Dalam rangka mengenang 50 tahun terjadinya peristiwa 30 September (kalau nggak tahu, tolong baca buku sejarah dulu ya! ), di tahun 2015 silam aku mencetuskan agenda yang agak PEKOK, yaitu menapak tilas lokasi yang berhubungan dengan tragedi PKI.
Kalau di Jakarta, contohnya ya mengunjungi Lubang Buaya gitu lah. Tapi, karena aku domisilinya di Jogja, sepertinya nggak ada tempat yang kayak gitu. Paling-paling yang agak mirip ya... Jembatan Bacem yang ada di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah sana.
Jembatan Bacem (dilafalkan mbacem sesuai lidahnya orang Jawa ) merupakan satu dari sekian banyak jembatan yang membentang di atas Sungai Bengawan Solo. Sejarah mencatat, Jembatan Bacem pernah menjadi tempat eksekusi orang-orang yang diduga terlibat PKI yang berlangsung dari Oktober 1965 hingga pertengahan 1966.
Kalau Pembaca sering baca-baca blog-ku ini, kisah Jembatan Bacem sudah pernah aku ulas di salah satu artikelku. Silakan Pembaca baca-baca lagi kalau penasaran.
SILAKAN DIBACA
Ragu-Ragu ke Jembatan Bacem dengan Bersepeda
Jadi, di hari Rabu (30/9/2015) itu aku berencana buat bersepeda ke Jembatan Bacem. Tapi, yang bikin aku ragu-ragu adalah lokasinya yang JAUH BANGET dari Jogja. Jembatan Bacem itu terletak sekitar 5 kilometer dari Kota Solo. Sedangkan Kota Solo sendiri jaraknya ya... 60-an kilometer dari Kota Jogja. Kalau jaraknya ditotal semua, mungkin ya... sekitar 65-an kilometer.
Jauh kan? Bersepeda sejauh itu apa ya aku kuat?
Kalau dibilang kuat sih ya kuat #sok.kuat. Tapi begitu ingat jarak 65-an kilometer itu baru jarak pergi dan belum ditambah jarak pulangnya (berarti pergi-pulang sekitar 130-an kilometer), alhasil aku jadi lama mikir sambil ngendog deh, hahaha.
Aku sih sadar. Kondisi fisikku sekarang sudah nggak sekuat di awal umur 20-an dulu. Lha wong sekarang kalau aku minum segelas es teh saja sudah bisa bikin ingus meler kok! Lha gimana ceritanya kalau nanti aku mesti bersepeda menempuh jarak 130-an kilometer? Bisa-bisa aku bakal terkapar seminggu lebih di kasur. Nyari penyakit banget toh?
Nah, maka dari itu! Oleh sebab,
hidup bahagia adalah hidup yang mengkompromikan antara keinginan dengan kenyataan,
aku putuskan keluyuran dari Jogja menuju Solo dengan naik Kereta Prameks saja.
Lumayan kan? Dengan hanya mengeluarkan ongkos Rp8.000, aku bisa memangkas tenaga dan waktu untuk menempuh jarak 60-an kilometer dari Jogja menuju Solo? Hehehe.
Lha terus kan katanya mau bersepeda? Kok malah jadinya naik Prameks?
Ya iya. Sepedanya dinaikin ke Prameks dong! Kan ada si Selita. Masak Trek-Lala terus yang diajak jalan-jalan?
Tips Membawa Sepeda Lipat Naik Kereta Lokal
Dari Jogja, aku berencana naik Prameks yang berangkat dari Stasiun Tugu pukul 07.35 WIB. Alhamdulillah, di tahun 2015 ini adalah hal yang lumrah bagi para komuter untuk ngusung sepeda naik kereta lokal. Jadinya, Selita bisa melenggang bebas masuk peron tanpa dicegat sama petugas stasiun. Hidup sepeda masuk stasiun!
Di bawah ini sekadar tips dariku kalau mau membawa sepeda lipat naik kereta lokal, dalam hal ini Prameks.
- Pilih jam keberangkatan yang tidak padat penumpang, alias jangan jam-jam sibuk.
