“Lima belas menit ya Wis!”
Dimas lalu merebahkan diri di atas kasur. Serial Games of Thrones terputar di smartphone-nya.
Jam menunjukkan pukul delapan pagi lebih beberapa belas menit. Kami baru saja merapat kembali di homestay-nya Mas Udin setelah menikmati fajar dari puncak Bukit Sikunir.
Sambil menunggu lima belas menit berlalu, aku merasa punya waktu luang buat jalan-jalan di Desa Sembungan. Kebetulan juga aku merasa butuh mengenal intim D5500-nya Dimas. Jadi, tanpa membuang-buang waktu aku balik lagi keluar rumah sambil menenteng D5500. #senyum.lebar
SILAKAN DIBACA
Desa Sembungan terletak di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Desa ini berjarak sekitar 20 km dari Kota Wonosobo.
Desa Sembungan berada di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Ada bermacam objek wisata menarik yang membuat desa ini populer. Salah dua di antaranya adalah Bukit Sikunir dan Air Terjun Sikarim.
Rute termudah menuju ke Desa Sembungan adalah dengan menuju ke Dataran Tinggi Dieng terlebih dahulu. Jika dari Kota Wonosobo bisa melalui Jl. Dieng. Setelah sampai di pertigaan Dieng Kulon, belok ke kiri (selatan) lewat jalan ke arah Telaga Warna hingga mentok-tok-tok sampai ke ujungnya.
Menurut informasi dari situs Sikunir dan juga Wikipedia, Desa Sembungan terletak di ketinggian 2.260 meter di atas permukaan laut. Inilah yang membuat Desa Sembungan mendapat julukan desa tertinggi di Pulau Jawa. Konon, dulu di desa ini banyak tumbuh pohon sembung (Blumea balsamifera) yang kemudian menjadi asal nama Desa Sembungan.
Dengan jumlah penduduk sebesar 1.400 jiwa, mayoritas warga Desa Sembungan bermata pencaharian sebagai petani. Umumnya mereka adalah petani kentang. Di berbagai sudut desa banyak dijumpai ladang-ladang kentang.
Awalnya aku berniat jalan-jalan motret-motret di ladang kentang. Tapi, karena ladang kentangnya ketutupan kabut ya nggak jadi deh. #sedih
Menyinggung tentang kabut, Desa Sembungan ini memang sering berkabut. Mau pagi, siang, sore, atau malam, kabut bisa datang sewaktu-waktu. Nggak ada jaminan juga kalau langit cerah pasti nggak berkabut.
Karena ladang kentangnya berkabut, jadi aku memutuskan buat jalan-jalan menyusuri gang-gang desa. Aku membayangkan nanti di sepanjang gang bakal ada aktivitas keseharian warga di luar rumah.
Eh, tapi ternyata gang-gang desanya sepi! Nggak ada warga yang beraktivitas di gang-gang atau di pekarangan rumah.
Apa mungkin karena hawa Desa Sembungan itu dingin ya, jadinya warga lebih memilih di dalam rumah? Mungkin juga pada pagi itu para warga sudah beraktivitas di ladang. Jadinya rumah-rumah pada sepi deh. #hehehe
Pas menyusuri gang-gang Desa Sembungan aku ketemu sama tempat yang bikin hati miris, yaitu jurang yang penuh sampah! Duh! Duh! Duh! #sedih
Di desa yang lokasinya nun jauh seperti ini kayaknya ajaib banget kalau dilewati mobil dinas pengangkut sampah. Sepertinya, pengelolaan sampah di Desa Sembungan ini ya dengan cara dibakar seperti yang biasa aku jumpai di desa-desa.
Desa Sembungan kan berpotensi mengundang wisatawan dalam jumlah besar, tentunya jumlah sampah yang dihasilkan juga akan semakin banyak dong? Jadi, mungkin perlu dipikirkan bagaimana pengelolaan sampah desa supaya nggak mencemari lingkungan seperti ini. #sedih
Karena ingin mencari keramaian, jadi aku pindah dari kawasan gang-gang menuju jalan besar yang membelah Desa Sembungan. Di sana memang lebih ramai dari di gang-gang sih, tapi tetap saja sepi. Barangkali karena di desa ya? Pada waktu itu juga kan bukan musim liburan.
