap bingung karena nggak jelas curug mana yang terpilih jadi sasaran.
Hadeh.... nggak jelas banget agenda keluyuran hari ini.... #hehehe
“Mas, ke curug yang dulu nggak jadi ke sana aja,” usul Dwi.
Weh!?
Maksudnya itu Curug Sedayu alias Curug Klanceng Putih!?
Waow....
Jadi ceritanya begini.
Dulu sewaktu keluyuran berburu Curug Tamansari, aku sempat bercerita ke Dwi tentang Curug Klanceng Putih. Tapi, karena dulu itu hujan, jadi Dwi aku bikin supaya malas ke sana #duh dengan alasan harus masuk-masuk hutan dalam kondisi hujan-hujanan. #hehehe
Nah, karena pagi ini nggak hujan, jadi ya nggak mempanlah itu alasan #hehehe. Pun karena nggak punya ide curug lain, akhirnya terpilihlah Curug Klanceng Putih sebagai target operasi.
Buatku, Curug Klanceng Putih bukan tempat yang asing. Pada tahun 2013 aku pernah ke curug ini sama Pakdhe Timin.
Jadi, ceritanya sekarang ini bernostalgia dengan curug 5 tahun silam. Kalau dulu sama kawan, sekarang sama istri terlucyu. #senyum.lebar
Kembali lagi ke cerita. Beberapa ratus meter setelah melintasi perbatasan DI Yogyakarta – Jawa Tengah, tibalah kami di Desa Sedayu. Dulu, di pertigaan dekat warung berdiri papan arah ke Curug Klanceng Putih (buatan para mahasiswa KKN). Tapi, sekarang papannya nggak ada.
Agar lebih mantap arah, bertanyalah aku kepada seorang bapak dan seorang mas yang sedang mengobrol di depan warung. Oleh si bapak kami disarankan ke Curug Klanceng Putih lewat Dusun Lor Kali karena jalannya lebih bagus.
Aku juga sudah nggak asing dengan Dusun Lor Kali. Soalnya, pas berburu curug bareng Pakdhe Timin pada tahun 2013 silam ya ke dusun itu.
Pokoknya, dulu itu dusun-dusun di Desa Sedayu di Kecamatan Loano ibarat hanya "kampung sebelah rumah" lah. Sering banget jauh-jauh keluyuran ke sana hanya demi mencari curug yang (dulu) masih perawan! Hahaha. #senyum.lebar
Petualangan di Dusun Lor Kali
Jalan menuju ke Dusun Lor Kali terletak di pertigaan yang sekarang dipasangi papan arah ke curug-curug di Desa Benowo. Aku juga sudah nggak asing dengan Desa Benowo karena dulu sudah pernah berkali-kali ke sana hanya demi mencari curug! Hahaha. #senyum.lebar
Kalau dipikir-pikir, dulu itu kok ya aku kurang kerjaan banget sampai berkali-kali blusukan masuk-masuk hutan di pelosok Purworejo hanya demi mencari curug. #hehehe
SILAKAN DIBACA
Dimulailah perjalanan menuju ke Dusun Lor Kali. Di tengah jalan yang semakin lama semakin menanjak, Dwi sempat bertanya arah ke bapak yang sedang bersiap ngarit. Beliau mengabarkan bahwa perempatan ke Dusun Lor Kali sudah kelewatan!
Hadeh… kebablasan gara-gara keasyikan ngegas sepeda motor di tanjakan.... #hehehe
Karena asa nyaris hilang setelah sekian ratus meter menanjak, bapak itu memberi tahu adanya objek wisata Gunung Kunir di puncak tanjakan. Jadilah sepeda motor tetap menyusuri jalan menanjak seusai berterima kasih kepada beliau.
Nanjak, nanjak, dan nanjak terus, tibalah di muka gapura Dusun Benowo. Di sini jalan bercabang lagi. Alhasil, sang istri diminta pendapatnya lagi.
Dwi rupanya masih tetap pada pendiriannya. Dia nggak berminat ke Gunung Kunir. Pun nggak berminat ke curug yang sudah terjamah rombongan Deswita.