- Kalau bisa, pilih juga stasiun yang penumpangnya relatif sedikit. Biasanya sih stasiun ujung seperti Stasiun Tugu dan Stasiun Solo Balapan.
- Naik dari Stasiun Maguwoharjo atau Stasiun Klaten nggak terlalu disarankan karena biasanya penumpangnya sudah banyak.
- Hot seat untuk penumpang yang membawa sepeda lipat adalah dekat pintu gerbong karena area kosongnya relatif lebih luas dibandingkan ruang kaki bangku penumpang yang berhadap-hadapan.
- Kalaupun nggak dapat hot seat, sepeda lipat dengan ban 20” tetap bisa ditempatkan di ruang kaki bangku penumpang yang berhadap-hadapan seperti yang aku praktekkan ini. Eh, jadi sempit sedikit nggak apa-apa ya.
- Usahakan jangan menempatkan sepeda lipat di atas tempat bagasi atas karena dikhawatirnya rawan jatuh.
- Jangan menempatkan sepeda lipat di gang yang menjadi area hilir-mudik penumpang dan petugas kereta.
- Lebih nyaman pakai sepeda lipat dengan ban 16” karena ukurannya sepedanya biasanya lebih kecil. Tapi kalau buat bersepeda jarak jauh ya lumayan menyiksa dengkul sih.
Kulineran di Solo Sebelum ke Jembatan Bacem
Sekitar pukul 9 pagi sampai deh di Stasiun Purwosari, Kota Solo. Senang banget rasanya bisa menggiring sepeda keluar peron stasiun, hahaha . Ah, jadi inget bikepacking ke Semarang beberapa tahun silam.
SILAKAN DIBACA
Misi yang harus dituntaskan sebelum tiba di Jembatan Bacem adalah nyari sarapan! Namanya juga mau bersepeda jarak jauh. Kan ya mesti ngisi full bensin perut dulu toh? Bersepeda jarak jauh dengan perut kosong kan sama saja dengan nyari perkara.
Tapi... sarapan di mana ya enaknya?
Kemudian, berkorespondensilah aku dengan saudara Halim. Sebagai warga Solo yang hobi blusukan ke sana-sini, dirinya mesti paham di mana enaknya aku nyetok bensin perut. Nasi liwet di Pasar Gede dan Soto Triwindu pun mencuat sebagai saran. Akan tetapi, berhubung kedua tempat kuliner itu posisinya agak menyimpang dari obyek tujuanku ke Jembatan Bacem, jadinya ya mohon maaf nggak sempat mampir ke sana buat sarapan. Semoga kalau besok-besok main ke Solo lagi bisa mampir sarapan di sana deh.
Walaupun demikian, aku masih sempat mengicip kuliner Solo yang aku temukan secara nggak sengaja pas lewat di sekitar Taman Sriwedari, yaitu Es Kapal! Aku tahu kuliner ini dari saudara Andika dan Alan lewat blog-blog mereka.
Singkat dan padatnya, Es Kapal ini semacam es serut, diguyur kuah santan, disiram sirup atau susu kemudian diberi sepotong roti yang dibentuk menyerupai layar kapal. Sederhana banget kan? Hanya saja di Jogja nggak ada. Ah, barangkali karena warga Jogja kurang hobi minum es ya?
Kalau Andika menebus segelas Es Kapal dengan uang Rp2.500 dan Alan menebusnya dengan uang Rp3.000, maka di bulan September 2015 ini aku agak kurang beruntung karena harus menebus dengan uang Rp3.500. Kesimpulannya, bisa jadi selepas tahun baru 2016 harganya naik jadi Rp4.000!
Haduh! Pagi-pagi belum makan nasi sudah minum es!
Berdoa semoga nggak pilek saja ini! >.<
Bersepeda menyusuri trotoar yang lebar, rindang, dan bersih di sepanjang Jl. Slamet Riyadi adalah kebahagiaan tertinggi bagi para pesepeda dalam kota. Ah, andaikan semua kota di Indonesia punya trotoar yang seperti di Jl. Slamet Riyadi ini, tentu bakal sangat memanjakan para pejalan kaki dan juga para pesepeda.
