Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
- Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
- Patuhi peraturan yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Lahir dari keluarga yang hobinya jalan kaki bikin aku PeDe kalau jarak 4,2 kilometer menuju kompleks Candi Muaro Jambi itu bisa aku tempuh dengan hanya mengandalkan kedua kaki yang Alhamdulillah masih sehat. Toh pas backpacking ke Trowulan tahun 2009 silam aku ya jalan kaki ke candi-candi di sekitar sana. Lha masak ini yang jaraknya hanya 4,2 kilometer saja aku nggak kuat?
SILAKAN DIBACA
Nah, di hari Sabtu siang (11/4/2015) itu, setelah 15 menit jalan kaki di bawah teriknya matahari aku lihat ada objek menarik di sisi kiri jalan. Ada sungai gitu. Terus ada jembatannya. Di seberang sungai itu aku lihat ada batu-batu yang mana panca inderaku menyimpulkan bahwa itu adalah bangunan candi!
OK! Belok kiri grak!
Objek pertama yang terlihat dari pinggir jalan raya.
Tibalah aku di candi pertama di kompleks Candi Muaro Jambi sekaligus candi pertamaku di Sumatra, yaitu Candi Kedaton!
Aku disambut sama pak petugas jaga Candi Kedaton yang ramah dan baik hati. Namanya kalau aku nggak salah ingat Pak Atol. Setelah mengisi buku tamu kami lanjut ngobrol-ngobrol deh. Lumayan lah sambil mengistirahatkan kaki dan berteduh dari cuaca Jambi yang panas. Masih mending lah cuaca panas daripada pas musim kemarau penuh asap.
Beliau cerita, baru beberapa hari yang lalu rombongan mahasiswa UGM pulang dari sini. Kebetulan sekarang ini di Kompleks Candi Muaro Jambi lagi nggak ada kegiatan ekskavasi. Kalau ojek memang di sini jarang lewat, tapi ada warga yang menyediakan motor untuk disewa. Terus, seandainya kemalaman pun, beberapa warga ada yang menawarkan rumah mereka sebagai tempat menginap.
Ngobrol-ngobrol selesai ngisi buku tamu.
Bangunan Candi Kedaton adalah yang terbesar dan terluas di seantero kompleks percandian Muaro Jambi. Luas keseluruhan areanya 55.820 m2 termasuk pagar-pagar pembatas candi. Sedangkan luas bangunannya sendiri 28,13 m x 25,5 m. Oleh sebab itu Candi Kedaton diduga adalah candi kerajaan. Candi kerajaan itu ibarat masjid keraton gitu deh.
Kata kedaton asal-muasalnya dari kata kedatuan yang bisa diartikan sebagai kerajaan. Penggunaan kata kedatuan pertama kali diketahui dari prasasti Telaga Batu yang berasal dari Kerajaan Sriwijaya. Yup, kompleks percandian Muaro Jambi kan masih berhubungan erat dengan Kerajaan Sriwijaya.
Candi Kedaton pertama kali diketahui keberadaannya pada tahun 1976. Setelah itu berlanjut dengan kegiatan penelitian dan ekskavasi. Bangunan induk Candi Kedaton mulai dipugar pada tahun 2010 sampai 2011. Pada saat pemugaran sempat ditemukan makara, padmasana (dudukan arca), arca gajah, dan belangga perunggu.
Batu bata yang mirip seperti di candi-candi Jawa Timur.
Seluruh candi di kompleks percandian Muaro Jambi dibangun menggunakan batu bata seperti candi-candi di Jawa Timur. Kenapa begitu? Soalnya di sekitar sini nggak ada batu andesit besar-besar seperti yang ada di Jogja dan Jawa Tengah. Lha wong Muaro Jambi kan jauh dari gunung berapi.
Berhubung Muaro Jambi ini dekat banget sama Sungai Batanghari, alhasil di sekitar sini banyak banget tanah lempung yang kemudian dibentuk jadi batu bata. Selain batu bata, Candi Kedaton ternyata juga dibangun memakai batu kerakal. Itu lho batu berukuran kecil yang biasa dijumpai di dasar sungai. Batu kerakal ini digunakan untuk mengisi susunan batu bata.
Batu kerakal yang biasa ada di dasar sungai.
Sepintas, area Candi Kedaton ini mirip seperti daerah yang porak-poranda setelah digempur perang. Banyak banget batu bata yang berserakan di sana-sini. Ada juga yang masih terkubur tanah. Sebagian besar sih batu bata penyusun pagar pembatas. Maklum, seperti yang aku singgung di atas tadi, Candi Kedaton kan candi terluas, makanya pagar pembatasnya juga luas banget.
Bukan parit buat perang-perangan, tapi pagar candi yang masih terpendam.
Di mana-mana yang terlihat batu-batu bata berserakan.
Ada dua bangunan yang berada di dalam pagar pembatas candi. Bangunan pertama yang terlihat sebagai bangunan induk karena ukurannya lebih besar dan lebih tinggi. Sedangkan bangunan kedua berwujud semacam altar.
Aku sebenarnya penasaran, pingin tahu puncaknya bangunan induk Candi Kedaton itu seperti apa. Tapi sayang, aku nggak nemu tangga buat naik. Plus, ada larangan buat memanjat dinding candi (kalau dilanggar nanti kualat ). Jadi ya, aku cuma bisa lihat-lihat dari bawah deh.
Bangunan induk di Candi Kedaton. Tanpa relief di sisi-sisinya.
Lha terus, apa bangunan induk Candi Kedaton ini memang nggak bisa dinaiki semenjak awal dibangun? Atau apa orang-orang zaman dulu kalau mau naik ke puncak bangunan ini mesti melompat pakai ilmu kungfu gitu?