Okelah kalau begitu....
Jadi, jalan yang semula tanjakan kini menjadi turunan. Artinya, balik kanan menuju perempatan ke Dusun Lor Kali.
Di rumah dekat perempatan ada seorang mbak-mbak. Dwi bertanya ke mbak tersebut guna memastikan cabang jalan yang yang dipilih benar-benar mengarah ke Dusun Lor Kali.
Ketika melewati cabang jalan ini, sedikit demi sedikit rekaman ingatan 5 tahun silam mendadak pulih. Harusnya, sebelum ke sini baca-baca artikel lawasku itu dulu. #hehehe
Selang beberapa menit kemudian tibalah dengan selamat di Dusun Lor Kali. Sepeda motor langsung diparkir di parkiran masjid sesuai ingatan 5 tahun silam.
Sayangnya, Dusun Lor Kali sepertinya sudah berubah banyak. Kok di dekat masjid ada percabangan jalan besar yang dulu sepertinya belum eksis.
Untung di dekat masjid ada seorang ibu baik hati yang menunjukkan arah. Beliau benar-benar menunjukkan arah karena segera menghentikan aktivitas menyapunya dan mengajak kami menghampiri cabang jalan masuk hutan.
Terima kasih ya ibu! #senyum.lebar
Yesss! Dimulailah perjalanan masuk-masuk hutan. #senyum.lebar
Sejauh ini perjalanan masih lancar-lancar saja. Hanya ada satu jalan setapak yang medannya lumayan jinak bagi orang yang nggak terbiasa trekking. #hehehe
Titik pemberhentian istirahat adalah di suatu aliran sungai di bawah jembatan bambu. Di sini sempat berhenti sebentar untuk berfoto-foto. #senyum.lebar
Eh iya, sungainya bernama Kali Nabag atau Kali Nabak? Betul yang mana ya penulisannya?
Kalau mengikuti aliran ke hulu sungai nanti bakal bertemu dengan Curug Klanceng Putih. Dulu tahun 2014 aku sudah pernah ke sana bareng Paklik Turtlix, Pakdhe Timin, dan Angki.
Tapi, berhubung aku lupa harus lewat jalan setapak yang mana untuk ke sana, jadinya aku ajak Dwi untuk menyambangi curug lain yang pernah aku sambangi tahun 2013 silam bersama Pakdhe Timin.
Eeeh, jadi ceritanya di sepanjang aliran Kali Nabag ini ada tiga curug. Yang satu bernama Curug Klanceng Putih. Dua yang lain mbuh namanya apa, hahaha. #senyum.lebar
Oleh sebab itu, kami pun menyeberangi jembatan. Setelah itu medan perjalanan menjadi sangat menguras tenaga karena menanjak menyusuri lereng perbukitan.
Dwi lambat laun memasang wajah bete. Kecapekan dan belum makan aku duga menjadi penyebabnya. Tapi, dirinya menuduh aku terlalu cepat berjalan.
Hadeh…
Tapi, mungkin penyebab utama ke-bete-an Dwi adalah karena keberadaan curug yang serba nggak jelas. #doh
Di sepanjang perjalanan menyusuri jalan setapak blas sama sekali nggak ada orang untuk ditanyai. Pun petunjuk arah menuju ke curug hanya sebatas torehan cat bersimbol tanda panah di batang-batang pohon yang kesannya mencurigakan.
Ditambah lagi yang paling parah adalah aku lupa jalan menuju ke curug! Hahaha! #senyum.lebar
Lha piye meneh? Sudah 5 tahun yang lalu kok! #hehehe
Jadi, sewaktu Dwi bertanya seberapa lama lagi tibanya atau cabang jalan mana yang diambil, jawaban yang aku berikan kurang membuatnya puas. #hehehe
Karena wanita umumnya mendambakan kepastian jadi yaaa... begitulah. #hehehe
Kalau sudah begini jadi menyesal. Kenapa sebelum berangkat ke TKP aku nggak membaca artikel perjalananku 5 tahun dulu itu? Atau seenggaknya melihat-lihat foto 5 tahun silam.
