Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Lha, jauh-jauh keluyuran kok malah nyasarnya sampai Gua Seplawan?
Eh, sebetulnya ya penasaran juga sama isinya Gua Seplawan. Tapi, ya nanti kapan-kapan sajalah kalau bisa ke sini lagi bareng Mbah Gundul. Toh, guanya kan tetap di sini, nggak keluyuran ke mana-mana.
Karena ini adegan nyasar , jadi lebih baik mencari orang buat ditanyai. Ndilalah, di kompleks parkiran Gua Seplawan ada seorang ibu yang sedang naik tangga ke salah satu pendopo.
Alhasil, aku tinggalkan sang istri terlucyu buat menghampiri sang ibu itu. Biarlah sang istri menjaga sepeda motor seorang diri di luar pos jaga kompleks Gua Seplawan.
Eeeh ini kok ya di pos jaga malah nggak ada orang yang berjaga toh ya? Padahal sudah pukul 9 pagi. Hari Sabtu (16/2/2019) pula yang notabene hari liburan.
Singkat lari-lari kecil, berhasillah aku menggapai ibu yang rupanya sedang mengantarkan kopi panas itu. Setelah sekian pertanyaan saling terlontar, beliau menyimpulkan bahwa kami ini... SALAH JALAN! #doh
Kata ibu itu, kalau mau ke Curug Kembar Mayang, seharusnya mengambil cabang jalan ke kanan di pertigaan yang ada cermin bundarnya. Nah, kalau ambilnya cabang jalan ke kiri, akhirnya ya sampainya di Gua Seplawan ini. #hadeh
Setelah berhasil menghafal petunjuk arah yang dituturkan sang ibu, balik lagi lah ke pos jaga tempat sepeda motor diparkir. Di sana, sang istri sedang mengobrol dengan seorang bapak yang membawa arit. Kata sang istri, bapak itu muncul mendadak dari balik semak-semak. #heee
Sama seperti sang ibu, sang bapak juga memberitahu arahan yang benar menuju Curug Kembar Mayang. Sang bapak memberitahu pula bahwa nggak ada curug di Dusun Kalilo, tempat Gua Seplawan berada ini. Di Kecamatan Kaligesing, curug yang sering dikunjungi orang-orang hanya Sidandang, Siklothok, dan Silangit. #cuma.silangit.belum.pernah
Eeeh, sang bapak yang namanya tidak diketahui itu juga menyebutkan suatu informasi menarik. Kata beliau, sekarang Curug Kembar Mayang sudah nggak dikelola.
Weeeh… ada apakah gerangan dengan curug-curug dulu dikelola tapi sekarang tidak dikelola? #penasaran
Jadi, dengan mengikuti petunjuk dari warga-warga Kabupaten Purworejo yang baik hati itu, kembalilah sepeda motor digas menuju ke pertigaan dengan cermin bundar seperti pada foto di atas. Inilah titik di mana kami salah jalan.
Untuk menuju ke tempat ini dari rumah tercinta adalah dengan mengikuti panduan arah sebagai berikut:
Tugu Jogja → Jalan Godean → Perempatan Kenteng → Tanjakan Girimulyo → Gua Kiskendo → Hutan Pinus Kalilo → Pertigaan Cermin Bundar Desa Donorejo
Desa Donorejo itu masuk wilayah Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Total jaraknya dari pusat Kota Jogja kira-kira sekitar 35 km.
Supaya lebih yakin, bertanyalah sang istri kepada seorang simbah dan ibu yang sedang kongkow-kongkow di teras rumah dekat pertigaan cermin bundar. Eeeh... mereka malah nggak tahu Curug Kembar Mayang! #doooh
Tapi, berkat kata kunci ajaib “curug yang dulu pernah dikelola, tapi sekarang nggak lagi”, mereka pun paham dengan curug yang dimaksud #hadeh. Mereka memberitahu untuk terus mengikuti jalan aspal yang melewati Puskesmas Pembantu Donorejo hingga bertemu dengan masjid dan jumblengan di sisi kiri jalan.
Petualangan menyusuri jalan di sudut Perbukitan Menoreh pun berlanjut dengan kosakata jumblengan yang statusnya masih unknown di perbendaharaan kata Jawaku #maklum.jawa.karbitan. Aku pikir sang istri mengerti apa itu jumblengan. Eh, tapi ternyata dia juga nggak tahu jumblengan itu apa! #hadeh
Jumblengan itu perbendaharaan kata warga Purworejo kah? Apa mungkin salah dengar?
Kurang semenit dari rumah simbah dan ibu itu, terlewatilah Puskesmas Pembantu Donorejo seperti pada foto di atas itu. Selanjutnya ya penasaran. Mana ini masjid yang dimaksud?
