Jalan hidup itu nggak selamanya mudah dan menyenangkan. Ada kalanya kita harus melangkah maju sambil menahan sakit dan derita. Termasuk juga ketika menyusuri “jalan penderitaan” menuju Pantai Timang.
Eh? Jalan penderitaan?
Gampangnya lihat saja foto di bawah ini!
Seperti yang terlihat pada foto, itulah jalan yang wajib ditempuh wisatawan yang berniat singgah di Pantai Timang . Paling nggak, itu medan yang kami lalui pada Kamis siang di awal bulan Agustus tahun 2016 silam.
Kondisi jalan yang berbatu dan bergeronjal-geronjal di atas jelas sangat-sangat kontras dengan ketenaran Pantai Timang. Buat Pembaca yang belum tahu, Pantai Timang itu merupakan salah satu pantai tersohor di Yogyakarta yang terkenal dengan “uji nyali naik gondola”-nya.
Bahkan Dimas (kawan sekolahku yang nampang di foto itu) bersedia menunggangi sepeda motor menempuh jarak ratusan kilometer dari Jakarta ke Yogyakarta demi menyambangi Pantai Timang.
Piye? Ganas toh kepopuleran Pantai Timang ini?
Tapi ya itu. Jalan menuju ke Pantai Timang amat sangat menguji kesabaran dalam berkendara. Khususnya bagi wisatawan yang naik kendaraan roda dua.
Dan seandainya aku sendiri bersepeda lewat sana... ya... mending NUNTUN deh!
Omong-omong, jalan rusak di atas itu bikin aku terkenang sama “jalan penderitaan” ke Laut Bekah. Kondisinya 11-12 lah dengan jalan ke Pantai Timang di atas, wekekekek.
SILAKAN DIBACA
Sapaan dari Pantai Timang
Pantai Timang terletak di Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta. Jaraknya dari Kota Jogja ya sekitar 70-an kilometer lah.
Umumnya orang-orang ke Pantai Timang lewat Kota Wonosari. Tapi, pada waktu itu kami lewat Parangtritis karena sebelumnya mampir dulu di Pantai Depok. Ya namanya juga jalan-jalan nganter turis dari Jakarta, hehehe.
Alhamdulillah, perjalanan dari Kota Jogja menuju Pantai Timang berlangsung mulus tanpa pakai acara nyasar-nyasar. Kira-kira pukul setengah 1 siang kami sukses melibas jalanan rusak di atas dan sampai di kawasan Pantai Timang. Fiuh....
Aaaah... akhirnya! Riuh ombak di telinga, langit biru di pelupuk mata, serta terpaan angin laut yang membelai kulit bersatu padu membentuk sensasi khas... PANTAI!
Begitu kami memasuki kawasan Pantai Timang terlihat banyak papan parkir di sana-sini. Dimas pun aku arahkan untuk memarkir sepeda motor di salah satu tempat parkir yang dekat dengan bangunan warung.
Setelah sepeda motor terpakir, kami kemudian berjalan kaki menuju lokasi penyebrangan gondola. Eh, baru jalan beberapa langkah, aku disapa oleh seorang bapak yang sedang beristirahat mencangkul.
Dari bertukar sapa, kami lantas terlibat obrolan panjang. Niat awalnya sih hanya sekedar berbasa-basi sambil berakrab ria. Tapi lama-lama, kok aku mengendus si bapak punya informasi yang menarik ya? Hahaha.
Insting wartawan KW pun muncul. Dimas aku suruh pergi duluan ke tempat penyeberangan gondola. Sementara itu aku menggali informasi dari si bapak.
Si bapak bernama Pak Adi Sumarno. Usianya aku taksir sekitar 50-an tahun. Beliau ini pemilik warung sekaligus tempat parkir yang dikelola oleh anak dan kerabatnya. Dari beliaulah aku mendapat cerita tentang jalan rusak Pantai Timang.
Cerita tentang awal ketenaran Pantai Timang pun mengalir. Dari awalnya pantai yang nggak semua orang tahu. Kemudian berubah tenar ketika menjadi lokasi syuting film. Tentu terkenalnya karena ada objek penyeberangan gondola itu.
