Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Pada suatu malam di pertengahan September 2018, sang istri terlucyu mempertontonkan sebuah foto di Instagram. Foto itu menampilkan pemandangan suatu lembah berumput hijau yang di tengahnya mengalir deras sungai kecil.
Sang istri pun bertanya, apakah aku tahu tempat di mana foto itu dipotret. Aku jawab nggak tahu. Tapi, karena ada sabo dam yang bertingkat-tingkat, sepertinya foto itu dipotret di dekat sungai yang mengalirkan lahar dingin Gunung Merapi.
Sang istri bertanya lagi, apakah foto itu dipotret pada bulan September 2018. Aku jawab mana mungkin. September kan musim kemarau. Mustahil masih ada sungai yang airnya deras seperti pada foto. Apalagi rumput-rumputnya hijau. Paling foto itu dijepret pada musim penghujan.
Sayangnya, sang istri tetap percaya bahwa foto itu diabadikan pada musim kemarau. Sampai akhirnya, dirinya mengajak aku untuk menyambangi lembah sungai itu pada Minggu pagi (30/9/2018) bersama Mbak Mar dan Tirta.
SILAKAN DIBACA
Pukul 4 pagi petualangan menuju ke lembah sungai dimulai. Sang istri berjanji bertemu dengan Mbak Mar dan Tirta di Kota (Kecamatan) Muntilan. Jadilah dengan demikian sepeda motor dipacu melintasi Jl. Raya Yogyakarta – Magelang sejauh 30 km.
Kami tiba di Kota (Kecamatan) Muntilan pukul 5 pagi kurang sekian belas menit. Sang istri pun berkontak-kontak ria dengan Mbak Mar. Katanya, mereka masih dalam perjalanan. Weh! Terlalu ngebutkah aku tadi?
Oleh sebab itu, kami pun disarankan untuk terlebih dahulu menyambangi lokasi. Kata mereka, ikuti saja cabang jalan menuju Kecamatan Dukun yang berada tepat di samping klenteng Muntilan (Hok An Kiong).
Hooo, rupanya jalan menuju ke Kecamatan Dukun ini pernah aku lewati sewaktu menyambangi Candi Asu, Candi Pendem, dan Candi Lumbung di Dusun Sengi bersama Andreas, Agatha, dan Mbak Vinna. Tapi, itu sudah lama banget, tahun 2009 silam.
SILAKAN DIBACA
Sepeda motor pun melaju kencang menembus dinginnya hawa pagi Kabupaten Magelang. Langit pagi yang semula gelap perlahan memerah. Pemandangan pagi yang terselubung gulita mulai tersingkap.
Sang istri beberapa kali menyeru kagum menyaksikan siluet Gunung Merapi yang semakin jelas. Sementara itu, aku tetap melajukan sepeda motor secepat mungkin guna mencari tempat salat. Jam sudah menujukkan pukul 5 pagi lewat, tapi kami belum salat Subuh, hehehe.
Akhirnya, kami berhenti untuk salat Subuh di Musala Nurul Falah. Musala ini berada di seberang jalan raya yang separuh badannya sedang dibeton.
Selepas menunaikan salat Subuh, langit terlihat lebih terang. Maklum, pada akhir September ini azan Subuh dikumandangkan sekitar pukul 4 pagi lebih sedikit. Jadi, lewat pukul 5 pagi langit nggak lagi gelap.
Sayangnya, sosok Gunung Merapi malah menghilang di balik mega. Agak kecewa deh jadinya . Semula, kami berharap di lokasi tujuan nanti bakal ditemani gagahnya sosok Gunung Merapi.
Eh, sepertinya Gusti Allah SWT mendengar kegusaran kami. Mendekati Kantor Polsek Dukun, mega yang menutupi Gunung Merapi tiba-tiba menyingkir. Paras elok siluet Gunung Merapi pun kembali tampil memesona, berdampingan dengan merahnya langit pagi.
Subhanallah sekali pokoknya . Menyaksikan pemandangan ini dengan mata kepala sendiri jelas lebih indah daripada hanya melihat fotonya.