Selang beberapa ratus meter dari puskemas terlihat ornamen puncak masjid dari kejauhan. Karena yakin itulah masjid yang dimaksud, berpindahlah sepeda motor dari jalan aspal ke jalan cor semen dua lajur menuju ke masjid itu.
Namanya Masjid Al-Muttaqien. Letaknya di Dusun Jogowono. Masih di wilayah Desa Donorejo.
Selanjutnya, menemukan jumblengan? #hadeh
Sang istri pun turun dari sepeda motor dan bertanya kepada seorang ibu di salah satu rumah. Alhamdulillah, sang ibu mengerti Curug Kembar Mayang. Katanya, tinggal ikuti saja jalan cor semen dua lajur ini.
Jadi, apakah jumblengan itu adalah jalan cor semen dua lajur?
Betul kata sang ibu. Selang beberapa ratus meter kemudian, di sisi kanan jalan berdiri tiang kayu yang ditempeli spanduk informasi proyek pembangunan jalan. Di atas spanduk itu ada papan kayu yang bertuliskan,
AIR TERJUN KEMBANG MAYANG “NGEDOK”
Ya Gusti Allah SWT Tuhan semesta alam! Setelah sekian kilometer melintasi jalanan Desa Donorejo baru ini ketemu dengan papan nama curug yang dicari!
Sungguh curug yang sepertinya sekarang menjadi sangat MIS - TE - RI - US. Hmmm....
Eeeh... membaca ada kata ngedok, kok malah membuatku ingin melakukan "sesuatu" yaa....
Nah, setelah itu bingung deh. Ke curugnya ke arah mana ya? Soalnya, tiang papan kayunya itu berdiri di muka halaman rumah warga. Kok ya ndilalah “indera penciuman” curugku sepertinya juga sedang mampet. #alasan #efek.belum.sarapan
Eeeh, kok ya ndilalah-nya bapak yang tinggal di rumah di atas itu keluar menyambut. Tahu bahwa kami berniat ke Curug Kembar Mayang, lagi-lagi sang bapak menginformasikan hal yang sudah tiga kali kami telan hari ini, yaitu Curug Kembar Mayang alias Curug Ngedok sudah tidak dikelola lagi. #doh.doh
Tapi, karena niat kami menyambangi Curug Kembar Mayang sudah sebulat (dan sekecil) gundu #eh, sang Bapak pun memberi petunjuk. Kata beliau, jikalau benar-benar mau ke Curug Kembar Mayang, ya tinggal mengikuti jalan semen yang bermula dari muka halaman rumah bapak itu. Nanti, di ujung jalan semen ambil jalan rusak di dekat batu besar.
Oh iya, sepeda motor bisa diparkir di halaman rumah tetangga bapak itu. Sepertinya, rumahnya kosong.
Petualangan lalu berlanjut dengan menapaki jalan cor semen yang LICINNYA BUKAN MAIN! Kemiringannya terjal pula!
Kalau begini medannya, rasanya lebih aman menapak di jalan tanah deh. Kalau nggak isin, merangkak pun tak lakoni.
Jalan semennya mungkin sengaja dibuat tanpa tangga supaya sepeda motor bisa lewat. Tapi ya mengerikan juga kalau sepeda motor lewat sini. Rawan tergelincir!
Ketika sedang berhati-hati melewati jalan semen ini, kami berjumpa dengan seorang bapak sepuh yang membawa cangkul dan arit. Sang istri pun merajut obrolan krama inggil dengan beliau.
Bapak sepuh tersebut mengenalkan diri sebagai Pak Paidi. Dengan kebaikan hatinya, beliau memandu kami menuju Curug Kembar Mayang.
Matur nuwun sanget nggih Pak.
Ngapunten sanget sampun ngrepoti.
Lagi-lagi-lagi dan lagi. Pak Paidi juga bercerita bahwa Curug Kembar Mayang dulu pernah dikelola, tapi sekarang sudah tidak.
Kata Pak Paidi, saat Curug Kembar Mayang masih dikelola, pengunjungnya lumayan ramai lho! Orang Bandung dan Jakarta saja pernah singgah di sini. #weh
Jalan semen yang menurun terjal dan licin ini dibuat warga untuk jalan sepeda motor pengunjung curug. Rencananya, di ujung jalan semen bakal dibuat lapangan parkir. Tapi, sekarang kondisinya padat semak belukar.
Selain jalan semen, warga juga sudah merapikan jalan setapak dari lapangan parkir ke Curug Kembar Mayang. Tapi, sekarang jalan setapaknya juga sudah menyatu dengan semak belukar. Nasibnya tempat di dalam hutan yang jarang terjamah manusia.