“Itu putra saya”, ujar Pak Adi Sumarno sambil menunjuk kliping terlaminating yang menggantung di dinding warung
Warsito. Itulah pria yang nama serta fotonya tercetak dalam lembaran halaman tabloid Utusan terbitan Agustus 2013. Ternyata, sudah sejak tahun 1997 Warsito beserta kawan-kawan mengandalkan Pulau Timang sebagai tempat mendulang rezeki. Tentu bukan sebagai objek wisata, melainkan sebagai tempat menangkap lobster. Biasanya, pukul 4 pagi perangkap lobster dipasang dan pukul 4 sore diambil lagi.
Nggak bisa dipungkiri, harga jual lobster memang terbilang menggiurkan. Satu kilogram lobster bisa dihargai sampai Rp200.000. Adapun di warung-warung pinggir pantai, paket olahan lobster dengan sayur, minum, dan nasi sepuasnya bisa ditebus seharga Rp450.000. Cocok disantap bagi wisatawan yang datang berombongan.
Tapi ya dibalik menggiurkannya bisnis lobster, hewan crustacea ini tergolong makhluk musiman. Dengan kata lain, lobster tidak bisa ditangkap setiap saat.
Populasi lobster melimpah ruah hanya pada saat musim rendeng, yakni peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Pada masa-masa tersebut, nelayan bisa membawa pulang sekitar 5 kg lobster per hari. Seburuk-buruknya tangkapan ya minimal 2 kg lah.
Gondola awalnya dibangun sebagai alat transportasi nelayan menuju Pulau Timang. Seiring dengan meningkatnya daya tarik Pantai Timang, gondola pun berubah fungsi menjadi objek wisata.
Untuk bisa menyebrang naik gondola ke Pulau Timang wisatawan ditarik biaya Rp150.000 per orang. Wajar sih bila terkesan mahal. Itu karena gondola dioperasikan secara manual oleh 5 hingga 6 orang. Warga yang mengoperasikan gondola ini merupakan warga dari Dusun Danggolo dan Kedung Ombo.
Ada Kepentingan di Jalan Rusak
Semerbak pendapatan dari gondola Pantai Timang tak ayal mengundang sejumlah warga lain untuk mengais peruntungan. Tak hanya warga yang mendirikan warung-warung, melainkan juga warga yang menawarkan jasa ojek.
Eh, jasa ojek?
Iya, jasa ojek yang mengantarkan wisatawan melewati jalan rusak yang nggak “bokongawi” itu.
Masalah pun kemudian muncul.
Warga terbagi menjadi dua kelompok. Warga yang berprofesi sebagai tukang ojek nggak ingin jalan ke Pantai Timang dihaluskan. Sementara sebagian warga yang lain ingin jalan dihaluskan supaya memudahkan mobilitas wisatawan dan juga warga sendiri.
“Saya nggak mau kerja sama dengan orang bohong!”, tegas Pak Adi Sumarno dengan raut wajah serius
Bagi Pak Adi Sumarno, para tukang ojek tersebut adalah sekumpulan orang yang kerap membohongi wisatawan supaya menggunakan jasa ojek. Nggak jarang mereka mengatakan ke wisatawan bahwa jalan menuju Pantai Timang rusak, jauh, serta nggak ada tempat parkir.
Aku sendiri sempat mengalami hal yang serupa. Para tukang ojek itu membujuk untuk memarkir kendaraan di dekat pos ojek dan lanjut ke pantai naik ojek. Padahal, ongkos ojeknya pun nggak bisa dibilang murah. Sekitar Rp20.000 – Rp50.000 tergantung pintar-pintarnya menawar.
Karena tarif ojek yang dirasa mahal itu, banyak wisatawan yang kemudian memilih memarkirkan kendaraan di dekat pos ojek dan berjalan kaki ke Pantai Timang. Pak Adi Sumarno yang mendapati hal ini merasa kasihan. Beliau sering mengantarkan para wisatawan ini naik sepeda motor kembali ke parkiran kendaraan tanpa memungut biaya.
