Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Jam Stasiun Tugu menujukkan pukul 6.40 pagi.
Kereta Prameks tujuan Kutoarjo telah melaju pergi.
Tiket yang sudah kami beli pun jelas merugi.
Akankah petualangan kami kali ini gagal lagi?
TIDAK!
Aku dan Pakdhe Timin pun langsung bergegas menuju shelter TransJogja di Jl. Malioboro. Kami pindah haluan ke rencana B: naik bus ke Kutoarjo. Untung di hari Rabu (18/4/2012) itu anak-anak SMA kelas 3 sedang UN matematika. Jadinya, halte lumayan sepi deh. (lho, apa hubungannya ya? )
Seperti biasa, tujuan kami adalah mencari curug alias air terjun yang terletak di Desa Gunungcondong, Kecamatan Bruno, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Nama air terjunnya adalah Curug Kyai Kate.
Petualangan kali ini tidak pakai sepeda.
Hanya berdua.
Sudah lama tertunda-tunda.
Kami tidak sedang bercanda.
INI BUKAN PEKOK!
SILAKAN DIBACA
Etape 1, Dari Jogja ke Kutoarjo
Jarak dari Kota Jogja ke kota Kutoarjo di Purworejo, Jawa Tengah itu sekitar 60 km. Dengan rincian jarak:
Jogja – Wates: 30-an km
Wates – Purworejo: 18-an km
Purworejo – Kutoarjo: 12-an km.
Kami naik bus TransJogja jalur 3A ke Terminal Giwangan. Ongkosnya Rp3.000 per orang. Suasana di bus hampir tidak banyak berubah. Selain beberapa bangku yang bantalannya sudah mulai rusak.
Sesampainya di Terminal Giwangan, kami pun bingung mencari bus tujuan Kutoarjo. Alhasil, kami naik bus kecil tujuan Terminal Wates. Harapannya, di Terminal Wates nanti ada bus arah ke Kutoarjo.
Kalau mau cepat sampai, naik bus PATAS aja.
Gambar dipinjam dari bismaniagunungkidul.multiply.com.
Harapan ingin segera sampai ke Kutoarjo rasanya harus dibungkus rapat-rapat. Bus kecil yang kami tumpangi berjalan sangaaat pelan, seperti siput yang baru bangun tidur. (hubungannya? )
Bus berputar-putar di seputar kawasan Dongkelan dan Wirobrajan sebelum akhirnya melaju ke Jl. Wates. Semua hal itu meyakinkan kami bahwa naik bus kecil ini benar-benar membuang-buang waktu. #emosi #sabar
Tarif bus dari Jogja ke Wates sebesar Rp5.000 per orang dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam. Duh, lamanya! Sesampainya di Terminal Wates, kami pun disarankan untuk mencegat bus arah Kutoarjo di luar terminal. Lho kok?
Selang beberapa saat, tibalah bus arah Kutoarjo dengan tulisan “Jogja – Cilacap” terpampang di kaca depan. Lha? Ini kan bus yang tadi mangkal di Terminal Giwangan!? Nah lho!
Memandang jalan raya dari dalam bus membuat kami bernostalgia, bahwa kami pernah bersepeda hingga ke Purworejo. Ah, kenangan PEKOK yang sudah lama berlalu.
Agar tidak bertele-tele, apabila Pembaca hendak ke Kutoarjo naiklah bus tujuan Jogja – Cilacap. Naiknya dari Terminal Giwangan atau bisa mencegat di Jl. Wates seberang Pasar Gamping. Bus ini juga melewati Kota Kebumen, Gombong, hingga Cilacap.
Etape 2, Isi Perut di Kutoarjo
Kira-kira pukul setengah 11 siang, kami pun mendarat di Pasar Kutoarjo. Ongkos bus dari Wates ke Kutoarjo sebesar Rp7.000 saja. Berhubung hari sudah siang dan tadi pagi kami belum sarapan, alhasil kami mencari makan di dekat Pasar Kutoarjo. Sebab, dari pengalaman yang sudah-sudah, daerah sekitar curug itu minim tempat makan. Tentu saja, kami juga butuh asupan tenaga untuk menerjang medan menuju curug.
Siapa yang sudah pernah ke pasar Kutoarjo?
Kami bersantap di sebuah warung makan sederhana bernama Rahayu. Santapan nasi sayur, telur goreng, dan es teh dihargai Rp7.500. Oleh Ibu pemilik warung, kami disarankan naik angkot yang mangkal di dekat pasar untuk menuju Curug Kyai Kate.
Sarapan sekaligus makan siang
Etape 3, Pertama Kali Naik Angkutan Desa
Di pangkalan angkot, kami disapa oleh bapak petugas timer (pencatat statistik perjalanan angkot). Kami pun dikenalkan dengan Pak Nur, seorang supir angkot yang melayani rute Kutoarjo–Kemiri–Bruno–Cepedak. Pak Nur berjanji membantu perjalanan kami menuju Curug Kyai Kate.