Ah iya, dulu di tahun 2010 aku dan kawan-kawan pernah bersepeda di trotoar ini juga. Pergi-pulang Jogja – Solo bersepeda lho! Waktu itu aku ya menunggang Selita. Pas itu semua masih pada semangat, senggang, dan kuat. Kalau sekarang sih sudah bubar jalan, hahaha.
Dari Solo menuju ke Jembatan Bacem itu panduan arahnya gampang banget. Pokoknya, dari Keraton lurus saja ke selatan nanti ya bakal ketemu Jembatan Bacem kok. Jadinya di hari Rabu itu aku dari Stasiun Purwosari ya city tour sedikit lah.
Pas di dalam area Keraton Solo ini aku membuang-buang waktu lumayan lama karena terlalu menuruti insting “ini lewat sini kayaknya bisa tembus ke alun-alun selatan deh” dan rasa penasaran “kalau lewat sini kayaknya menarik, tembusnya mana ya?”
Ini niat mau ke Jembatan Bacem malah jadi teralihkan sama agenda blusukan nggak jelas, hahaha . Sepertinya aku perlu balik ke Solo lagi dan ngusung sepeda lipat supaya puas blusukannya.
Keluar dari alun-alun selatan, selanjutnya adalah menyusuri Jl. Brigjen Sudiarto ke selatan sampai ketemu Jembatan Bacem. Eh, kok ternyata lewat di depannya rumah makan Soto Gading. Ya sudah, mampir nyoto dulu deh mumpung ada kesempatan.
Dulu di tahun 2009, aku pernah bersantap di sini berdua bareng Ibu. Sudah pernah aku ceritakan juga di blog. Yang beda sekarang ini harganya sudah naik, hahaha . Seporsi Soto Gading dengan nasi dipisah harganya Rp12.000. Sedangkan kalau soto nasinya dicampur harganya Rp8.000.
Dari Kota Solo Pindah ke Kota Sukoharjo
Lanjut bersepeda menyusuri jalan raya. Eh, tahu-tahu kok sudah masuk wilayah Kabupaten Sukoharjo ya? Lebih tepatnya di Kecamatan Grogol sih. Buat kenang-kenangan, berhenti dulu buat foto.
Jam menunjukkan pukul setengah 11 siang. Cuaca mulai terasa panas. Rencananya, bersepeda kali ini aku sih nggak mau terlampau ngoyo (maklum sudah tua ). Alhasil bisa jadi aku harus sering banyak berhenti buat istirahat, makan, minum, dan foto-foto .
Apalagi di bulan September ini rasa-rasanya siang hari terasa lebih panas dibanding bulan Agustus dan Juli kemarin. Dengar-dengar sih, karena posisi matahari persis di atas pulau Jawa. Tapi ya aku kurang paham juga dink.
Anyway, nggak ada sepuluh menit aku bersepeda ke arah selatan, sampailah sudah di lokasi Jembatan Bacem. Ada sekitar setengah jam lebih aku muter-muter di lokasi. Untuk cerita lebih lengkap tentang Jembatan Bacem ini, Pembaca bisa klik tautan di bawah.
SILAKAN DIBACA
Setelah nyebrang Jembatan Bacem, petualangan PEKOK yang sebenarnya baru dimulai...
Dari Jembatan Bacem, titik tujuan berikutnya adalah Kota Sukoharjo yang tentu saja terletak di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Kalau dari Jembatan Bacem kira-kira jaraknya sekitar 6 kilometer. Lewatnya jalan raya aspal yang jadi jalur operasinya truk-truk besar. Wew, ini yang aku nggak suka. Sudah panas, debu, musuhnya truk pula. Doh!
Nyaris pukul setengah 12 siang, Alhamdulillah, sampai juga di gapura selamat datang Kota Sukoharjo! Horeee! Akhirnya, setelah bertahun-tahun cuma numpang lewat Kabupaten Sukoharjo, akhirnya bisa juga singgah di Kota Sukoharjo.