Perjalanan pun berlanjut di bawah naungan langit yang memerah. Sang istri bilang bahwa nanti bakal melewati pasar. Namanya Pasar Talun.
Sekitar setengah kilometer dari Kantor Polsek Dukun tibalah kami di Pasar Talun. Walau matahari belum sepenuhnya muncul, akan tetapi sudah banyak orang-orang yang beraktivitas di Pasar Talun. Mereka umumnya adalah pedagang yang sedang menata dagangan.
Mungkin kapan-kapan perlu diagendakan menyambangi Pasar Talun sewaktu hari pasaran. Sepertinya banyak yang menarik di pasar ini.
Setelah melewati Pasar Talun, sang istri meminta berhenti. Ia turun dari sepeda motor dan bertanya arah kepada seorang ibu pejalan kaki yang sepertinya baru pulang berbelanja di pasar.
Sang ibu bilang bahwa ada dua jembatan gantung di dekat sini. Kalau untuk jembatan gantung yang menjadi tujuan kami, katanya bisa dicapai dengan mengambil cabang jalan ke kanan, arah ke Babadan.
Sesuai petunjuk dari sang ibu, kami pun mengambil cabang jalan arah ke Babadan. Sama seperti jalan raya yang kami lalui tadi, rupanya separuh badan jalan juga sedang dibeton. Bedanya, kondisi badan jalan yang belum dibeton rusak parah! Hadeh… mana kami nggak bisa berpindah melintasi jalan mulus yang sudah dibeton pula.
Di tengah perjalanan melintasi jalan rusak, sang istri sempat bertanya lagi kepada bapak warga yang tinggal di dekat SD Negeri Mangunsuko. Kata beliau, jembatan gantung yang dimaksud sudah dekat. Nanti ada pertigaan kecil di kanan jalan, ya lewatnya di sana itu.
Rupanya, cabang jalan yang dimaksud sang bapak itu sempit. Hanya kendaraan beroda dua yang bisa lewat. Jikalau ke sini bermobil, mungkin lebih baik mobilnya diparkir di pinggir jalan yang sudah dibeton. Tapi ya... selama proyek betonisasi belum selesai, sepertinya lebih nyaman ke sini naik kendaraan beroda dua.
Kurang dari semenit menyusuri jalan yang sempit itu, tibalah kami di ujung jembatan. Dari kejauhan, sejumlah manusia berkamera terlihat memadati sisi timur jembatan. Hampir semua orang di sana membidikkan kameranya ke arah Gunung Merapi. Nggak terkecuali, Mbak Mar dan Tirta.
Heranlah kami. Kok bisa-bisanya mereka sampai lebih dulu? Kok bisa-bisanya mereka nggak berpapasan dengan kami? Di mana pula mereka memarkir sepeda motornya?
Oh, rupanya sewaktu di kawasan Pasar Talun, mereka mengambil cabang jalan yang berbeda. Mungkin karena hobi ngebut itulah mereka lebih dahulu sampai dibandingkan kami.
Mereka memarkirkan sepeda motornya di ujung selatan jembatan. Sedangkan sepeda motor kami diparkir di ujung utara jembatan.
Jembatan gantung besi ini bernama resmi Jembatan Mangunsuko. Kabarnya, jembatan ini diresmikan Presiden Jokowi pada 19 September 2017.
Panjang Jembatan Mangunsuko adalah 120 meter. Jembatan ini menghubungkan dua desa di Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Tepatnya, Dusun Grogol (di Desa Mangunsuko) dengan Dusun Tutup Ngisor (di Desa Sumber).
Dengan adanya Jembatan Mangunsuko, warga di kedua desa nggak perlu lagi memutar sejauh 8 km. Ini sangat meringankan anak-anak sekolah dan warga yang hendak ke kantor desa.
Eh, ternyata apa yang diyakini sang istri itu betul! Pemandangan lembah sungai dari atas Jembatan Mangunsuko sama persis seperti foto yang dirinya pertontonkan tempo hari! Waw!
Rumput-rumputnya berwarna hijau. Air sungai pun mengalir deras. Yang membuat pemandangan sedikit berbeda, paling ya adanya penampakan gagahnya Gunung Merapi dari sisi timur.
