Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Bukan perkara sulit mencari curug alias air terjun di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Tapi, mencari curug di Kabupaten Semarang yang nggak mainstream ternyata sulit. #duh
Dari sekian menit penelusuran via Google Maps, rata-rata curug yang ditawarkan sudah “sering” dikunjungi orang. Ingin rasanya pergi ke curug yang belum populer seperti Grojogan Kali Babon tempo hari. Sayangnya, informan curug yang bersangkutan sudah nggak lagi tinggal di wilayah plat H.
Eh, ndilalahnya, setelah sekian jam berkutat dengan Google Maps dan Wikimapia, kok ya tanpa sengaja malah ketemu lokasi curug yang menarik. Apalagi namanya cukup bikin penasaran, Curug Grenjeng.
Hal yang membuat menarik adalah Curug Grenjeng ini terletak di Desa Diwak, di Kecamatan Bergas. Desa ini terkenal dengan pemandian air panasnya. Seharusnya, dekat dengan lokasi wisata membuat curug terkenal toh?
Selain itu, letak Desa Diwak yang dekat dari Jl. Raya Semarang – Solo, harusnya mumpuni sebagai tempat promosi. Daripada repot-repot masuk hutan, lebih enak ke curug yang hanya di pinggir jalan raya toh?
Jadi ya mari diselidiki air terjun di Desa Diwak ini!
SILAKAN DIBACA
Rabu siang (6/3/2019), setelah menempuh perjalanan sekitar 100 km dari Kota Jogja plus mampir nyoto di Kota Salatiga , aku dan sang istri terlucyu akhirnya tiba juga di Desa Diwak. Pertigaan jalan ke Desa Diwak terletak di tepi Jl. Raya Semarang – Solo, tepat di seberang gerbang utama PT. Sinar Sosro Ungaran.
Masuklah kami menjamah jalanan Desa Diwak yang ternyata berada di belakang pabrik PT. Pupuk Sidomuncul. Pun aku baru tahu, ternyata Sidomuncul juga memproduksi pupuk toh?
Sepanjang menyusuri jalanan desa, di beberapa tempat berdiri papan putih bertanda panah bertuliskan “AIR TERJUN DESA DIWAK”. Tapi, lambat laun papan-papan itu nggak menunjukkan arah yang pasti. Bisa-bisa ini kalau diteruskan malah nyasar. #duh
Demi amannya, sepeda motorpun diparkir di depan rumah warga. Bertanyalah diriku perihal curug di Desa Diwak kepada seorang bapak yang hendak berangkat ngarit.
“Jalannya lunyu (licin) Mas!”
Kalimat itu diucapkan sang bapak lebih dari 5 kali. Sepertinya, beliau ingin agar kami mengurungkan niat pergi ke curug.
Omong-omong, jalan ke curug licin ya lumrah toh? Kan Maret masih masuk musim penghujan.
Lama-lama, akhirnya sang bapak (dengan berat hati ) mengikhlaskan kepergian kami ke curug #yes. Sang bapak memberitahu, di jalan aspal desa yang ada bak penampungan airnya nanti belok masuk pertigaan menuju jalan semen mengikuti petunjuk papan putih bertanda panah.
Nggak sampai 2 menit menyusuri jalan semen yang dimaksud, ada rumah warga yang atapnya berparabola. Kendaraan dititipkan parkir di sana kemudian dilanjut dengan berjalan kaki menuruni tebing di seberang rumah untuk menuju ke curug.
Seperti yang dibilang oleh sang bapak, jalan setapak menuruni tebing ini memang lunyu alias licin. Tapi ya, Alhamdulillah ke-lunyu-annya masih manusiawi sehingga sang bapak sebetulnya nggak perlu sekhawatir itu.
Alhamdulillah-nya lagi, perjuangan menuruni jalan setapak yang licin ini hanya memakan waktu segelintir menit. Soalnya, gemuruh dan wujud curug sudah terdeteksi dengan jelas dari rumah tempat sepeda motor diparkir.
Jadi, inilah air terjun di Desa Diwak yang kurang populer itu. Subhanallah! Dilihat dari bentuknya, curug ini sangat fotogenik. Apalagi jika dipakai untuk latar pemotretan model seperti pada foto di bawah ini.
Tapi, sebetulnya....
Hijaunya air sungai pada foto di atas itu cuma editan! Hahaha!
Warna air sungai yang sesungguhnya itu cokelat seperti pada foto di bawah ini.
Penyebab keruhnya air sungai aku duga akibat perilaku manusia. Curug ini kan berada sangat dekat dengan pemukiman dan pabrik. Mungkin saja ada limbah yang mencemari sungai.
Oleh sebab itu, lebih baik jangan mencoba berinteraksi terlalu intens dengan air sungai ini. Membasuh wajah saja aku nggak berani.
Tapi, ya tetap jangan berkecil hati dengan curug ini. Karena sesungguhnya, curug ini kembar!
Sebagai tambahan, di pinggir sungai dekat curug ada mata air yang diperkokoh dengan bis semen. Katanya sang bapak, pada masa di mana hanya segelintir rumah yang punya kamar mandi, mata air tersebut menjadi tempat mandinya warga.
Berhubung sepertinya sebentar lagi bakal turun hujan, jadi lebih baik kunjungan ke Curug Grenjeng disudahi. Semoga bisa tiba di Kota Semarang sebelum tengah hari.
NIMBRUNG DI SINI
dan motor, view jalanya juga bagus lewat
persawahan yg hijau dan teduh.