Penasaran. Kayak apa sih bentuknya Kota Sukoharjo ini? Kok ya kawan-kawan yang di KTP-nya tertulis berdomisili di Kabupaten Sukoharjo lebih condong mengaku sebagai warga Solo ya? Hahaha . Apa ada yang salah di Kota Sukoharjo? Mari kita cari tahu! Eh, katanya Sukoharjo sendiri berasal dari padanan kata suko (suka) dan harjo (makmur).
Hmmm, kalau dibandingkan sama Kota Klaten, Kota Sukoharjo menurutku sih lebih wah alias lebih maju dan ramai gitu. Kota Sukoharjo bahkan punya universitas lho! Mungkin karena letaknya berdekatan dengan Solo ya, jadinya ikut tertular geliat perekonomian Solo. Aktivitas perekonomian di kota Sukoharjo sepertinya terpusat di sepanjang Jl. Slamet Riyadi yang mana namanya sama persis dengan jalan ikonik di Solo.
Aku menyempatkan diri buat istirahat di Indomaret yang ada di Jl. Slamet Riyadi ini, sekalian beli minum. Sebenernya sih, kalau bisa aku nggak mau sering-sering mampir di minimarket waralaba macamnya Indomaret gini. Inginnya kalau beli minum ya di warung kelontong gitu buat berpartisipasi mengangkat kesejahteraan pedagang kecil. Tapi ya, khusus kali ini minimarket waralaba punya kelebihan yang nggak dimiliki warung kelontong dan sangat membantu agenda bersepeda PEKOK-ku ini, yaitu AC-NYA DINGIN!
Numpang Lewat di Kawasan Sritex Sukoharjo
Mendekati pukul 12 siang, cuacanya jelas sudah panas...
Nggoreng telur di atas aspal kayaknya bakal mateng deh...
Dari Kota Sukoharjo, titik tujuan berikutnya adalah menuju kota yang namanya sudah aku sebut di atas. Yups! Kota Klaten!
Jarak Kota Sukoharjo ke Kota Klaten ada sekitar 30-an kilometer. Biasanya, jarak segitu itu kalau aku tempuh pakai Trek-Lala cuma bikin geli-geli dengkul #sombong . Tapi gimana ya ceritanya kalau aku tempuh pakai Selita di bawah terik matahari siang bolong yang cepet bikin kulit mulusku jadi gosong?
Sekadar info, bersepeda dengan sepeda lipat dengan ban ukuran 20” itu jauh lebih menguras tenaga dibanding bersepeda dengan MTB pakai ban 26”. Terutama sih karena ukuran bannya. Karena dengan tenaga yang sama, jarak yang ditempuh ban ukuran 20” bakal lebih pendek dari jarak yang ditempuh ban 26”. Ini ada hubungannya sama keliling ban (lingkaran). #matematika
Dari Kota Sukoharjo ke Kota Klaten aku rencananya mau blusukan saja, hahaha . Suatu cara berpergian yang menawarkan kejutan-kejutan di sepanjang perjalanan (terutama kalau nyasar ). Patokanku, dari Kota Sukoharjo itu ke barat kemudian ke selatan. Dari Solo tadi kan aku sudah lurus terus bersepeda arah ke selatan. Sekarang gantian lah bersepeda ke arah barat. Supaya nggak bosen gitu.
Eh, tahu-tahu nyasarlah aku ke kawasan PT Sritex! Buat Pembaca yang belum tahu, PT Sritex itu adalah perusahaan garmen besar di Indonesia. Produk-produknya yang umum dijumpai adalah seragam Pegawai Negeri Sipil dan juga seragam tentara. Bahkan seragam tentara NATO juga diproduksi oleh PT Sritex lho! Hebat kan?
Memasuki kawasan PT Sritex yang terletak di Desa Jetis ini seakan masuk ke sebuah pemukiman di mana mayoritas warganya menggantungkan hidup pada PT Sritex. Ada banyak tempat penitipan sepeda motor. Ada banyak kedai buat sekadar nongkrong. Pokoknya geliat ekonomi di Desa Jetis ini seakan ditopang oleh PT Sritex.
Aku perhatikan pabrik PT Sritex ini besar dan luas banget! Ironisnya, di sekitarnya dikelilingi oleh persawahan. Agaknya, generasi muda sekarang ini lebih memilih untuk bekerja di pabrik ya daripada mengolah sawah? Padahal orang pabrik juga makannya masih nasi kan?