Eh iya! Selain Gunung Merapi, jangan lupakan juga saudaranya, yaitu Gunung Merbabu . Pagi itu Gunung Merbabu terlihat jelas di arah timur laut. Sayang, karena berbeda letak, Gunung Merbabu nggak terlihat dari atas jembatan.
Berbeda dengan penampakan Gunung Merapi, sapuan rona kemerahan terlihat menghiasi puncak Gunung Merbabu. Ditambah asrinya hamparan sawah yang menguning, pagi itu Gunung Merbabu tampil tak kalah memukau dari saudaranya.
Subhanallah!
Melihat adanya penampakan “curug-curug” di dasar lembah, aku mengajak sang istri untuk turun menyelidiki. Para mas fotografer yang tadi juga memotret dari atas jembatan sudah lebih dulu turun ke dasar lembah. Mbak Mar dan Tirta memilih untuk tetap memotret dari atas jembatan.
Dengan menyusuri jalan setapak, aku dan sang istri tiba dengan selamat di hamparan rerumputan. Rupanya, kondisi hamparan rerumputan (yang sepertinya asyik digunakan sebagai tempat berkemah) berbeda dengan yang terlihat dari atas jembatan.
Tanahnya berlumpur dan becek! Alas kaki kami pun kotor dibuatnya. Duh…
Karena kondisi yang demikian, sang istri memutuskan untuk naik ke jembatan, balik berkumpul dengan Mbak Mar dan Tirta. Alhasil, tinggallah aku di dasar lembah, guna memotret “curug-curug”.
Setelah aku dekati, ternyata “curug-curug”-nya nggak seeksotis bayanganku. Mungkin, kalau disertai keberadaan model, foto “curug-curug”-nya bakal terlihat lebih eksotis. Sayangnya, sang istri yang kerap didaulat sebagai model sudah balik ke atas jembatan.
Ya sudahlah. Yang penting sudah punya foto-foto “curug-curug” di bawah Jembatan Mangunsuko secara lebih close up.
Pas aku kembali ke atas jembatan, terlihat para manusia berkamera sedang membidik Gunung Merapi. Oh, rupanya puncak Gunung Merapi berwarna jingga. Dugaanku, sebentar lagi matahari bakal muncul dari puncak Gunung Merapi.
Betul saja, nggak sampai satu menit kemudian, matahari pun menyembul dari puncak Gunung Merapi. Pancaran sinarnya benar-benar menyilaukan. Meskipun demikian, para pemotret tetap berjuang mendapatkan foto “matahari bintang”, sebagaimana yang juga aku lakukan, hehehe.
Jam menunjukkan pukul 7 pagi kurang beberapa menit. Dikarenakan pancaran cahaya matahari semakin menyilaukan pemandangan lembah, jadi ya... berakhir sudah kegiatan hunting foto pada penghujung September 2018.
Berikut adalah beberapa catatan dari pemotretan di atas Jembatan Mangunsuko:
- Lokasi ini ideal untuk pemotretan matahari terbit atau suasana pagi.
- Usahakan datang sepagi mungkin. Kira-kira pukul 6 kurang sudah di lokasi. Jika mau menunaikan salat Subuh bisa di musala dekat jembatan yang masuk wilayah Dusun Tutup Ngisor.
- Jembatan hanya muat untuk papasan 2 kendaraan beroda dua. Ketika memotret usahakan agar nggak mengganggu kendaraan yang melintas.
- Tripod nggak terlalu dibutuhkan jika nggak berminat memotret “curug-curug” dengan teknik slow speed.
- Jagalah kebersihan jembatan dan bersikaplah ramah terhadap warga setempat.
Perjalanan pada pagi hari ini pun berlanjut ke Kota (Kecamatan) Muntilan. Katanya, di sana ada warung soto Pak Much yang lumayan enak. Cocoklah soto sebagai sarapan untuk menghalau dinginnya pagi di Kecamatan Dukun, Magelang.
NIMBRUNG DI SINI
Ini kayaknya lebih bagus panoramanya.. Jadi penasaran dah..
TFS..
Njenengan mawon ingkang posting Mas, kulo minder ~