Ya nggak lah! Kalau diperhatikan di gerbang bangunan inti ini ada semacam “ruang” kosong. Dugaanku, dulu di situ ada tangga kayu yang tentu gampang keropos dan lapuk dimakan zaman. Mungkin juga dulu di puncak bangunan induk ini berdiri tiang-tiang kayu untuk menopang atap yang terbuat dari kayu juga.
Dugaanku dulu di sini ditempatkan tangga dari kayu.
Nah, sekarang kita pindah ke bangunan kedua yang bentuknya seperti altar. Untuk naik ke bangunan ini lewatnya tangga batu pendek yang Alhamdulillah masih berbentuk sampai sekarang.
Yang bikin aku penasaran, di bangunan altar ini ada empat pilar pendek yang terbuat dari batu bata. Di atasnya diletakkan batu kali yang ukurannya cukup besar. Kira-kira buat apa ya? Apa mungkin untuk dudukan tiang kayu juga?
Apa maksudnya penempatan seperti ini? Benar-benar masih misteri...
Semacam umpak batu.
Berjalan sekitar seratus meter ke arah utara dari bangunan altar ini kita bakal ketemu sama gerbang yang lumayan megah. Dugaanku, ini nih gerbang masuk resmi yang dipakai sama orang-orang zaman dulu kalau mau ke Candi Kedaton. Gerbang ini dijaga 2 makara di kedua sisinya. Selain itu ada juga rongga di tembok gerbang yang dugaanku sebagai tempat pintu.
Gerbang utama yang dulu dipakai untuk masuk ke Candi Kedaton.
Makara yang terbuat dari batu andesit.
Rongga di tembok sebagai tempat pintu.
Di dekat gerbang megah itu aku lihat ada jalan cor-coran semen. Kalau nggak salah ingat, tadi Pak Atol bilang kalau ketemu sama jalan cor-coran semen bisa tembus ke candi lain. Oke deh! Aku coba ikuti saja itu jalan.
Jalan semen yang konon katanya terhubung ke candi lain.
Ladang warga di sepanjang jalan semen. Bukan sawit kok. Sepertinya hanya palawija.
Eh, pas lagi semangat-semangatnya jalan, tahu-tahu di tengah jalan aku ketemu jembatan putus. Katanya warga yang aku jumpai di sana, itu jembatan sudah setahun lebih rusak diterjang banjir. Kurang kerjaan banget kalau aku nekat nyebur sungai buat nyebrang.
Apa boleh buat! Terpaksa deh balik kanan. Misi gagal saudara-saudara!
Waks! Jembatannya putus! Gagal deh ke candi lain.
Sekitar jam sebelas siang aku balik lagi ke tempatnya Pak Atol. Pamit dulu karena aku mau lanjut (jalan kaki) ke zona inti kompleks percandian Muaro Jambi. Katanya Pak Atol blusukan lewat hutan juga bisa sampai ke sana. Tapi aku milih lewat jalan raya saja deh biar nggak pakai acara nyasar. Walau ya... panasnya bukan main karena sudah menjelang tengah hari.
Sebenarnya ya ada cara lain ke candi-candi yang ada di kompleks percandian Muaro Jambi seperti yang dipraktekkan sama orang-orang zaman dulu. Yaitu naik perahu lewat kanal-kanal tua yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-7 masehi.
Ah, coba saja ada perahu yang lewat kanal ini. Kan menarik tuh buat atraksi wisata. Mbok ya pemerintah Muaro Jambi mikirin hal kayak gini gitu lho. Biar aku nggak tersiksa mesti jalan kaki jauh di bawah terik matahari... hu hu hu... semoga saja deh suatu saat terealisasi biar kompleks candi Muaro Jambi jadi objek wisata yang ngetop di Sumatra.
Coba bisa naik perahu sambil mengunjungi candi-candi kan asyik lho.
Nggg,... apa mungkin memang aku sengaja “disuruh” jalan kaki oleh “penduduk” Muaro Jambi ya? Supaya aku mampir ke Candi Kedaton dulu untuk “minta ijin” sama “penguasa” tempat sana?
Sepertinya aku perlu memejamkan mata barang sejenak. Membayangkan seperti apa kemegahan Candi Kedaton ini di masa lampau. Merasakan aktivitas kehidupan di saat Kerajaan Sriwijaya masih ada.
Salah satu gerbang di Candi Kedaton yang belum dipugar.
Setelah dipugar seperti ini bentuknya.
Aaagh... kebanyakan meracau aku ini! Aku baru jalan kaki sekitar 1,6 km dari simpang. Itu artinya aku masih perlu menempuh perjalanan 4,2 – 1,6 = 2,6 km lagi di bawah terik matahari Jambi. Semoga saja di tengah jalan nggak berhalusinasi...
SEMANGAAAT!
NIMBRUNG DI SINI
Maksudku sempet ketemu orang ga...
Rada horor kalo udah sendirian tapi jalannya km-an
:D
jalan aspale ga kepoto :D
disana ... :D
komplek candinya luas banget ya .... artinya kerajaannya memang besar ya ....
btw .. bagus juga tuh ide .. perahu wisata di kanal-nya ... mudah2-an blog ini di baca oleh
dinas pariwisata di sana ..
dengan sungai batang hari,,,,
Satu lagi, aku gak tau kalau dilarang naik ke candi. jadi ada satu candi yang ku naiki sampai ke atasnya, karena masih bisa di jangkau kaki ._.v
catet!!!
masih bagus-bagus (nggak pecah-pecah).
btw, itu kayak pernah buat syuting sinetron apa gitu ya :v
ini ya...
hati banget pas baca mengenai jembatan putus itu
kungfu tepok jidat hehe
btw, aku suka sekali foto-foto pantulan awan diatas air :D