Weh....
Akhirnya, perjalanan blusukan di dalam hutan Purworejo ini terhenti di suatu bagian sungai yang mengucurkan air seperti curug. Jelas, bukan ini curug yang diburu. Seingatku, masih harus berjalan “agak” jauh lagi. #hehehe
Tapi karena raut wajah Dwi sudah semakin bete dan mulutnya semakin minim berceloteh, jadilah dengan demikian kembali ke parkiran sepeda motor adalah pilihan terbaik.
Singkat kata, perburuan curug kali ini GAGAL! #senyum.lebar
Cerita Seru Warga
Di tengah perjalanan pulang menyusuri jalan setapak, kami berpapasan dengan seorang ibu yang sedang berangkat ngarit. Ibu itu pun memberitahu sinopsis rute ke curug yang seharusnya diambil. Tapi, Dwi wegah kalau harus balik lagi ke sana, hehehe. #hehehe
Jadilah sambil beristirahat memulihkan tenaga, kami mengobrol dengan ibu tersebut. Kok ya ndilalah beliau juga berkenan diajak ngobrol di tengah hutan. #senyum.lebar
Banyak hal menarik yang terungkap dari sosok ibu tersebut. Rupanya, beliau bukan berasal dari Purworejo. Beliau berasal dari Kota Jambi dan sudah 25 tahun menetap di Dusun Lor Kali.
Sungguh hidup yang sangat kontras sekali. Semasa mudanya beliau hidup di kota besar nan ramai. Sekarang beliau hidup berdampingan dengan sepinya hutan. Nun jauh di pelosok pula. #hehehe
Katanya, beliau lumayan kaget pas diajak suaminya pindah ke Dusun Lor Kali. Tapi, lama-lama ya terbiasa. Saking terbiasanya, beliau lancar banget berbahasa Jawa krama inggil. Makanya, awalnya kami mengira beliau ya warga asli Purworejo. Eeeh, jebul kok pindahan dari Jambi. #hehehe
Lha, aku saja yang sudah 14 tahun lebih hidup di Jogja malah masih belum layak menyandang gelar Jawa karbitan karena kemampuan berbahasa Jawa yang masih terbata-bata. Kalah telak sama pendatang dari pulau seberang. #hehehe
Tentang Curug Klanceng Putih, ibu tersebut juga memiliki informasi yang nggak kalah menarik. Kata beliau, curug itu ANGKER!
Weh! Langsunglah aku mengulik seberapa dahsyat keangkerannya:
- Kolam mungil yang tadi sempat jadi tempat berfoto-foto itu namanya Kedungringin. Sedangkan kolam di dasar Curug Klanceng Putih namanya Kedungjero. Katanya, Kedungjero tembus ke laut selatan.
- Curug yang gagal kami sambangi itu konon memiliki penunggu yang sosoknya kakek bertopi.
- Selain itu ada pula sosok anak-anak gundul. Tuyul kah?
- Klanceng Putih sebetulnya jenis jimat. Banyak orang bertapa di curug untuk memperoleh itu. Kalau nggak kuat bisa stres. Yang memiliki Klanceng Putih konon nggak akan basah di laut. #so.what
- Hutan ini juga angker. Sering terdengar suara orang berteriak, tapi ketika disahut nggak ada balasan.
Sekitar 15 menit kemudian obrolan pun berakhir. Ibu tersebut melanjutkan perjalanannya untuk ngarit. Sedangkan kami tiba kembali di masjid tempat sepeda motor diparkir.
Mbuh kapan lagi bakal ke sini lagi karena katanya istri sudah trauma berat dengan jalan setapak ke Curug Klanceng Putih. #hehehe
Yang jelas, dari foto jarak jauh yang sempat terabadikan, aliran air Curug Klanceng Putih masih deras pada bulan Juni. #senyum
Next time berburu curug Purworejo yang mana lagi ya? #senyum.lebar
kunjungan mentri pariwisata di sedayu
sekaligus membuka pasar menoreh tlg
datang yaa