Maw Mblusuk?

HALO PEMBACA!

Selamat nyasar di blog Maw Mblusuk? !

Di blog ini Pembaca bisa menemukan lokasi-lokasi unik seputar aktivitas blusukan-ku ke sana-sini. Eh, kalau ada kritik, saran, atau pesan bilang-bilang aku yah! Nuwun!

Cari Artikel

LANGGANAN YUK!

Dengan berlangganan, Anda akan senantiasa mendapatkan update artikel terbaru blog ini.


Bisa berlangganan melalui e-mail.

oleh FeedBurner

Atau melalui RSS Feed berikut.
feeds.feedburner.com/mblusuk
Sabtu, 26 Mei 2012, 04:45 WIB

Gerimis yang kian lama kian deras membuatku urung untuk berlama-lama mengagumi keindahan Air Terjun Moramo yang ada di Taman Nasional Tanjung Peropa, Sulawesi Tenggara. Bergegas aku simpan kembali DSLR ke dalam tas, melipat tripod, dan menutupinya dengan jas hujan yang aku kenakan. Dengan langkah yang dipercepat, aku berusaha menyusul Bapak, Ibu, dan Tiwul yang sekitar setengah jam yang lalu memutuskan kembali ke lokasi parkir mobil.

 

Jangan sampai deh nyasar di tengah hutan, di luar Jawa lagi, duh ... >.<

 

Di bawah rintik hujan yang tidak kunjung mereda, Alhamdulillah aku sampai dengan selamat di gerbang masuk dengan dengan lokasi parkir mobil. Basah-basah dan dingin-dingin begini sepertinya nikmat menyantap yang hangat-hangat. Semacam mie rebus atau mungkin teh panas yang manis dan kental.

 

Sepertinya Bapak, Ibu, dan Tiwul yang tiba lebih dulu juga punya pemikiran serupa. Mungkin ini yang disebut dengan ikatan batin keluarga ya? Hahaha . Aku perhatikan mereka sedang berkumpul di suatu warung kecil di dekat gerbang masuk.

 

"Le, le, sini le", undang Ibu sambil melongokkan kepalanya dari balik pintu

 

Aku merasa sedikit bingung ketika berada di dalam warung. Bukan karena melihat mangkuk-mangkuk mie instan rebus yang nyaris habis disantap anggota keluargaku. Melainkan karena Bapak dan Ibu yang sedang bercakap-cakap dengan pemilik warung dengan bahasa Jawa.

 

Eh, ini betul kan di pelosok Sulawesi Tenggara dan bukan di pelosok Jawa?

 


 

Ya, ini memang benar masih di pelosok Sulawesi Tenggara. Masih di area Taman Nasional Tanjung Peropa. Masih di desa kecil nan terpencil bernama Desa Sumber Sari yang letaknya di Kecamatan Moramo, Kabupaten Konawe Selatan.

 

Wajar kan kalau kemudian terbesit pikiran, “Kok bisa ada orang Jawa nyasar di tempat terpencil seperti ini?”

 

 

Pak Jumali dari Boyolali transmigran Konawe Selatan, Moramo, Sulawesi Tenggara

 

Pria paruh baya yang kami jumpai di warung itu akrab disapa Pak Jumali. Asal beliau dari Boyolali, Jawa Tengah. Usianya aku taksir sekitar 60-an. Di tahun 1980-an beliau ikut program transmigrasi ke Sulawesi Tenggara. Sehari-harinya beliau adalah petani. Adalah putrinya yang mengelola warung kecil di Taman Nasional Tanjung Peropa ini. Suaminya juga seorang anak keturunan perantau Jawa pula.

 

Pak Jumali sendiri sudah tak pernah menginjakkan kaki kembali ke Boyolali. Alasannya klasik, tak ada biaya. Ironi bagi program transmigrasi yang konon katanya untuk mensejahterakan masyarakat di tanah rantau.

 

Pak Jumali dari Boyolali transmigran Konawe Selatan, Moramo, Sulawesi Tenggara

 

Nggih, ngeten niki

(artinya: Ya, seperti ini)

 

Itu jawaban dari Pak Jumali ketika kami menyinggung kehidupan kesehariannya. Jalan yang rusak. Listrik yang sering padam. Sinyal telepon seluler yang hilang. Bahkan, gonjang-ganjing politik yang tengah terjadi di tanah Jawa tidak terdengar hingga ke sini. Benar-benar kondisi yang nyaris terisolir dari peradaban.