Memang sepintas terkesan membanggakan dan mensejahterakan gitu. Keberadaan pabrik di tengah desa pasti turut mendongkrak geliat perekonomian desa. Tapi ya, keberadaan pabrik dan sawah kok menurutku kurang matching ya? Apa mungkin karena aku yang terlalu khawatir bila kelak sawah-sawah bakal tergusur oleh pabrik karena dinilai kurang memberikan timbal-balik yang menguntungkan?
Bagaimana kalau menurut Pembaca?
Tapi ada yang patut diacungi jempol. Jalan selepas kawasan PT Sritex ini jalannya cor-coran beton! Bukan aspal! Ini ya sisi positifnya keberadaan PT Sritex. Bisa jadi keberadaan jalan beton ini untuk memfasilitasi truk-truk berat yang hobinya bikin aspal rusak bolong-bolong.
Kisah Jembatan Banmati dan Relasinya dengan Jembatan Bacem
Menjelang pukul setengah 1 siang, sampailah aku di Jembatan Banmati yang melintasi anak Sungai Bengawan Solo. Eh, iya Jembatan Banmati ini masih ada hubungannya dengan Jembatan Bacem yang barusan aku hampiri itu lho. Hmmm, apa karena ada kata “mati”-nya?
Bukan. Bukan. Kalau menurut informasi yang tertulis di prasasti Jembatan Banmati, Jembatan Banmati ini dahulu kalanya adalah pindahan dari Jembatan Bacem. Jadi, Jembatan Bacem yang lama itu (yang saat ini cuma tersisa pondasinya saja) dipindah ke lokasi ini dan jadilah Jembatan Banmati.
Kalau dari informasinya, pemindahan jembatan itu terjadi sekitar tahun 1986 (tahun kelahiranku!). Konstruksinya masih jembatan rangka besi dengan lantai kayu. Barulah sekitar tahun 1998, jembatan tua tersebut diperbarui menjadi jembatan gelagar komposit seperti yang bisa kita saksikan saat ini.
Sekadar info, Banmati itu adalah nama desa di Kecamatan Sukoharjo. Nama Banmati itu berasal dari dua suku kata, biyung mban dan mati. Biyung mban itu sebutan lain untuk abdi dalem keraton. Jadi ceritanya, dahulu kala di tempat ini salah seorang abdi dalem Pakubuwana IX meninggal dunia dan untuk mengenangnya desa ini diberi nama Banmati.
Informasinya aku dapat dari blog ini:
http://nandayunita26.blogspot.co.id/2014/06/asal-muasal-desa-banmati-sukoharjo-jawa.html
Siang yang Panas di Seputar Kecamatan Tawangsari
Aku lanjut nyeberang Sungai Bengawan Solo dan pindah wilayah ke Kecamatan Tawangsari yang masih masuk wilayah Kabupaten Sukoharjo.
Waktu menunjukkan pukul setengah 1 siang dengan kondisi cuaca yang TERIK PANAS BUKAN MAIN. Doooh!
Sebetulnya, hawa yang panas (BANGET) ini bisa disiasati dengan berhenti sejenak di pinggir jalan raya yang teduh oleh pepohonan rindang. Lebih-lebih karena di pinggir jalan raya ini juga BANYAK BANGET godaannya yang berjejer-jejer menggoda iman. Apalagi kalau bukan es campur, es cendol, dan es degan yang sangat cocok diteguk sebagai penghalau panas.
Tapi sayangnya, buatku yang dingin-dingin itu lebih rawan bikin aku mati daripada yang panas-panas. Sebab, kalau aku kebanyakan minum dingin, nanti kondisiku drop, ingus meler, cegukan, sesak napas, dan ujung-ujungnya dilarikan ke RS JIH untuk cuci mata mendapatkan perawatan nebulizer yang tentu saja menguras dompet. #kisahnyata
Waktu itu, aku sempat merasa kalau hidupku bakal berakhir di usia 28 tahun...