Untuk memudahkan langkah kami, Pak Paidi mengajak melewati jalan pintas yang menurut beliau aman dilalui. Walaupun tetap harus menerjang semak-semak, tapi ya ada jaminan rasa aman lah.
Bisa dibayangkan lah kalau nekat ke curug ini tanpa dipandu. Bisa-bisa nyasar di tengah hutan.
Kata Pak Paidi, di sepanjang aliran sungai ada banyak kedung yang cocok jadi lokasi kekeceh alias bermain air. Beberapa kedung sudah dibuatkan akses jalan setapak. Tapi, sekarang kondisi jalannya ya jelas sama dengan yang sudah-sudah.
Pada waktu itu aku sempat menyambangi salah satu kedung. Bukan buat main air, tapi buat menyalurkan “urea” di semak-semak dekat sana.
Kira-kira setelah berjalan kaki selama 10 menit, tibalah kami di lokasi Curug Kembar Mayang. Pak Paidi lalu menunjukkan penyebab mengapa curug ini sekarang nggak dikelola lagi.
Di dekat dasar curug terlihat tumpukan bongkahan batu-batu besar. Kata Pak Paidi, batu-batu besar itu berasal dari tebing curug yang runtuh.
Dulu, di dasar Curug Kembar Mayang ada kedung yang luas. Pengunjung bisa berfoto-foto dan bermain air di situ. Tapi, setelah tebing curug runtuh, kedungnya menghilang tertutup tumpukan bongkahan batu.
Duh, sayang sekali ya?
Pak Paidi mewanti-wanti kami supaya nggak menjamah tumpukan bongkahan batu-batu besar itu. Tebing curug masih rawan runtuh. Setelah berpesan demikian, beliau pun meninggalkan kami, lalu menebangi bambu-bambu di sekitar sana.
Dengan hati-hati kami menuruni jalan setapak menuju ke aliran sungai. Di dasar, kami memandangi Curug Kembar Mayang dari jauh. Curug kembarnya memang masih memukau (ada tiga curug sebetulnya). Tapi, bongkahan batu-batu besar di dasarnya seakan “merusak pemandangan”.
Bersyukurlah bagi mereka yang sudah pernah menyambangi Curug Kembar Mayang pada zaman dahulu. Kalau memang Tuhan sudah berkehendak ya mau dikata apa? Manusia kan hanya bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian alam.
Sepertinya ya susah untuk menyingkirkan bongkahan batu-batu besar itu tanpa alat-alat berat. Itu juga sepertinya mustahil karena medan yang harus dilalui untuk mencapai tempat ini berwujud jalan setapak.
Pun, jika batu-batunya sudah bersih, tetap ada kemungkinan tebingnya bakal runtuh lagi. Curug ini nggak lagi tergolong tempat yang aman untuk bermain air. Terlebih saat musim penghujan.
Aku ya mumet mencari cara memotret Curug Kembar Mayang agar tetap terlihat indah . Yang jelas, Curug Kembar Mayang sangat susah dipotret dari dekat karena percikan airnya membuat kamera dan lensa basah. #hati.hati
Setelah hampir satu jam menikmati Curug Kembar Mayang #lama.juga.ya, kami memutuskan pulang. Di atas, rupanya Pak Paidi masih menebangi bambu-bambu.
Tak lupa kami berpamitan dan berterima kasih pada Pak Paidi. Sang istri menitipkan sesuatu sebagai balas jasa karena beliau sudah berbaik hati memandu kami ke Curug Kembar Mayang.
Kami pun pulang, meninggalkan Pak Paidi seorang diri di dalam hutan. Jelas masih ingat jalan setapak untuk kembali ke tempat sepeda motor diparkir. Untung pula nggak ketemu dengan hewan-hewan liar yang sepatutnya dihindari.
Jikalau ke sini lagi, entah setahun, dua tahun, atau tiga tahun dengan kondisi curug yang masih nggak dikelola, bisa jadi kami harus meminta tolong dipandu warga. Tapi, entah kenapa aku merasa bahwa curug ini nggak akan pernah dikelola lagi.
Ah, mungkin hanya perasaanku saja....
KATA KUNCI
- air terjun
- air terjun gendok
- air terjun jawa tengah
- air terjun kembar mayang
- air terjun purworejo
- alam
- batu
- curug
- curug donorejo
- curug gendok
- curug kaligesing
- curug kembar mayang
- curug purworejo
- donorejo
- gua seplawan
- hutan
- jawa tengah
- jogowono
- kaligesing
- kedung
- longsor
- masjid
- perbukitan menoreh
- purworejo
- puskesmas
- sungai
- tebing
NIMBRUNG DI SINI