 

Suasana di pemukiman transmigran di Konawe Selatan, Moramo, Sulawesi Tenggara

 

Desa Sumber Sari agaknya pilihan yang sesuai bagi orang-orang yang ingin lepas dari geliat peradaban. Adapun Desa Sumber Sari sendiri adalah desa para transmigran. Selain transmigran dari Jawa, ada juga transmigran yang berasal dari Bali. Di sepanjang perjalanan kerap dijumpai rumah-rumah berarsitektur bali dan juga pura.

 

Menyaksikan kehidupan transmigran seperti Pak Jumali ini membuatku teringat akan beberapa kawan yang tengah mengadu nasib ke luar Jawa demi memburu kesejahteraan. Ah, semoga nasib mereka tak seperti Pak Jumali dari Boyolali ini.

 

Pembaca berkenan ikut program transmigrasi?


NIMBRUNG DI SINI

UPS! Anda harus mengaktifkan Javascript untuk bisa mengirim komentar!
  • ANISA
    avatar komentator ke-0
    ANISA #Senin, 21 Des 2015, 15:39 WIB
    Gak pingin transmigrasi deh. Kaya e cukup di Malang aja. :)
    Iya, di Malang dingin plus banyak makanannya. :D
  • ANJAR SUNDARI
    avatar komentator ke-1
    ANJAR SUNDARI #Senin, 21 Des 2015, 14:54 WIB
    Apakah Pak Jumali ini termasuk transmigran yang gagal ya Mas? Karena saya pernah dengar banyak juga transmigran yang berhasil dan hidupnya sejahtera... :)
    Hmmm, nggak tahu sih kalau gagal, tapi mungkin nasib beliau kurang seberuntung transmigran yang lain. :D
  • SIGIT
    avatar komentator ke-2
    SIGIT #Rabu, 2 Jan 2013, 17:54 WIB
    Maaf sebelumnya, bukan kasih koment malah numpang nanya. Saya dulu punya tetangga
    yang ikut program transmigrasi dr antara tahun 1980 sd 1985. Sdh lama kehilangan kontak.
    Tetangga saya itu punya anak yg berita terakhir kerja di jepang sampai sekarang. Kiranya
    ada yang tau / pernah kenal saya akan sangat senang jika di bagi info alamatnya di
    konawe. Terima kasih
    wah, buat warga Konawe yang kebetulan membaca artikel ini apa ada yang bisa membantu Mas Sigit?
  • HEKSA B. YOPSIE
    avatar komentator ke-3
    HEKSA B. YOPSIE #Kamis, 20 Sep 2012, 08:33 WIB
    Cerita Pak Sunarso, seorang transmigran asal Banjarnegara di Konawe Selatan: beliau
    masih punya 1 ha tanah hutan dengan tanaman besar2 jatah dari pemerintah yang
    hingga kini belum tersentuh. Keterbatasan sarana untuk mengolah lahan menjadi salah
    satu kendala. Kekuatan fisiknya hanya mampu mengolah setengah dari jatah tanah yang
    diberikan. Sekarang beliau sudah lumayan sepuh untuk bisa menyelesaikan buka lahan,
    sejak tahun 1980, ckckck...
    apa karena transmigran itu selalu dipasrahkan menjadi pionir untuk \"membuka lahan\" ya? Jadinya ditempatkan di lokasi yang terpencil, sehingga susah untuk mendapatkan fasilitas yang memadai.
  • VICKY LAURENTINA
    avatar komentator ke-4
    VICKY LAURENTINA #Sabtu, 26 Mei 2012, 08:33 WIB
    Semulanya, transmigrasi memng ditujukan untuk mensejahterakan keluarga perantau.
    Untuk itu, sebelum berangkat, mereka dibekali keterampilan untuk bertani, membuka
    lahan, dan mengolah lahan supaya mereka bisa menyulap lahan di tempat tujuan
    menjadi lahan yang berguna.

    Pada kenyataannya, rencana tinggal rencana. Transmigran yang berangkat tidak
    mendapat perbekalan skill yang memadai, dan ternyata sulit untuk mempraktekkan
    keterampilan yang ada di tempat tujuan supaya bisa bertahan hidup. Penyebabnya
    macam-macam, mulai dari tidak ada pembinaan di lapangan, sampai ketiadaan fasilitas
    krusial seperti sekolah, rumah sakit, dan lain-lain.

    Nampaknya itu yang terjadi pada keluarga asal Boyolali di posting ini.
    iya mbak, saya juga menduga demikian. Situasi dan kondisi di lapangan kadang nggak nyambung dengan kemampuan para transmigran.