Haisy! Ya sudah lah. Mengingat Gusti Allah SWT masih memberikan kesehatan dan kemampuan bersepeda dari Solo sampai Tawangsari (bukan Tawangmangu lho ) maka dari itu aku mampir salat Zuhur di masjid pinggir jalan. Tidak lupa, berdoa semoga seenggaknya... ya... langitnya mendung sedikit lah, supaya nggak panas menyengat.
Usai 15 menit merebahkan badan di selasar masjid aku lanjut bersepeda lagi. Pinginku sih istirahat lebih lama lagi. Tapi, berhubung Jogja masih jauh jadi ya… LANJUT!
Sekitar pukul 1 siang aku masuk Kota Kecamatan Tawangsari. Kotanya kecil tapi pasarnya lumayan besar. Aku sempat berhenti di minimarket buat beli minum lagi. Cuaca panas kayak begini memang mesti disiasati dengan banyak minum dan numpang ngadem AC minimarket. #ups
Oh iya, di sepanjang jalan aku beberapa kali ketemu warung sederhana yang memajang informasi unik.
Soto 3.000. Mie Ayam 4.000.
Sayang banget aku nggak sempat mampir karena rencanaku pas itu makan siangnya nanti kalau sudah masuk wilayah Klaten saja. Tapi, ini jadi suatu pertanda kalau santapan soto dan mie ayam yang murah meriah itu masih eksis! Jadi, kalau mau biaya hidup rendah, silakan pindah ke pedesaan di Sukoharjo saja, hahaha.
Dari tadi aku bersepeda lewat jalan raya yang panas, panjang, dan membosankan. Kanan kirinya sawah, sawah, sawah, dan sawah. Kalau nggak sawah ya rumah. Itu terus dari tadi diulang-ulang.
Musibah di Dekat Sendang Pinggir Jalan
Masuk wilayah Desa Grejegan (masih di Kecamatan Tawangsari) pemandangannya jadi lebih segar karena di sepanjang jalan ada selokan irigasi yang lumayan besar. Meskipun di musim kemarau yang tanpa hujan, produksi padi bisa berjalan terus karena sawah-sawah mendapat air dari saluran irigasi ini.
Pas lagi asyik-asyiknya bersepeda menyusuri selokan irigasi, tiba-tiba terjadi peristiwa yang nggak diharapkan.
KREEEK!
Hah? Suara apaan itu?
KYAAA! CELANAKU ROBEEEK!
Waduh! Konyol banget ini! Kok bisa-bisanya celana robek!? Mana nggak bawa celana ganti lagi! Eh, sebenernya sih aku bawa sarung. Tapi masak ya bersepeda sambil sarungan? Hadeh... ribet pasti. >.<
Aku penasaran, ini celanaku robeknya seberapa parah sih? Kalau terpaksa banget, sepertinya harus beli celana ganti di tengah jalan. Tapi, mending sekarang nyari tempat berhenti dulu yang sekiranya aman untuk buka celana (jelas bukan di pinggir jalan raya dong ya!).
Ndilalah Gusti Allah SWT lagi-lagi berbaik hati memberi bantuan atas musibah tak terduga ini. Di pinggir jalan raya aku lihat ada masjid. Di dekat masjidnya itu ada pohon besar. Lha, hubungannya apa coba antara masjid dan pohon besar?
Jadi, pohon besarnya itu aku duga adalah indikator keberadaan sendang alias mata air gitu. Soalnya ada banyak bilik-bilik WC dan kamar mandi di sekitar pohon tersebut yang mana adalah lokasi ideal untuk memeriksa celanaku yang robek.
Memang betul kalau di dekat pohon besar ini ada sendang. Tapi sendangnya sudah dibuat jadi sumur dan dipasang pompa air untuk memudahkan mengambil airnya. Walaupun begitu tetap tersedia ember bagi yang senang menimba dari sumur (seperti aku ).
Ah, yang jelas sendang adalah tempat peristirahatan favoritnya para pengelana... selain masjid dan minimarket ber-AC .
Dengan celana yang robeknya parah banget (persis di bagian pantat pula) aku pede saja lah melanjutkan perjalanan menuju Klaten. Rencananya sih, di Klaten nanti aku bakal beli celana ganti. Sempat juga terbesit rencana balik ke Jogja dari Klaten naik Prameks karena situasinya jadi nggak nyaman seperti ini.
