Orang aneh.
Orang yang mencurigakan.
Orang yang mbuh.
Mungkin itulah yang terbesit di pikiran sebagian besar dari kita teruntuk seorang asing yang menyapa kemudian mengajak ngobrol panjang dikali lebar.
Orang-orang yang seperti itu adalah orang yang patut diwaspadai. Standar operasional prosedurnya adalah
- Jaga jarak;
- Batasi komunikasi;
- Tolak semua yang ditawarkan.
Ditambah lagi, kata “Maaf” dan “Nggak” adalah ucapan yang cukup efektif untuk menghindari kemungkinan yang tidak diinginkan.
Betul toh?
Akan tetapi, pada Rabu siang (3/8/2016) silam, kebetulan sekali seorang Wijna berada pada kondisi yang sangat senggang. Jadinya, sapaan orang asing di jalan setapak menuju Bukit Ratapan Angin di kawasan Telaga Warna ia ladeninya dengan senang hati.
Eh iya, yang disebut dengan Telaga Warna ya telaga besar di kawasan Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah itu. Telaga yang indah dan sarat nuansa mistis yang salah satunya karena dipakai sebagai tempat melarung rambut gimbalnya para anak bajang.
Sedangkan yang dimaksud dengan Bukit Ratapan Angin adalah salah satu bukit yang memagari kawasan Telaga Warna. Bukit ini terkenal karena di puncaknya tersaji pemandangan cantik Telaga Warna dari ketinggian.
Sebagaimana yang aku paparkan pada paragraf pembuka, ketika pertama kali berjumpa dengan Pak Kholidin, awalnya aku berpikir bahwa beliau adalah “orang aneh”. Saat itu aku sedang asyik berjalan kaki sambil memotret-motret. Tiba-tiba, beliau menyapa lalu mengajak ngobrol.
Aku nggak sendirian ke Telaga Warna. Dimas, kawanku semasa sekolah berjalan beberapa langkah di belakangku. Begitu dirinya mendapati aku mengobrol dengan Pak Kholidin, Dimas pun bertanya-tanya. Mungkin dirinya juga waspada dengan orang asing yang mendadak mengajak ngobrol.
Seperti yang sudah aku paparkan di atas, karena pada waktu itu aku merasa sangat senggang , jadi aku pun menyambut ajakan ngobrolnya Pak Kholidin. Aku bilang ke Dimas supaya dia duluan saja melanjutkan perjalanan tanpa aku. Dimas pun berlalu karena ingin melihat pemandangan Telaga Warna dari ketinggian.
Jika melirik keberadaan kotak kardus di dekat beliau, awalnya aku kira Pak Kholidin ini peminta-minta. Biasalah, di tempat wisata (apalagi tempat wisata terkenal) kan banyak peminta-mintanya.
Karena aku penasaran dengan sosok Pak Kholidin, aku pun berusaha “mengambil alih” topik obrolan. Tak lupa, aku todong beliau dengan rentetan pertanyaan 5W (tanpa 1H ) yang dulu aku pelajari di bangku sekolah. #pelajaran.sekolah.itu.berguna
Who alias Siapa?
Pak Kholidin. Usianya 53 tahun. Warga Desa Jogogan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.
What alias Apa?
Pak Kholidin berjaga di jalan setapak. Menyapa lalu mengajak ngobrol setiap pengunjung yang lewat.
Where alias Di mana?
Di jalan setapak yang menghubungkan kawasan Telaga Warna Dieng dan Bukit Ratapan Angin.
When alias Kapan?
Dari pukul 7 pagi sampai 5 sore, jika tidak bertugas sebagai tukang pijat.
Why alias Kenapa?
Pak Kholidin nggak ingin pengunjung kecewa jika nanti mendapati adanya pungutan tarif di Bukit Ratapan Angin. Jalur masuk Bukit Ratapan Angin itu kan berada di dalam kawasan Telaga Warna. Kebanyakan pengunjung mengira karena sudah membayar tiket masuk Telaga Warna, ya bebas pungutan ke Bukit Ratapan Angin. Padahal nggak.
Untuk masuk dan berfoto di Bukit Ratapan Angin dikenakan tarif Rp10.000 per orang. Sebabnya, tanah Bukit Ratapan Angin itu milik seorang warga. Pengelolaannya ya kewenangannya sang warga pemilik bukit tersebut.
