Ada yang menarik di halaman 7 harian Kompas yang terbit Rabu, 5 Maret 2014. Seorang pembaca “mengeluh” di kolom Surat Kepada Redaksi yang kutipannya sebagai berikut.
Kliping
Pada 29 Desember 2013 saya melakukan perjalanan Solo-Purwokerto dengan transit di Yogyakarta. Saat melewati jalan utama Solo-Klaten-Yogyakarta, lalu lintas padat dan diperparah dengan banyak perempatan dengan lampu pengatur lalu lintas.
Yang mengherankan saya adalah bahwa lampu merah di jalan utama bisa sampai 100 detik, sementara lampu hijau sangat sebentar, sekitar 15 detik. Akibatnya, arus lalu lintas jadi padat karena menumpuk kendaraan di setiap lampu pengatur lalu lintas.
Sementara itu, di setiap perempatan besar tersua jalan kecil penghubung ke tiap kecamatan yang rutenya harus melewati/memotong jalan utama. Mesti tak banyak kendaraan yang lewat di jalan kecil itu, lampu menyala merah di jalan utama itu seperti dirancang supaya lebih lama. Ini aneh dan patut dipertanyakan.
Tidak mengherankan jika sekarang waktu tempuh Yogyakarta-Solo bisa dua jam, bahkan lebih, karena hal itu. Mohon perhatian.
Sumber: Kompas Cetak, 5 Maret 2014
Nah, Pembaca apa ada yang pernah mengalami hal di atas? Apa Pembaca juga merasa waktu tempuh Yogyakarta – Solo terasa lama? Hehehe.
Ya nggak selama ini juga kali...
Aku geli membaca surat di atas. Lagi-lagi, ada yang mempermasalahkan Jalan Solo, hehehe . Dari pandanganku, sang penulis surat merasa terganggu dengan kombinasi padatnya lalu lintas, banyaknya lampu pengatur lalu lintas, plus nyala lampu hijau yang hanya sebentar.
Saat melewati jalan utama Solo – Klaten – Yogyakarta, lalu lintas padat dan diperparah dengan banyak perempatan dengan lampu pengatur lalu lintas.
Apa pun yang mendasari keluhan sang penulis surat itu, aku ingin menjelaskan perihal kondisi jalan Yogyakarta – Solo. Untuk Pembaca yang belum tahu wujud dari jalan Yogyakarta – Solo, seperti inilah kira-kira wujudnya.
Lumayan lebar, cukup buat 3 bus pariwisata lewat bareng.
Pertama, yang harus diingat adalah jalan Yogyakarta – Solo (yang lebih populer disebut Jalan Solo) itu bukan jalan bebas hambatan alias jalan tol. Jalan Solo itu jalan propinsi yang fungsi sekundernya adalah sebagai urat nadi perekonomian kota-kota di sepanjang Yogyakarta – Solo.
Sementara itu, di setiap perempatan besar tersua jalan kecil penghubung ke tiap kecamatan yang rutenya harus melewati/memotong jalan utama.
Oleh karena itu wajar jika banyak ruas-ruas jalan kecil penghubung desa dan kecamatan yang lantas menyatu dengan jalan utama. Ini ibarat aliran sungai kecil yang menyatu jadi sungai besar. Adalah wajar juga jika kemudian banyak persimpangan yang dijaga oleh lampu pengatur lalu lintas.
Kepadatan di jam-jam sibuk dan ditambah banyak persimpangan serta lampu lalu lintas.
Kedua, durasi lampu pengatur lalu lintas menyala hijau dan merah (juga kuning) itu bisa dihitung secara matematis. Untuk pembaca yang belum tahu, lampu pengatur lalu lintas itu berubah warna sesuai urutan berikut: hijau – kuning – merah – hijau – dst.
Umumnya durasi lampu menyala kuning itu 2 detik. Nah, anggaplah di suatu perempatan masing-masing sisinya memiliki durasi nyala lampu hijau yang sama, misalkan 15 detik. Maka, durasi lampu menyala merah di suatu sisi dapat dihitung sebagai berikut.
(15 + 15 + 15 + 2 + 2 + 2) = 51 detik.
Yang mengherankan saya adalah bahwa lampu merah di jalan utama bisa sampai 100 detik, sementara lampu hijau sangat sebentar, sekitar 15 detik.
Dari apa yang dialami sang penulis surat, bisa jadi durasi lampu menyala hijau di setiap sisi persimpangan tidak sama. Yaitu, ada sisi yang diprioritaskan menyala hijau lebih lama. Hal ini bergantung pada jam-jam sibuk yang sudah diatur di tiap lampu pengatur lalu lintas.
Kalau ada penyebrang jalan ya pasti kendaraan juga berhenti dulu barang sejenak kan?
Selain itu yang perlu dipahami adalah Jalan Solo akan selalu menjadi jalan yang sibuk, baik itu pagi, siang, maupun malam. Jadi, jangan bayangkan Yogyakarta – Solo sejauh 60 km itu dapat ditempuh dalam waktu 1 jam dengan kecepatan konstan 60 km/jam. Kecuali jika pembaca pernah menimba ilmu di perguruan Sumber Kencono atau Sumber Slamet.
Jadi, selama Jalan Solo bukan berupa jalan tol, hindari melintas di Jalan Solo pada jam-jam sibuk jika tak ingin lama terjebak dalam kepadatan lalu lintas. Benar begitu kan Pembaca?
Eh, Pembaca apa kepingin Jalan Solo jadi jalan tol? Kalau aku sih tidak setuju, walau waktu tempuhnya bisa jadi lebih singkat.
NIMBRUNG DI SINI
bagi ku masih asik2 n normal aja lampu merahnya.
jauh lebih ngeselin lampu merah kusumanegara
Terus terang saya bngakak/b waktu baca kalimat itu dan lihat gambarnya, :)
beberapa lampu merah ada yg sampai 210 detik merah nya dan 30 detik hijau :-(
komen buat Wijna, saya setuju...ndak ada jalan tol jogja-solo, lahan utk jalan tol msh bisa dipakai utk sawah dan pemukiman...
Bayangin aja di Jakarta itu ada yang lampu merahnya sampai 200 detik lho. Namanya
juga berbagi dengan pengguna jalan lain, kalau enggak mau ya bikin tol sendiri. Hehehe.
Ngomongin soal tol Jogja-Solo katanya ada rencana membangun, tapi bukan
menggunakan jalan Solo yang sekarang ini.. Kayaknya masih lama banget sih.
keraton solo
lewat kendaraannya gede2
banyak yang ngeluh sama lampu merah, tapi lampu merah bisa jadi rejeki kok buat
sebagian orang
Sori rodo nylenthank, sembari rodo \"ngongkon\"... :)
banyak banget yg lama durasi lampu merahnya bahkan lampu ijonya cuman 15 detik doang
:(
cuma ada beberapa jalan memang yang kalau pagi dan sore itu sangat sibu jadi durasi
waktu hijau lebih lama tapi kalo pas siang pas sepi kok durasinya sama bahkan jalan
yang pagi dan sore itu padet siang sepi durasi hijaunya tetep lebih panjang... jd seakan
akan mubadzir.... tapi tidak apalah karena mesin ya settingannya seperti itu.....
Kapan-kapan ingin berkunjung kesana ah.