Ternyata, Curug Kyai Kate yang kami incar itu terletak di Desa Gunungcondong yang berada nun jauh di atas bukit. Angkot Pak Nur yang kami tumpangi ini adalah angkot terakhir yang menuju Desa Gunungcondong. Setiap harinya, angkot beroperasi sejak pukul 6.30 pagi.
Angkot milik Pak Nur (sedang berdiri di atap angkot) juga digunakan untuk mengangkut kebutuhan sehari-hari.
Pak Nur ini sifatnya lucu. Olehnya kami dikira pendatang luar, walau kami memang mengaku berasal dari Jogja. Ia tidak berbahasa Jawa ketika bercakap-cakap dengan kami. Pun, berkali-kali ia meminta kami maklum,
"Maaf ya Mas, namanya juga angkutan desa"
Buatku, ini pertama kalinya aku naik angkutan desa. Kesannya seperti di bawah ini.
- Setiap penumpang sudah saling kenal, apalagi dengan Pak Nur. Lha wong tiap hari mereka naik angkot yang sama. Jadi, kami serasa orang asing di antara mereka.
- Angkot juga berfungsi mengangkut barang-barang kebutuhan harian. Sepanjang perjalanan, Pak Nur acap kali berhenti di muka warung untuk mengantar barang-barang pesanan pemilik warung.
Harap dimaklumi, sempit dan panas.
Perjalanan ke Desa Gunungcondong bisa dibilang kurang menyenangkan, hahaha . Soalnya, jalan ke Desa Gunungcondong itu meliuk-liuk, banyak tanjakan terjal, dan kontur jalannya rusak. Mirip seperti medan jalan ke Air Terjun Takapala, hanya jalannya lebih sempit. Apalagi, aku pun sempat mabuk. Doh!
Untuk segala jernih payah perjuangan angkot masuk desa itu, Pak Nur hanya meminta biaya Rp15.000 per orang. Jarak Desa Gunungcondong dari Kutoarjo sekitar 20-an km, waktu tempuhnya 1 jam. Jalan yang kami lalui adalah jalan alternatif yang menghubungkan Kutoarjo dan Wonosobo.
Absensi angkot yang ngetem. Waktu ngetemnya 20 menit.
Etape 4, Masuk Hutan
Sesampainya di Desa Gunungcondong, oleh Pak Nur kami dikenalkan oleh dua remaja desa, namanya Nur dan Pamut. Keduanya kira-kira berusia 20-an tahun. Mereka menawarkan diri mengantar kami ke Curug Kyai Kate, sebab medan jalannya lumayan susah. Mereka sendiri nggak mempersoalkan tarif jasa mengantar ke curug.
"Gampanglah Mas, nanti ganti ongkos bensin saja"
Okelah bro kalau begitu.
Pakdhe Timin dan Pamut menjelajah hutan menuju Curug Kyai Kate.
Sepanjang perjalanan, Nur yang lebih banyak bercerita seputar Curug Kyai Kate. Katanya, curug ini sempat menarik perhatian banyak wisatawan. Sayang, sejak setahun yang lalu, selepas tragedi maut yang menimpa seorang siswa SMP Purworejo, kunjungan wisatawan ke Curug Kyai Kate jadi berkurang drastis.
Curug Kyai Kate ini pun belum dikelola sebagai objek wisata desa. Memang sih, ada papan petunjuk arah, namun sudah usang dimakan usia. Mahasiswa KKN pun tak ada yang datang kemari. Nah, bagi para mahasiswa yang hendak KKN, ini lho ada desa berpotensi wisata yang siap untuk diolah.
Kesan pertama menyaksikan curug Kyai Kate ini adalah ... BESAR!
Curug Kyai Kate dan Pohon Beringin.
Curug deras yang memakan korban jiwa.
Curug Kyai Kate yang dipotret tanpa slow-speed (buat pembaca yang ingin lihat foto curug yang "sesungguhnya" )
Suasana di sekitar Curug Kyai Kate.
Ya, mungkin karena sedang musim hujan jadi arus airnya deras. Saking derasnya hingga butiran airnya terbang dan membahasahi kamera. Padahal jarakku berdiri sekitar 10 meter dari pancuran air. Sayang airnya keruh. Yah mungkin karena efek hujan sehingga sungainya banjir dan membuat keruh air. Kata Nur, kalau banjirnya besar, airnya bisa meluap hampir 3 meter dari bibir air saat sedang tidak banjir. Dahsyat benar!
Tiap menit bersihin lensa dulu dari embun air.