Dengan adanya resistensi dari para tukang ojek, sepertinya rencana penghalusan jalan ke Pantai Timang nggak bisa berjalan mulus. Kata Pak Adi Sumarno, rencananya tanggal 1 September 2016 proses penghalusan jalan bakal dimulai lagi.
Proses penghalusan jalan Pantai Timang ini juga tergolong unik. Titik awal penghalusan dimulai dari kawasan pantai untuk kemudian berlanjut ke kawasan desa. Alasannya sih supaya lebih mudah untuk mengetahui sampai sejauh mana proses pengerjaan penghalusan jalannya. Sumber biaya penghalusan jalan ini berasal dari PNPM Mandiri.
Terkait dengan para tukang ojek, aku sempat bertanya ke Pak Adi Sumarno. Apakah sempat ada dialog dari kedua belah pihak? Atau mungkin tindakan dari pemerintah daerah setempat?
Pak Adi Sumarno bilang kalau selama ini belum pernah ada pertemuan. Katanya, mereka pun diundang bertemu nggak bersedia datang. Padahal sudah ada tawaran kalau jalannya sudah dihaluskan mereka boleh membuka pos ojek di kawasan pantai.
Duh! Sulit untuk menyelesaikan masalah kalau nggak ada komunikasi saling memahami seperti ini....
Meninggalkan Rasa Kagum
Nggak terasa kami sudah mengobrol sekian jam lamanya. Itu juga sesekali dengan diselingi izin menemani Dimas melihat-lihat penyebrangan gondola. Awalnya Dimas berniat menyeberang tapi akhirnya malah nggak jadi.
Ketika Dimas berinisiatif untuk membayar teh manis panas yang disuguhkan kepada kami, dengan halus Pak Adi Sumarno menolak. Begitu pula dengan sang istri. Beliau bilang ini semata-mata untuk menjalin kekerabatan dengan kami. Istilah Jawanya nambah sedulur.
Kami pun pamit pulang diiringi oleh kekaguman Dimas bahwa di Yogyakarta masih ada orang baik yang nggak mau dibayar, hahaha . Yah, mungkin karena dia terlalu lama hidup ditempa kerasnya Ibu kota.
Tapi, aku sendiri masih merasa berhutang ke Pak Adi Sumarno. Sebagai orang yang berusaha menjadi pendengar yang baik, aku tuliskan apa yang kami obrolkan pada siang hari itu dan menerbitkannya di blog ini. Semoga saja bisa membawa manfaat dan perubahan yang baik bagi Pantai Timang beserta warganya.
Aaamiin....
Tahun ini, jalan ke Pantai Timang seperti apa ya wujudnya?
KATA KUNCI
- bohong
- danggolo
- dimas
- gondola
- gondola pantai timang
- gunungkidul
- harga lobster
- jalan penderitaan
- jalan rusak
- jalan rusak pantai gunungkidul
- jalan rusak pantai timang
- kedung ombo
- konflik
- lobster
- lobster pantai timang
- ojek
- pantai
- pantai gunungkidul
- pantai tepus
- pantai timang
- pulau timang
- purwodadi
- tarif gondola pantai timang
- tarif ojek pantai timang
- tepus
NIMBRUNG DI SINI
peralihan musim (baik kemarau ke penghujan atau sebaliknya) disebut pancaroba. Beda lagi
sama rendang, yang terakhir itu nama makanan dari padang
heuheuheu
gitu ada saja yang iri mas. Padahal toh
sudah ada rejekinya sendiri. Entah
buka warung, parkir, atopun ojek.
Kalo jalannya ga diperbaiki ya malah
pada males datang kan.
sekarang ada ojeknya :o
Pas ke sana entah tahun berapa, 2014 kali
ya... aku sampai sana ya belum seramai saat
ini. Terus malah ngobrol sama bapak-bapak
pencari lobster di gubug pinggir pantai.
Yahh begitulah seninya perjalanan mas,
dapet sedulur anyar.
Eh sendalmu nancep-nancep karang ga?
karangnya runcing-runcing e
Sendalku nggak nancep ke karang. Cuma pas itu ombaknya gede banget. Sekali kena kamera bakal horor.