Nggak bisa dipungkiri, Yogyakarta adalah tempat yang nyaman untuk hidup. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan upah untuk membiayai hidup, sepertinya kenyamanan hidup di Yogyakarta bakal diragukan.
Ya, sudah bukan rahasia lagi bahwa jika membicarakan
- gaji di Yogyakarta,
- Upah Minimum Regional (UMR) Yogyakarta,
- Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Yogyakarta, atau
- Upah Minimum Provinsi (UMP) Yogyakarta,
maka harus siap menerima kenyataan bahwa gaji atau upah minimum di Yogyakarta itu kecil. Faktanya, gaji atau upah minimum di Yogyakarta itu paling rendah di seluruh Indonesia.
Waow....
Tempat hidup yang nyaman, tapi dengan besaran gaji atau upah yang kecil?
Bagaimana mungkin bisa hidup dengan cara seperti itu?
Biaya hidup kan terus naik setiap tahun?
Infografis upah minimum di Indonesia. Diperbarui tahun 2019.
Sumber dari CNN Indonesia.
Ya mbuh bagaimana caranya, pada akhirnya warga Yogyakarta bisa-bisa saja hidup.
Dengan besaran upah yang kecil, umumnya hidup warga Yogyakarta nggak tergolong mengenaskan. Walaupun ya... tetap saja ada warga yang kurang sejahtera.
Banyak warga Yogyakarta yang memiliki kendaraan bermotor. Di jalan raya, mobil-mobil terbaru wira-wiri dengan plat AB. Sepeda motor pun jangan ditanya lagi.
Banyak juga warga Yogyakarta yang punya rumah. Walau rumahnya kecil, tapi dindingnya dari batu bata dan lantainya dikeramik. Rumah gedhek berlantai tanah sudah jadi barang langka.
Kampung Code di Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta.
Salah satu kampung yang membebaskan diri dari kesan kumuh.
Tapi, di balik kehidupan di Yogyakarta yang seperti itu, besaran gaji dan upah yang kecil seringkali tetap menjadi pertanyaan.
Kenapa upah minimum di Yogyakarta itu kecil?
Mungkin lima alasan di bawah ini bisa membantu menjawabnya.
#1. Mata Pencaharian Masyarakat Yogyakarta
Jika menyebut Yogyakarta, maka artinya mengacu kepada Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari 1 kota dan 4 kabupaten, yaitu:
- Kota Yogyakarta.
- Kabupaten Sleman.
- Kabupaten Bantul.
- Kabupaten Kulon Progo.
- Kabupaten Gunungkidul.
Seringkali ketika menyebut Yogyakarta, pikiran lantas mengacu ke kota di mana Tugu Pal Putih dan Jalan Malioboro berada. Padahal, Yogyakarta itu luas.
Dari Minggir (Sleman) hingga Gedangsari (Gunungkidul).
Dari Samigaluh (Kulon Progo) hingga Dlingo (Bantul).
Mungkin banyak juga dari kita yang belum pernah menjejak ke tempat-tempat di mana Yogyakarta berbatas dengan Jawa Tengah.
Pemandangan yang lazim dijumpai di pedesaan Yogyakarta.
Umumnya masyarakat Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan Gunungkidul hidup di pedesaan. Umumnya pula mata pencaharian mereka adalah petani. Alhasil, hamparan sawah adalah pemandangan yang lumrah di empat kabupaten tersebut.
Dengan mata pencaharian yang seperti itu, jelas pendapatan mereka lebih kecil jika dibandingkan dengan mereka yang hidup di kota besar seperti Jakarta. Inilah salah satu penyebab kecilnya gaji atau upah di Yogyakarta.
#2. Perekonomian di Yogyakarta
Hal-hal yang identik Yogyakarta adalah:
- Pendidikan.
- Wisata.
- Budaya.
Jalan Malioboro selalu ramai setiap musim libur.
Kegiatan perekonomian di tempat ini banyak ditopang oleh usaha kecil menengah.
Yogyakarta tidak identik dengan perdagangan dan industri. Industri di Yogyakarta umumnya berskala kecil hingga menengah. Demikian juga dengan perdagangannya. Jangan harap bisa menemukan deretan pabrik-pabrik besar di Yogyakarta.
Alhasil, perputaran uang di Yogyakarta pun tidak sekencang di kota-kota yang industri dan perdagangannya berada di level nasional dan internasional. Inilah salah satu penyebab kecilnya gaji atau upah di Yogyakarta.
#3. Yogyakarta Kotanya Pelajar
Yogyakarta (atau lebih tepatnya Kota Yogyakarta, walaupun sebetulnya lebih tepat lagi sebagai Kabupaten Sleman ) kental dikenal sebagai kota pelajar. Setiap tahunnya, perguruan tinggi di Yogyakarta senantiasa kebanjiran mahasiswa baru.
Mahasiswa adalah salah satu penggerak ekonomi Yogyakarta. Di sekitar wilayah kampus, banyak warga Yogyakarta yang membuka usaha pemenuhan kebutuhan hidup mahasiswa, misalnya
- Warung makan,
- Jasa cuci pakaian,
- Kios pulsa,
- Kios fotokopi, dan yang utama
- Pengelola rumah kos.
Walaupun memiliki jumlah konsumen yang melimpah, usaha-usaha tersebut tidak serta merta dapat menggerakkan ekonomi dengan kencang. Umumnya, hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan ekonomi mahasiswa.
Pemandangan pusat internet mahasiswa di kampus UGM pada tahun 2007.