Eh, naik kereta pakai celana robek di bagian pantat?
Hmmm... lihat-lihat nanti saja lah...
Dari Sukoharjo Akhirnya Pindah ke Klaten
Setelah nyeberang Sungai Dengkeng alias Kreteg Jarum akhirnya sampai juga di Bogor! Yes! Bogooor! Jauh-jauh dari Solo ke Sukoharjo dan akhirnya sampai di ... Bogor!!
Bogor? Jawa Barat? Dari Jawa Tengah ke Jawa Barat?
Bogor itu nama desa yang ada di Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten. Jadi Desa Bogor ini adalah perbatasan wilayah Sukoharjo – Klaten gitu. Diberi nama Desa Bogor apa mungkin karena penduduknya mayoritas asalnya dari Bogor ya? Nggak tahu deh.
Yang jelas, karena sudah masuk wilayah Klaten, mari mencari makan siang! Apalagi waktu sudah hampir merapat ke pukul 2 siang. Panasnya sudah mulai berkurang. Tapi sebaliknya, gantian perut yang meronta kelaparan, hahaha.
Pilihanku mengisi bensin perut adalah di suatu warung sederhana di pinggir jalan raya yang menyajikan menu gado-gado. Sejak beberapa hari yang lalu, kayaknya aku setiap hari makan daging sapi terus deh. Maklum, dapat masakan daging kurban yang porsinya melimpah-ruah. Jadinya, sekali-kali pingin banget makan non-daging.
Yang namanya makanan di pelosok Klaten seperti ini sudah pasti murah-meriah banget. Seporsi gado-gado ditambah dua gelas teh panas harganya hanya Rp11.000! Eh penasaran, ada nggak ya gado-gado yang harganya Rp5.000 per porsi? Hahaha.
Setelah pamit sama Ibu pemilik warung (dan membayar gado-gado tentunya ) bersepeda berlanjut menuju Kota Kecamatan Pedan. Perasaan ini bukan pertama kalinya aku sampai Pedan. Kayaknya pernah mampir ke sini deh. Apa pas dari Gunungkidul lewat Cawas itu ya? Entahlah. Berhubung waktu semakin merapat ke pukul 3 sore, jadinya aku nggak banyak berhenti-berhenti. Toh, bensin perut sudah full ini.
Dari Kecamatan Pedan pindah ke Kecamatan Ceper. Di Ceper ini aku lihat ada pabrik gula dari pinggir jalan. Sepertinya sih sudah nggak difungsikan sebagaimana mestinya karena kondisi bangunannya mengenaskan. Kalau nggak salah, di zaman penjajahan Belanda dulu, gula adalah salah satu komoditi yang laris dipergadangkan. Tapi toh kenyatannya, hidup tidak selalu semanis gula. #curhat
Dari Ceper ini bersepeda terus mengikuti jalan raya dan tahu-tahu njedul di Jalan Raya Solo, sekitar 7 km dari Kota Klaten. Kecewa saudara-saudara! Niatnya bersepeda blusukan kok malah nyasarnya ke Jalan Raya Solo yang jadi arena balapannya bus Eka dan Sumber Selamat.
Tapi ya nggak apa-apa deh. Mengingat jam sudah bertengger di pukul 3 sore lewat 15 menit ya bolehlah mengikuti Jalan Raya Solo buat sampai ke Kota Klaten. Oh iya, karena musibah celana robek ini rencananya kan aku mau balik ke Jogjanya naik kereta Prameks. Tapi sayangnya, waktu itu jadwal kereta ke Jogja dari Stasiun Klaten adalah Madiun Jaya.
Kalau aku pikir-pikir, naik Madiun Jaya dari Klaten dengan ngusung sepeda lipat itu lebih nggak nyaman daripada naik Prameks. Karena kan kereta Madiun Jaya berangkatnya dari Madiun dan berhenti juga di Solo. Pasti nanti pas sampai di Klaten gerbongnya sudah penuh penumpang mirip isi kaleng sarden. Hadeh...
