Maw Mblusuk?

HALO PEMBACA!

Selamat nyasar di blog Maw Mblusuk? !

Di blog ini Pembaca bisa menemukan lokasi-lokasi unik seputar aktivitas blusukan-ku ke sana-sini. Eh, kalau ada kritik, saran, atau pesan bilang-bilang aku yah! Nuwun!

Cari Artikel

LANGGANAN YUK!

Dengan berlangganan, Anda akan senantiasa mendapatkan update artikel terbaru blog ini.


Bisa berlangganan melalui e-mail.

oleh FeedBurner

Atau melalui RSS Feed berikut.
feeds.feedburner.com/mblusuk
Senin, 15 Januari 2018, 07:00 WIB

Pada hari Sabtu (22/4/2017) silam aku bersepeda ke Tebing Breksi di Prambanan, Sleman bareng Mbah Gundul dalam rangka menjajal "tanjakan baru" yang cabang jalannya berawal dari dekat Candi Banyunibo. Dibanding jalur "tanjakan biasa" ke Tebing Breksi yang searah ke Candi Ijo, ruas "tanjakan baru" ini boleh dibilang "agak" manusiawi.

 

 

Sekitar pukul setengah sebelas siang akhirnya kami sampai di kawasan Tebing Breksi. Seperti biasa, setelah berleha-leha melemaskan dengkul barang sejenak kami pun berfoto-foto bareng.

 

Selesai berfoto ria Mbah Gundul mendadak beranjak pergi menghampiri seorang bapak di salah satu sisi tebing. Dari awal tiba di kawasan belakang Tebing Breksi, aku perhatikan hanya bapak itulah satu-satunya orang yang sedang menambang batu.

 

Kami pun berkenalan dengan si bapak. Beliau akrab disapa Pak Gatot. Usianya 63 tahun. Rumahnya bertempat di Desa Bokoharjo. Nggak begitu jauhlah dari Tebing Breksi.

 

silaturahim mengenal hidup penambang batu breksi di Prambanan Sleman Yogyakarta pada April 2017

 

Pak Gatot bercerita bahwa beliau merupakan segelintir dari penambang batu breksi yang masih tersisa. Sekarang ini anak-anak muda sudah nggak lagi tertarik menambang batu. Maklum, aliran uang sektor pariwisata Tebing Breksi lebih menggiurkan daripada hasil menambang batu. Misalnya saja pendapatan parkir. Dalam sehari pendapatan parkir pengunjung Tebing Breksi bisa mencapai Rp5 juta. Bahkan saat sedang ramai-ramainya pernah mencapai Rp70 juta!

 

WAOW!

 

Sedangkan hasil dari usaha tambang batu?

 

“Batu yang kecil panjang itu harganya Rp15.000 Mas. Mau pembelinya warga sendiri atau dari luar ya harganya tetap sama. Kalau batu yang ukurannya besar harganya Rp75.000,” jelas Pak Gatot.

 

Pak Gatot menambang batu breksi dengan metode tradisional yakni menggunakan pahat dan palu. Tapi, ada juga kawan sesama penambang batu yang sudah beralih menggunakan gergaji mesin. Meskipun nggak dibantu dengan mesin aku amati bahwa batuan breksi ini lumayan lunak sehingga mudah dipecah menggunakan pahat dan palu.

 

alat tradisional palu pahat penambang batu tebing breksi di Prambanan Sleman Yogyakarta pada April 2017

harga jual batu alam putih panjang dari tambang tebing breksi Prambanan Sleman Yogyakarta pada April 2017

 

Saat menyinggung tentang popularitas Tebing Breksi, Pak Gatot mengeluhkan sikap anak-anak muda penjaga parkir yang acap kali bersikap kurang sopan terhadap para penambang batu. Mereka cenderung cuek. Nggak membalas ketika disapa. Padahal, popularitas Tebing Breksi kan dipioniri oleh para penambang batu.

 

Kata Pak Gatot, pada masa awal Tebing Breksi dialih rupa menjadi objek wisata, para penambang batu dijanjikan alternatif usaha baru berupa jatah warung atau sapi (untuk dikembangbiakkan). Para penambang yang memilih jatah warung sudah mendapatkan bagiannya. Sayangnya, para penambang yang memilih sapi sampai sekarang belum mendapatkannya.

 

Pak Gatot sendiri nggak mendapatkan jatah warung dan juga sapi. Meski begitu, istrinya membantu-bantu di warung milik adik Pak Gatot.

 

wawancara kisah hidup penambang batu tebing breksi Prambanan Sleman Yogyakarta pada April 2017

 

Perbincangan kami pun semakin ngalor-ngidul-ngetan-ngulon hingga membahas kehidupan pribadi Pak Gatot. Ternyata, Pak Gatot ini semasa mudanya sudah berkelana hingga ke seantero penjuru nusantara. Hampir semua provinsi pernah beliau singgahi. Tapi, sejauh-jauhnya beliau merantau, akhirnya beliau pulang menetap di tanah kelahirannya dan menjadi penambang batu breksi.

 

Cerita Pak Gatot yang menarik adalah tatkala beliau terkena serangan stroke. Sekujur tubuh bagian kirinya lumpuh total. Alhasil beliau hanya bisa terbaring di tempat tidur.

 

“Waktu itu saya mikir, wah sebentar lagi bakal mati ini. Jadi, saya menyuruh istri untuk menyediakan bunga dan parfum. Tapi ternyata, setelah berhari-hari kok ya saya belum mati juga? Terus saya mikir. Hewan kan nggak pernah kena stroke. Jadi, selama stroke itu saya bersikap seperti hewan. Makan rumput-rumputan seperti sapi. Kalau pas malam tidur sambil berendam di air seperti ikan. Setelah itu lama-lama tangan saya bisa digerakkan. Wah, ini tandanya saya masih boleh hidup,” ceritanya.

 

profil penambang batu tebing breksi di Prambanan Sleman Yogyakarta pada April 2017

 

Sepulangnya kami berpamitan dengan Pak Gatot, Mbah Gundul pun memberi petuah.

 

“Pokoke, nek keno stroke, ben mari mesti koyo kewan.” [1]

 

“Woh, sip Mbah! Mung, kowe sik sing praktek!” [2] jawabku sambil terkekeh.

 

[1] Pokoknya, kalau kena stroke supaya sembuh harus seperti hewan.

[2] Woh, sip Mbah! Tapi dirimu dulu yang praktik.


NIMBRUNG DI SINI

UPS! Anda harus mengaktifkan Javascript untuk bisa mengirim komentar!
  • ANONIM
    avatar komentator ke-0
    ANONIM #Selasa, 16 Jan 2018, 15:37 WIB
    Wow parkir sehari dapet 70juta? Gilak
    Makanya banyak yang nggak mau jadi penambang batu. :)
  • BERBAGIFUN
    avatar komentator ke-1
    BERBAGIFUN #Selasa, 16 Jan 2018, 06:48 WIB
    hoah, ternyata obat stroke se simpel ituuuu
    sesimpel hidup seperti sapi. :D