Pantai Timang itu adalah pantai di Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta yang terkenal dengan aktivitas “uji nyali menyeberangi laut naik gondola” seperti pada foto di bawah ini.
Sedangkan jalan rusak Pantai Timang itu ya jalan menuju Pantai Timang yang menguji kesabaran sebagaimana yang pernah aku tuliskan pada artikel di bawah ini.
SILAKAN DIBACA
Dan setelah aku pikir-pikir lagi....
Apa mungkin hanya aku? Pengunjung Pantai Timang yang mengeluhkan bahwasanya ruas jalan menuju ke Pantai Timang itu nggak semulus aspal jalan raya ataupun jalan cor semen dua lajur yang umum dijumpai di kampung-kampung?
Apa mungkin karena kondisi jalan yang dilalui selama perjalanan dari Kota Jogja sampai ke dusun terakhir sebelum Pantai Timang itu mulus-rata-lancar sehingga bikin ngantuk? #eh
Apa mungkin Gusti Allah SWT ingin memberiku pencerahan dengan cara membuatku berjalan kaki meniti jalan rusak Pantai Timang?
Hmmm....
Buatku, jalan rusak menuju ke pantai semacam foto di atas itu bukan lagi barang baru. Pas dulu bersepeda ke Laut Bekah, aku pernah menghadapi kondisi jalan yang sama persis, yakni jalan tanah berbatu karang yang pasti membuat kendaraan roda dua terguncang-guncang.
Jadilah wajar bilamana pada saat bersepeda ke Laut Bekah itu sempat muncul keluhan batin,
“Haduh! Kenapa jalannya rusak begini!?”
“Haduh! Kenapa aku bersepeda ke pantai yang bentuk jalannya kayak begini!?”
“Haduh! Kok rumah masih jauh bangeeeeeet sih!?”
Karena aku sudah “berpengalaman” menapaki jalan rusak seperti di atas itu, jadi ya kali ini aku hadapi saja “sensasi” berjalan kaki di jalan rusak Pantai Timang dengan santai.
Hmmm....
Kalau dipikir-pikir, bukankah hidup itu seperti menapaki jalan rusak Pantai Timang?
Hidup itu kan nggak selamanya semulus jalan raya pantai selatan Gunungkidul kan?
Jadi mari, anggap saja jalan rusak Pantai Timang ini sebagai “selingan” yang bakal membuat setiap rakyat Indonesia senantiasa bersyukur atas jalan beraspal mulus yang digarap oleh kontraktor Dinas PU. #eh
Kalau boleh jujur, ketika kakiku merasakan karang demi karang yang menghiasi jalan rusak ini, sempat muncul sedikit rasa “iri” yang terungkap ke dalam kalimat berikut.
“Kayaknya enak juga kalau lewat jalan rusak ini pakai sepeda motor. Lebih cepat sampai dan juga nggak perlu berpanas-panasan.”
Akan tetapi, begitu aku berjumpa dengan Dimas yang menunggu kehadiranku di depan, rasa iri di dalam hati itu berangsur-angsur kehilangan maknanya.
“Wis, lu aja yang bawa motor bisa gak? Nggak enak banget motoran lewat sini,” keluh Dimas.
Oh, rupanya Dimas yang mengendarai sepeda motor matic turut merasakan hal yang kurang mengenakkan di jalan ini. Aku sendiri berjalan kaki ya karena untuk membantu Dimas supaya dirinya nggak kesulitan bermanuver mendaki jalan rusak yang menanjak saat meninggalkan Pantai Timang.
Ah, kalau dipikir-pikir lagi, bukankah hidup itu seperti menapaki jalan rusak Pantai Timang?
Hal yang orang lain miliki dan terlihat enak di mata kita, belum tentu enak di mata orang lain itu. Kalau katanya orang Jawa, “urip iki mung sawang sinawang”.
Ya, hidup ini hanya membandingkan hal “enak” yang orang lain miliki dengan hal “tidak enak” yang kita miliki.
Pada umumnya, setiap orang itu berkeinginan untuk membuat hidupnya menjadi lebih “enak” kan?
Kalau sudah begini, sabar dan syukur adalah kunci untuk menggapai kebahagiaan.
Bicara tentang bahagia, sebetulnya jalan rusak menuju Pantai Timang itu nggak “semenderitakan” jalan rusak menuju Laut Bekah kok.
Aku menorehkan rekor waktu sekitar 20 menit untuk berjalan kaki melintasi ruas jalan rusak menuju Pantai Timang. Menurutku, berjalan kaki selama 20 menit itu nggak terlalu memberatkan jika dilakukan dengan santai sambil menikmati sunyi syahdunya suasana hutan.
Akan tetapi, bagi orang-orang yang nggak terbiasa berjalan kaki (jauh ), berjalan kaki selama 20 menit itu bisa jadi bakal terasa melelahkan. Apalagi jika tawaran para tukang ojek yang setengah menakut-nakuti itu terdengar begitu menggoda.
“Jalan kaki jauh lho! Ada dua kilometer lebih! Sudah naik ojek saja! Dua puluh ribu saja!”
Bagi para wisatawan dari kota besar yang baru pertama kali ini menyambangi Pantai Timang, mungkin mengeluarkan uang dua puluh ribu rupiah untuk jasa ojek itu masih berada dalam jenis pengeluaran yang tidak seberapa.
Akan tetapi, bagi aku yang senantiasa memanfaatkan uang dua puluh ribu rupiah untuk empat kali makan, sungguh eman-eman mengeluarkan uang sejumlah itu hanya untuk jasa ojek!
Apalagi aku amat mensyukuri nikmat sehat kedua kaki yang dikaruniakan oleh Gusti Allah SWT sehingga aku membalas tawaran para tukang ojek itu dengan kalimat yang “sedikit” sombong.
“Wah, nggak Mas! Aku jalan kaki saja! Lha wong kemarin baru saja naik gunung kok!”
Beh! Rupanya para tukang ojek itu tetap gigih berusaha menawarkan jasa ojek dengan setengah menakut-nakuti. Alhasil, keluarlah kalimat pamungkas yang akhirnya bisa membuat mereka bungkam.
“Aku sudah terbiasa jalan kaki jauh Mas! Aku ini PEKOK!”
Tapi ya itulah hidup. Untuk hal sekecil apa pun kita harus gigih berusaha.
Tapi ya tetap harus dengan cara-cara yang baik, yang tidak membuat orang lain merasa resah.
Kalau dipikir-pikir lagi, segala ocehanku tentang hidup di atas itu muncul sebagai artikel blog karena jalan rusak ke Pantai Timang.
Waow! Subhanallah sekali ya jalan rusak saja bisa jadi inspirasi untuk menulis artikel blog? Hahaha.
Seandainya jalan rusak itu dibuat jadi mulus, pasti yang ada aku bakal terkantuk-kantuk hingga tiba di parkiran Pantai Timang. Jadinya nggak bakal ada itu artikel seperti ini, hehehe.
Eh, tapi aku tetap mendukung supaya jalan rusak itu diperbaiki jadi bagus.
NIMBRUNG DI SINI
Dan cepat apdet juga. Muantep!