Di salah satu teras depan rumah, aku melihat seorang ibu menggelar berbagai macam dagangan. Apa yang ibu itu jajakan adalah sayur-sayuran, bumbu dapur, jajanan pasar, dan berbagai makanan lain yang biasa dijumpai di pasar.
Sepengamatanku, Desa Sembungan ini kan jauh dari pasar. Jadi, ibu pedagang yang kulakan berbagai macam benda di pasar kemudian menjualnya di desa memegang peranan penting bagi pemenuhan kebutuhan harian warga.
Di sepanjang jalan utama Desa Sembungan juga banyak terlihat rumah warga yang disulap menjadi homestay. Keberadaan homestay jelas memudahkan wisatawan yang ingin mengenal intim suasana pedesaan atau menikmati fajar dari Bukit Sikunir. Perjalanan ke Bukit Sikunir bakal lebih singkat jika bermalam terlebih dulu di Desa Sembungan.
Akan tetapi keberadaan homestay di Desa Sembungan ini bikin aku bertanya-tanya.
Apakah di masa mendatang bakal makin banyak homestay di Desa Sembungan?
Apakah homestay yang sederhana akan tergusur oleh penginapan mewah?
Apakah para petani kentang akan beralih mata pencaharian menjadi pengelola homestay?
Apakah ladang-ladang kentang bakal beralih rupa menjadi bangunan homestay?
Hanya waktulah yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Semoga apa yang kelak terjadi di masa depan nggak seburuk apa yang menjadi bayanganku. Aamiin.
Dari jalan utama aku jalan kaki menuju gapura Desa Sembungan. Aku kepingin memotret pemandangan desa dari ketinggian. Sepertinya, di dekat gapura ada lokasi yang cocok untuk memotret.
Gapura Desa Sembungan berdekatan dengan SD Negeri Sembungan. Banyak siswi-siswi SD yang berada di jalan. Entah apakah mereka sedang berada di waktu istirahat ataukah sudah pulang sekolah. Yang jelas sebagian besar dari mereka asyik dengan jajanan di tangan. #senyum.lebar
Setelah mengamati kondisi di sekitar gapura dan SD Negeri Sembungan, rupanya lokasi memotret yang cocok adalah di sekitar halaman balai pertemuan NU. Itu pun aku harus berdiri di tepi pagar yang berbatas tebing curam.
Mungkin karena aksi memotretku itu, aku disapa seorang bapak (yang aku duga adalah seorang guru) yang kebetulan berada di dekat sana. Beliau bertanya dari mana asalku. Aku jawab dari Jogja. Beliau bilang, pertanyaan asalku yang dimaksud itu sebetulnya aku berasal dari perguruan tinggi mana. Aku jawab saja asalku dari UGM.
Sepertinya, beliau mengira aku ini mahasiswa. Padahal sudah belasan tahun aku nggak lagi mahasiswa. Untungnya obrolan nggak mengarah ke hal-hal seputar dunia akademis karena aku keburu pamit ke beliau mau memotret dari tempat lain. #hehehe
Tentang motret pemandangan Desa Sembungan dari ketinggian. Sebetulnya, hasil foto dari halaman balai pertemuan NU kurang bagus juga sih karena terhalang oleh kabel-kabel listrik. Seandainya aku bisa melayang maju sedikit ke depan kabel listrik mungkin bakal jadi foto yang lebih bagus, hehehe. #hehehe
Yang jelas memotret pemandangan di Desa Sembungan harus bermodal sabar karena kabut lewat bisa datang sewaktu-waktu. Banyak-banyak berdoa saja semoga kabut lewatnya nggak terlalu lama. #senyum.lebar
Selesai motret pemandangan di atas aku baru lihat jam. Weh! Ternyata sudah pukul sembilan lewat! Sudah lewat lima belas menit dari waktu tunggu yang Dimas bilang.
Jadi ya aku bergegas kembali ke homestay-nya Mas Udin. Petualangan kami di Dataran Tinggi Dieng pada hari ini masih akan berlanjut.
sewa kamar homestay nya, terimakasih
Sembungan itu kecamatannya ikut Kejajar (tolong ralat tulisannya) di Kabupaten Wonosobo.
Dan Alhamdulillah soal sampah alias kebersihan sekarang sudah lebih baik daripada dulu ya.
Warga sudah sadar akan cara merawat lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan.
Wah, senang rasanya tahu bahwa sekarang Desa Sembungan semakin bersih. Jadi pingin berkunjung ke sana lagi jika ada kesempatan. :D