Aku ingin menulis tentang topik yang tak pernah kutulis sebelumnya. Tentang agamaku, Islam, di yang kujumpai di lingkungan sekitarku.
Beberapa bulan yang lalu, aku diberi beberapa buku terbitan CRCS oleh Mbak Jim. Salah satu buku itu berjudul Politik Ruang Publik Sekolah, salah satu serial monograf praktik pluralisme. Tebalnya 95 halaman. Katanya sih tersedia di toko-toko buku. Tapi bisa juga dipesan ke CRCS. Eh, CRCS juga menyediakan versi e-book yang bisa pembaca simak di link ini.
Singkat cerita, buku itu mengisahkan dinamika penerapan ajaran Islam di tiga SMA Negeri di Yogyakarta. Ada SMA yang benar-benar menerapkannya secara ketat, ada pula yang tidak. Penerapan-penerapan itu tidak hanya sebatas pengamalan wajib seperti menunaikan salat berjamaah, melainkan sudah menyentuh ruang pribadi seperti pembatasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan.
Ketatnya penerapan ajaran islam itu dimotori oleh Rohis, yang berupaya menjadikan lingkungan sekolah lebih islamis.
Aku menyadari bahwa situasi semacam ini tidak hanya terjadi di ruang lingkup sekolah saja. Di jenjang institusi yang lebih tinggi, perguruan tinggi hingga ke jajaran pemerintahan sekalipun, situasi ini kerap dijumpai.
Kita tidak bisa berpaling dari kenyataan, bahwa kita hidup berdampingan dengan pihak-pihak yang mengatasnamakan agama untuk memperoleh kekuasaan.
Pertanyaannya yang sering tercuat di pikiranku adalah bagaimana sebaiknya cara kita berinteraksi dengan mereka? Juga, bagaimana semestinya mereka berinteraksi dengan kita?
Aku merasa, mungkin hanya aku, entah yang lain, bahwa menjaga jarak dengan mereka adalah sikap terbaik.
Dalam pandanganku, kita ini hidup di wilayah abu-abu. Namun, mungkin mereka memandang hidup sebagai hitam dan putih. Jika seandainya mereka berjumpa dengan wilayah abu-abu, mungkin mereka akan menggiringnya menjadi hitam atau putih. Jadi, mungkin mereka sendiri akan menjaga jarak terhadap wilayah abu-abu.
Mengatasnamakan agama dan berperisaikan kebenaran hakiki. Mereka menyeru untuk melakukan ini, dan meninggalkan itu. Seperti itu, aku kira kita semua paham.
Namun, di tengah kondisi masyarakat kita yang plural, menurutku kebenaran yang terus-menerus digaungkan–di antara sekian banyak kebenaran yang mana tiap kebenaran menjadi relatif tergantung setiap manusia–akan menimbulkan perasaan tidak nyaman.
Seperti di bulan Ramadhan ini, seruan itu kerap dikait-kaitkan dengan bulan yang suci dan penuh barokah.
Aku tahu, setiap dari kita diwajibkan untuk saling menasehati dalam kebenaran dan juga kesabaran. Mungkin, sebenarnya kita lupa akan makna sabar, bahwa kebenaran dan kesabaran itu selalu ada berdampingan. Kita harus sabar, mereka pun juga demikian.
Sehingga pada akhirnya, aku akan melafalkan do’a:
Ya Allah jagalah hati kami. Berilah kami kesabaran hingga mampu melalui hari-hari kami dengan ikhlas.
Ini mungkin sepele.
Ini mungkin hanya aku yang terlalu membesar-besarkan.
Tapi ini nyata.
Bahwa ini Islamku, itu Islammu.
Bayangkan, satu agama saja bisa seperti ini. Bagaimana di agama lain? Bagaimana kita hidup dengan pemeluk agama lain?
Satu yang pasti, menurutku, hidup memang tak kan pernah mudah...
dan tak pernah terlalu sulit untuk bisa kita lalui...
NIMBRUNG DI SINI
Tapi Penguasa alam ini hanya satu, agama yang benar hanya satu.
orang lain sudah lebih dulu hidup dgn kebenaran yg membuatnya nyaman, maka ujung-
ujungnya akan ada perpecahan. Mungkin tak lama lagi, akan semakin banyaaaakkk yg
merasa ajarannya lbh benar, sehinggga kita akan berkata, Ini Islamku, Itu Islammu, dan
Disana itu Islamnya...
atau
\"Ini agamaku, itu agamaku\"
Ini semua kembali ke ideologi yang terlahir dalam pikiran kita. Walaupun tokh kebenaran
hakiki bukan milik kita, tapi cobalah merenungkan: betapa indahnya perbedaan. Kalau
semuanya sama, maka tidak akan menarik bukan?