Aku turun dari bus. Berlari-lari kecil dan berhenti di emperan toko. Dalam hati aku mengumpat. Setelah seminggu lebih tidak disapa hujan, mendadak kota Yogyakarta diguyur hujan lebat. Imbasnya, seluruh kain yang melekat di tubuhku basah terkena guyuran air.
Hujan adalah petaka bagiku. Langit mendung sebelum hujan jelas menganggu kegiatan memotretku. Kenapa di atas sana hujan turun tanpa pernah mempedulikan mereka yang ada di bawah. Ya, seperti aku ini misalnya.
Rejeki di Bawah Hujan
Sambil menunggu hujan mereda, di pinggir Jalan Malioboro itu aku memandang suasana sekitar. Ada tiga anak kecil yang sepertinya masih SD. Di bawah guyuran hujan mereka bersuka-cita. Seorang mencipratkan genangan air hujan ke arah teman-temannya. Mereka tertawa riang gembira.
Anak-anak itu adalah ojek hujan. Tukang sewa payung. Pekerjaan yang lazim ditemui kala hujan. Sekilas, mereka mengingatkanku sewaktu aku singgah di Tirta Empul, Bali.
Rezeki turun dari langit. Mereka bersuka-cita. Puaskah mereka dengan lima ribu rupiah dan bisa ditawar? Apakah yang mereka lakukan merenggut masa kecil mereka?
”Kamu ikut sini, mobilnya diparkir nggak jauh”
Seorang pria muda menarik lengan anak kecil itu untuk ikut bernaung di bawah payung bercorak pelangi yang ia sewa. Berdua, di bawah payung yang sama, mereka berdua berjalan berdampingan. Di bawah guyuran hujan, mereka menghilang dari pandanganku.
Janji di Bawah Hujan
Aku dikagetkan oleh lengkingan, tidak jauh dari tempatku berdiri. Seorang wanita memekik. Pandangannya tertuju kepada pria yang berdiri di hadapannya. Kondisi sang pria basah kuyup karena hujan.
”Kenapa kamu ke sini? Bukannya hujan? Aku udah sms kamu kalau aku mau pergi”
”Tadi lagi di jalan. Bukannya aku sudah janji sama kamu kalau aku bakal ketemu kamu di sini jam segini?”
Entah apa hubungan mereka. Entah apa pria itu menggombal. Tapi yang jelas ia berdiri di depan wanita itu basah kuyup. Pria itu berjanji, ia tepati janjinya, walau dengan itu ia harus berkorban.
Wanita itu memandang pria itu dengan tatapan khawatir. Namun kemudian ia tersenyum. Ia menarik lengan pria itu dan mengajaknya masuk ke dalam toko. Di bawah guyuran hujan, aku menyaksikan mereka pergi.
Aku menatap sekitarku. Ada banyak orang yang berteduh. Menunggu. Memandang. Hujan yang tidak kunjung berhenti. Mengumpat juga mungkin? Dan aku?
Ada Sesuatu di Bawah Hujan
Apa hujan itu petaka? Karena hujan membuatku tidak bisa memotret?
Untuk sebagian orang, hujan dibenci karena menghalangi aktivitas mereka. Karena umumnya orang-orang takut pakaiannya basah? Takut sakit?
Bagi anak-anak kecil itu hujan adalah rejeki dari langit.
Bagi pria itu hujan adalah bukti bahwa ia teguh pada janjinya.
Sedangkan aku?
Nggak seharusnya aku mengumpat.
Aku melenggang pergi, meninggalkan kerumunan orang-orang di sekitarku.
Kenapa kamu nggak bersabar?
Aku bersabar menerima tetes air hujan yang penuh dengan rintangan.
Kenapa kamu nggak takut untuk jatuh sakit?
Bahkan aku pun nggak merasakan apa pun, sakit sekalipun.
Di bawah guyuran hujan, aku berjalan, merasakan rambut dan wajahku basah diterpa air hujan. Hujan tidak menghalangiku. Walau semua orang diam-termangu-menunggu.
Aku harus tetap tegar menjalani hidup ini.
Sampai aku bisa merasakan apa yang seharusnya aku rasakan.
Sampai aku bisa menemukan apa yang sebenarnya aku cari.
Di mata mereka sepertinya aku tampak seperti orang-bodoh. Untuk hidup normal di dunia ini. Tanpa guyuran air hujan.
NIMBRUNG DI SINI
Kost, jam 8.30
Pacarnya telat jemput 1 jam karena hujan deras, eh si cew marah2, bilangnya, \"aku kan UAS, udah gedhe kok ga dewasa!\" hmm....