Akses internet merupakan kebutuhan wajib bagi para mahasiswa.
Umumnya, mahasiswa memperoleh uang dari orangtua mereka. Jumlah uang yang diperoleh mahasiswa ini umumnya lebih kecil dari upah yang diterima pekerja di kota besar.
Umumnya pula, mahasiswa Yogyakarta itu fokus pada pendidikannya. Jarang dijumpai ada mahasiswa yang menempuh pendidikan sambil bekerja. Dengan demikian, umumnya pendapatan mahasiswa benar-benar bergantung dari uang yang diberikan oleh orangtua mereka.
Bagi mahasiswa yang memiliki pekerjaan sampingan, umumnya mereka memilih menjadi pengajar privat bagi anak-anak sekolah. Pekerjaan ini bisa dilakukan pada sore hari ketika kegiatan perkuliahan telah selesai.
Akan tetapi, pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan tersebut tidak dapat menandingi upah yang diterima pekerja di kota besar. Hal ini yang turut mempengaruhi tingkat konsumsi mahasiswa di Yogyakarta.
#4. Karakteristik Masyarakat Yogyakarta
Masyarakat Yogyakarta dikenal sebagai pribadi yang sederhana. Oleh sebab itu, masyarakat Yogyakarta umumnya lebih memfavoritkan berbelanja di tempat-tempat yang “sederhana”.
Gerai-gerai ritel skala nasional seperti Matahari dan Ramayana banyak terdapat di Yogyakarta. Keramaiannya ketika mendekati hari raya janganlah dipertanyakan lagi.
Dekat dengan kampus UGM, setiap hari Mirota Kampus tak pernah sepi.
Mayoritas pelanggannya adalah mahasiswa.
Akan tetapi, umumnya masyarakat Yogyakarta lebih memilih tempat berbelanja yang menawarkan harga yang lebih miring. Bagi kaum muda, Sakola dan Jolie menjadi pilihan. Bagi mereka yang tinggal dekat Kota Bantul, Pantes menjadi pilihan. Jangan lupakan Toserba WS dan Pamella yang tak kalah populer dari Superindo.
Bidang usaha makanan pun demikian. Untuk jenis-jenis makanan populer, masyarakat Yogyakarta memiliki alternatif santapan yang lebih ramah dompet. Jogja Chicken, Popeye, dan Olive adalah segelintir contoh santapan cepat saji murah alternatif KFC.
Karakteristik masyarakat yang seperti inilah yang membuat Yogyakarta minim bioskop dan mall. Kondisi ini berlangsung hingga tahun 2006, ketika Ambarukmo Plaza dan Saphir Square belum berdiri.
Saat ini, Yogyakarta kian dipenuhi berbagai pusat hiburan dan belanja. Mungkin, hal tersebut dipengaruhi oleh budaya para pendatang, khususnya mahasiswa yang notabene adalah generasi muda.
#5. Jiwa Sosial Masyarakat Yogyakarta
Masyarakat Yogyakarta kental dengan sifat kekeluargaannya yang tinggi. Tolong-menolong antar sesama anggota keluarga besar maupun dengan orang-orang terdekat seperti tetangga adalah sesuatu yang umum dijumpai.
Dengan sifat masyarakat yang seperti itu, sangat sulit dijumpai orang yang hidupnya sangat kesusahan. Mereka yang hidupnya susah kerap mendapatkan bantuan dari orang-orang terdekat. Malah, biasanya orang yang hidupnya susah adalah mereka yang tidak mau berbaur dengan lingkungannya.
Tradisi rewangan dilangsungkan setiap kali ada rumah yang menggelar hajat.
Ibu-ibu ini bisa rewangan seharian penuh selama lebih-kurang satu minggu.
Oleh sebab itulah, masyarakat Yogyakarta umumnya tidak berambisi memperoleh pendapatan setinggi mungkin. Jiwa sosial mereka menuntun untuk senantiasa berbagi terhadap orang yang membutuhkan. Apalagi ditambah dengan tradisi sosial semacam rewangan.
Berganti Posisi di Urutan
Jika semua hal bisa diurutkan sesuai nilai tertentu, tentunya akan ada yang menempati posisi teratas dan juga terbawah. Sesuai infografis di atas, dalam urutan besaran upah, Yogyakarta menempati posisi terbawah. Akan tetapi, ada nilai-nilai lain yang menempatkan Yogyakarta pada posisi teratas, kenyamanan hidup misalnya.
Jika ingin besaran upah di Indonesia menjadi seragam, mungkin Indonesia harus menganut sistem ekonomi sosialis. Akan tetapi, hal tersebut jelas tidak mungkin diwujudkan mengingat sistem ekonomi Indonesia kian condong kepada kapitalis.
Oleh sebab itu, jika ingin upah minimum Yogyakarta meningkat, maka Yogyakarta harus berubah, menjadi mirip dengan kota besar seperti Jakarta. Akan tetapi, jika itu terjadi maka Yogyakarta akan kehilangan ciri khasnya. Mungkin generasi saat ini tidak rela jika Yogyakarta kehilangan ciri khasnya, tapi entah dengan generasi-generasi yang akan datang.
Ketika generasi tua berangsur-angsur sirna.
Seperti apakah Yogyakarta kelak di bawah generasi muda?
Perkara merawat Yogyakarta, mungkin salah satunya adalah menjaga hidup tetap sederhana dengan kebersahajaan.
NIMBRUNG DI SINI