Pak Kholidin memberitahukan, masih ada tempat lain yang juga menyajikan pemandangan Telaga Warna dari ketinggian. Pemandangan Telaga Warna dari tempat ini nggak kalah indah dari pemandangan dari Bukit Ratapan Angin. Terlebih lagi, tempat ini gratis untuk dinikmati.
Pak Kholidin juga bercerita bahwa jalan setapak yang dijaganya ini dahulunya kotor dan jorok. Banyak sampah-sampah yang dibuang sembarangan oleh pengunjung di sana-sini. #duh
Atas inisiatifnya sendiri, Pak Kholidin kemudian membersihkan jalan setapak ini sembari menunggu pengunjung yang lewat. Beliau juga menempatkan bangku-bangku bambu dan tempat sampah.
Yang lebih wow lagi, Pak Kholidin juga menanam tanaman hias di pinggir-pinggir jalan setapak menuju ke Bukit Ratapan Angin. Dana untuk kebersihan dan perawatan tanaman diperolehnya dari sumbangan sukarela yang diberikan pengunjung.
Kata Pak Kholidin, ruas jalan setapak menuju ke Bukit Ratapan Angin ini nggak dirawat oleh pihak pengelola Telaga Warna. Pihak pengelola pun nggak pernah mengapresiasi kerja Pak Kholidin.
Kalau aku duga sih, sepertinya jalan setapak ini ya termasuk lahan milik warga. Jadi, pihak pengelola Telaga Warna pun nggak serta-merta bisa turun tangan untuk merawatnya. Padahal, jalan setapak ini menghubungkan kawasan Telaga Warna dengan Bukit Ratapan Angin yang kini banyak disambangi pengunjung untuk berfoto ria.
Karena keasyikan mengorek informasi dari Pak Kholidin, aku baru sadar bahwa aku sudah “menelantarkan” Dimas yang... entah di mana posisinya sekarang . Aku pun pamit kepada beliau untuk bergegas menyusul Dimas.
Rupanya, Dimas sedang tidur-tiduran di bawah pohon di dekat tempat alternatif untuk melihat pemandangan Telaga Warna dari ketinggian. Dirinya sepertinya jengkel karena lumayan lama aku tinggalkan, hehehe.
Setelah Dimas bangun, dirinya meminta untuk difoto. Dari foto berlatar Telaga Warna hingga foto aksi dirinya berlari di jalan setapak yang dirawat Pak Kholidin.
Selesai foto-foto, aku tanya ke Dimas apakah dia mau ke puncak Bukit Ratapan Angin atau nggak. Aku juga bilang kalau nanti di sana harus bayar tarif masuk lagi Rp10.000 per orang.
Setelah menimbang-nimbang, Dimas memutuskan nggak ke Bukit Ratapan Angin karena mengejar waktu menuju ke lokasi wisata berikutnya. Jadi, kami pun memutuskan untuk pulang.
Di tengah perjalanan balik menyusuri jalan setapak, kami bersua lagi dengan Pak Kholidin. Sebelum pamit lagi, aku menaruh lembaran uang di dalam kotak kardus.
Entah karena itu atau hal lain ataukah memang kepribadiannya, Pak Kholidin kemudian mendoakan kami. Doanya banyak banget. Salah satunya adalah doa untuk segera menemukan jodoh. Mbuh kenapa, Dimas seperti mengaminkan sekali doanya Pak Kholidin, hehehe.
Karena hanya mendengar cerita dari sisi Pak Kholidin, aku kurang tahu apakah yang beliau ceritakan ini termasuk benar atau nggak. Tapi, yang jelas, aku berharap supaya pengelolaan objek wisata di kawasan Telaga Warna menjadi lebih baik lagi. Semoga juga nggak ada pihak yang merasa dirugikan dan wisatawan pun menjadi betah untuk berwisata di sini.
Jika Pembaca kebetulan singgah di Telaga Warna Dieng dan melewati jalan setapak menuju ke Bukit Ratapan Angin, siap-siap saja menjumpai Pak Kholidin di tengah jalan yang akan menyapa lalu mengajak ngobrol. Aminkan doa beliau untuk kemudahan mendapatkan jodoh, hihihi.
NIMBRUNG DI SINI
mas dimas e. Lah kok ending e aku tak kesitu apah biar dapat doa jodoh eh
ada orang asing yg ngajak ngobrol selalu
aku tanggepin, bsk lagi lebih hati2 ah
Intinya kita memang harus tetap waspada tapi tetap sopan.
menyapa saja ... Aduh dapet doa jodoh ya, wah semoga doanya mustajab dah hahahaha