Caption dan foto oleh Pakdhe Timin
Kami nggak berlama-lama di Curug Kyai Kate. Sebab, kami harus mengejar kereta Prameks untuk kembali ke Jogja. Apalagi hujan pegunungan sudah mulai turun. Jadi, kami harus bergegas.
Etape 5, Kabur dari Kutoarjo
Pada mulanya, kami hendak meminta bantuan Nur dan Pamut untuk mengantar kami hingga Kutoarjo. Namun sepertinya Nur agak keberatan. Iya sih, soalnya jarak Desa Gunungcondong ke Kutoarjo lumayan jauh.
Alhasil, saat tiba di kota kecamatan Bruno dan melihat ada angkot yang melaju arah ke Kutoarjo, Nur langsung mengejar angkot itu agar kami bisa menumpang hingga ke Kutoarjo. Untuk segala bantuan Nur dan Pamut, kami memberi balas jasa Rp50.000 pada mereka. Semoga suatu saat nanti kita bisa bertemu lagi ya!
Tukang Potret gak kebagian tempat di angkot dalam perjalanan pulang...
Kadang jadi kernet juga berdiri di luar..mukanya culun banget?
Caption dan foto oleh Pakdhe Timin
Perjalanan pulang lebih menyenangkan dibanding perjalanan pergi. Sebab, saking penuhnya angkot hingga aku duduk di pintu angkot, hehehe. Sempat berdiri juga. Merasakan semilir udara sore dan pemandangan sawah yang menghampar indah, benar-benar membuatku ingin ... tidur. Tapi ups, nanti aku terjungkal keluar angkot.
Ketinggalan kereta lagi?
Sesampainya di Stasiun Kutoarjo, jam menunjukkan pukul 15.40. Dalam bayangan kami, kereta Prameks berangkat dari Stasiun Kutoarjo pukul 16.30. Eh, ternyata keretanya berangkat pukul 15.10!
Yaaah! Masak ketinggalan kereta lagi sih!?
TIDAK!
Ternyata masih ada kereta Prameks terakhir menuju Jogja pukul 17.55. Kami pun setia menanti datangnya waktu keberangkatan kereta. Singkat cerita, kami pun tiba dengan selamat di Kota Jogja, memastikan bahwa tiket seharga Rp20.000 itu tidak sia-sia kami beli. Hahaha.
Sambil menunggu jadwal kereta Prameks berikutnya, bersantap es buah dulu ah.
Kesimpulan: Curug Seratus Ribu Rupiah
Berikut adalah rincian biaya perjalanan kami menggunakan angkutan umum ke Curug Kyai Kate dari Jogja.
Tiket Prameks Jogja-Kutoarjo yang hangus | Rp10.000 |
Tiket TransJogja jalur 3A | Rp3.000 |
Tarif Bus Jogja-Wates | Rp5.000 |
Tarif Bus Wates-Kutoarjo | Rp7.000 |
Sarapan Nasi Sayur di RM Rahayu | Rp7.500 |
Tarif Angkot Kutoarjo-Gunungcondong | Rp15.000 |
Tips buat Nur dan Pamut (Rp50.000 dibagi 2) | Rp25.000 |
Tarif Angkot Gunungcondong-Kutoarjo | Rp15.000 |
Es Buah dekat Stasiun Kutoarjo | Rp5.000 |
Tiket Kereta Prameks Kutoarjo-Jogja | Rp20.000 |
Total | Rp112.500 |
Mahal memang, tapi tak mengapa. Hitung-hitung membantu geliat warga perekonomian menengah ke bawah yang bergerak di bidang transportasi.
Nah, apakah Pembaca mau bertualang ke curug dengan naik angkot?
NIMBRUNG DI SINI
Bagus dan sangat bermanfaat.
Salam,
Syamsya Mansyur
Msih banyak kok tempat-tempat indah yang ada di Bruno. Desa saya aja deket sama Gunung Condong Mas..?
Gw anak Bruno asli lohh.
Oh ya aku sekolah di SMPN 10 Purworejo.
Artikel di atas keren binggo makin ngiler aja.
banget kethoke yo Mas, la sampai menelan korban jiwa begitu. Nek Sedudo kae kan mergo
longsoran.
berooowww... uut jogja
Nb: kalo yang berminat ke curug tersebut saya bisa bantu. gratis jasa antar.. he....
Contact : 087878464252
Kapan-kapan klo saya ke Bruno lagi saya kontak mas Anston deh ya. Oh ya, apa ada curug lain di Bruno ya?
Tapi, hanya sedikit aer terjun yg bisa dijangkau dengan angkot,
Kebanyakan harus ngojek lagi,
Di Malang ada satu aer terjun di pinggir jalan raya, jadi naek bus langsung ke aer terjunnya :)
mana semangatnyaa hihihi :p