Karena itu ya... dari Kota Klaten aku lanjut bersepeda ke Jogja deh, hahaha!
Sampai Juga di Yogyakarta!
Singkat cerita, aku sampai di gapura perbatasan Provinsi DI Yogyakarta – Jawa Tengah di Prambanan pukul 5 sore. Alhamdulillah, sukses sudah misi bersepeda PEKOK 30 September: Solo – Jogja via Sukoharjo! Yaaay!
Jadi bagaimana perasaannya? Kalau dibilang capek, hmmm... aku sih nggak ngerasa capek di hari itu. Lha wong banyak berhenti-berhenti dan medannya nggak ada tanjakan jahanam. Terasa capeknya malah hari ke-2 setelah bersepeda, hahaha.
Aku merasa kalau Selita memang kurang cocok dibawa bersepeda jarak jauh macam ini. Selain karena nggak bisa full-power mengerahkan tenaga, juga karena tangan kananku jadi agak sakit. Eh, apa mungkin karena efek samping tas ransel yang berat ya?
Ya seenggaknya hari ini sudah merasakan (lagi) gimana sensasinya bersepeda dari Solo ke Jogja yang pernah aku lakoni beberapa tahun silam. Sekali-kali lah bersepeda jauh. Toh karena pekerjaan, sekarang aku ya jarang bersepeda kalau nggak karena mumet kerjaan, hahaha . Bersepeda jarak jauh yang seperti ini tentu nggak aku sarankan tanpa persiapan yang matang.
Semoga sekiranya dengan artikel ini Pembaca jadi tahu seperti apa suasana kehidupan pedesaan sepanjang Sukoharjo sampai Klaten yang mungkin kita pernah dengar namanya tapi belum pernah sekalipun menginjakkan kaki ke sana.
Pembaca sudah kenal Solo, Sukoharjo, dan Klaten belum?
KATA KUNCI
- bengawan solo
- cawas
- es kapal
- grogol
- jalan slamet riyadi
- jawa tengah
- jembatan bacem sukoharjo
- jembatan banmati
- kereta api
- klaten
- kudeta pki
- mata air
- mata air sukoharjo
- pabrik gula ceper
- pabrik pt sritex
- pedan
- pekok
- pembantaian pki di solo
- pemerkosaan pki 1965
- sejarah
- sejarah jembatan banmati
- sejarah kelam partai komunis indonesia
- sendang
- sendang sukoharjo
- sepeda
- sepeda lipat naik kereta api
- solo
- soto gading
- sukoharjo
- taman sriwedari
- tawangsari
- tragedi 1965
NIMBRUNG DI SINI
Karena posisi rumah dekat perbatasan Kab. Purworejo - Kab. Kebumen, jadi pingin ke Jogja bawa sepeda buat keliling kota. Sejak 2013, satu hal yang belum keturutan setiap ke Jogja... nyepeda.
Semangat ngonthel... Semoga selalu sehat jiwa-raga :D
Semoga suatu saat nanti dirimu kesampaian nyepeda di Jogja yaaa. :D
masih banyak orang2 nekat kayak saya...
Balikpapan kebetulan hobbynya sama
vikepacking
Idemu kreatif Mas, naik kereta lanjut naik sepeda.
Aku tadinya kepikiran lho Mas buat nyoba bikepacking dengan cara bersepeda lipat, kan praktis bisa kemana-mana... tapi ya belum sempat kelakon....
Asyik mas Mawi, asyik
Itu es kapalnya menggoda banget wes, pasti cukup ngenyangin juga soale ada rotinya.
Es kapalnya segar mengenyangkan. Tapi, minum dua gelas kayaknya baru puas. :D
Eh iya, belum pernah ngrasain naik Prameks juga.. kapan ya.. kayaknya asyik juga kombinasi sepeda dan kereta..
Weh? Tenane seumur-umur belum pernah naik Prameks?
Btw ... kenapa sampe sobek gitu celananya ya ... mungkin genjotannya terlalu over kali ya. :D
Celananya robek mungkin karena nggak kuat menahan kentut Kang. Aku kalau kelamaan di atas sadel sering kentut, hahaha. :D