Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
- Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
- Patuhi peraturan yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Minggu siang (9/4/2017) yang lalu. Di bawah terik matahari yang panas. Sekelebat pikiran tiba-tiba melintas di benak,
“Sepertinya, aku lahir pada waktu yang salah.”
Bukan suatu penyesalan. Bukan pula untuk memperdebatkan benar atau salah.
Tapi, saat melihat teman-teman mahasiswa ini belajar merawat benda cagar budaya di kompleks Candi Sambisari, muncul semacam rasa “iri”,
“Kenapa dahulu kala aku tidak belajar sejarah semenyenangkan ini?”
Sekadar kilas balik, seorang Wijna menghabiskan masa SD, SMP, dan SMA-nya di Jakarta. Itu sekitar tahun 1992 (masuk SD) hingga 2004 (lulus SMA). Sudah lama ya?
Semasa sekolah dulu, pelajaran sejarah memang bukan pelajaran yang “menakutkan”. Tapi sayangnya lumayan membosankan. Materi pelajarannya tidak jauh-jauh dari hafalan nama peristiwa, tokoh-tokoh penting, dan tahun kejadian. Seringnya malah mengerjakan LKS.
Yah, mungkin memang silabusnya seperti itu.
Nah, setelah menumpang hidup di Yogyakarta bertahun-tahun, ndilalah aku merasa bahwa belajar sejarah itu adalah hal yang menyenangkan. Jauh lebih menyenangkan dibanding saat semasa sekolah dahulu.
Kenapa ya?
Penyebabnya mungkin karena di Yogyakarta bertebaran banyak objek sejarah. Objek-objek yang dulu hanya bisa dibaca lewat buku teks pelajaran kini bisa aku sentuh langsung.
Eh, walaupun tidak boleh disentuh, setidaknya bisa dilihat nyata dengan mata kepala sendiri.
"Oooh... jadi ini toh yang dulu ada di buku teks sekolah itu."
Beda halnya ketika semasa sekolah di Jakarta dulu. Saat belajar peradaban Hindu-Buddha misalnya. Aku cuma bisa melihat foto candi dari buku teks dan mempelajari perbedaan arca lingga dan yoni tanpa pernah melihat benda aslinya.
Apalagi dulu dunia internet belum secanggih sekarang. Sumber informasi utama ya hanya dari buku.
Eh, sebetulnya kalau untuk melihat di Jakarta itu bisa dengan menyambangi Museum Nasional sih. Tapi, sewaktu masih muda dulu, Playstation bisa membuat aku betah di rumah.
Tapi, perasaan “iri” ini mungkin juga dialami oleh mereka yang tinggal di luar Jawa. Misalnya orang yang tinggal di Kalimantan atau Sulawesi. Mereka butuh ongkos banyak jika ingin melihat candi secara langsung.
Entah ya, mungkin juga aku merasa kalau pelajaran sejarah semasa sekolah dahulu lebih banyak membahas hal-hal yang terjadi di Jawa. Padahal, sejarah akan selalu ada sepanjang konsep ruang dan waktu eksis.
Yah, mungkin topik sejarah selain yang termuat di buku teks pelajaran sejarah sekolah itu dipandang kurang menarik dan tidak begitu penting. Toh, semua pelajaran di sekolah kan juga memiliki keterbatasan waktu dan materi.
Solusi akomodatifnya, mungkin sejarah-sejarah daerah bisa masuk ke pelajaran muatan lokal. Tapi, kok ya nanti pelajaran muatan lokal malah jadi sesuatu yang “gado-gado”.
Aku malah jadi penasaran bagaimana teman-teman mahasiswa sejarah dan arkeologi bisa “teracuni” hingga memilih kuliah di program studi tersebut. Besar harapannya kita semua yang berkuliah menempuh pendidikan ini sebaik mungkin dan tidak mengkambing hitamkan alasan “salah jurusan”.
Tapi, ketika melihat teman-teman mahasiswa ini mengedukasi pengunjung Candi Sambisari untuk melestarikan benda cagar budaya, sepertinya mereka betul-betul mahasiswa yang menjiwai sejarah lahir-batin luar-dalam.
Tentunya kita semua ingin agar benda cagar budaya, seperti Candi Sambisari ini, tetap terawat. Candi memang benda fana. Candi jelas bisa rusak dan suatu saat mungkin akan rusak, dengan atau tanpa campur tangan manusia sekalipun.
Tapi, merawat candi akan menghindarkannya dari cepatnya ia rusak. Tugas merawat juga bukan semata-mata tugas para juru pelihara, melainkan tugas para pengunjung yang saban hari senantiasa membuat tempat ini ramai. Jangan sampai perilaku kita malah membuat rusak benda cagar budaya.
Begitulah. Di usia yang sudah kepala tiga ini, sepertinya aku mulai bisa meresapi jiwa pembelajaran sejarah. Prosesnya memang tidak singkat, butuh waktu panjang, butuh banyak membaca, mendengar, dan mengamati.
Inilah yang sebetulnya lebih penting dari hafalan-hafalan pelajaran sekolah. Bagaimana kita memaknai, mengambil pelajaran, dan merawat objek-objek bersejarah.
NIMBRUNG DI SINI