Terminal Giwangan, Jogja, hari Senin sore (13/9/2010). Dengan setengah berlari, aku berjalan ke halte Trans Jogja. Yang aku inginkan hanya pulang ke rumah. Titik.
Tapi sesampainya di shelter. O mi got...alamakjan...penuh sesak! Duh!
Rupanya penderitaanku di hari Senin ini masih jauh dari kata usai. Setelah 5 jam berdesak-desakan di bus ekonomi dari Gombong ke Jogja dengan kondisi perut yang mual, aku masih harus mengantri bus Trans Jogja.
Untuk sekadar menghilangkan kebosanan, aku keluarkan DSLR ku dan mencoba memotret. >.<
Obyek pertamaku adalah si mbak petugas yang menjaga gerbang putar. Sayang, aku lupa kenalan sama si mbak. Yang jelas si mbak ini sabar banget menghadapi calon penumpang. Dari mulai menjelaskan rute bus (mesti naik apa dan pindah halte di mana), sampai melayani pembelian tiket.
Kebanyakan calon penumpang ingin turun di Malioboro. Duh, pantas saja Malioboro padet-det-det. Dari aksennya pula, beberapa calon penumpang seperti berasal dari luar Jogja. Yah, di musim mudik seperti ini sepertinya warga Jogja (baca: aku!) juga harus ekstra sabar menghadapi perilaku turis lokal yang baru pertama kali datang ke Jogja.
Sabar nggak hanya di bulan Puasa saja.
Setelah dua kali melewatkan bus Trans Jogja yang semestinya aku naiki, akhirnya aku bisa masuk ke halte yang kini lumayan lenggang. Di dalam, ada seorang cewek bule yang lagi ngobrol sama calon penumpang. Mulanya aku nggak tertarik nimbrung. Tapi kemudian cewek bule itu nanya ke aku perihal arah ke Taman Budaya. Oalah...
Terus kenalan deh. Namanya Jeane dari Italia. Dia pernah tinggal di Surabaya jadi lumayan fasih bahasa Indonesia. Dia bilang seneng jalan-jalan di Jogja. Dia jalan-jalan seorang diri dan selama ini belum pernah ada yang ngusilin dia. Dia ke Taman Budaya rencananya mau nonton sandiwara Putri Cina.
Harus lebih pe-de lagi ngobrol sama bule, biar mereka tahu obyek menarik di Jogja.
Aku pisah dengan Jeane, soalnya dia naik bus jalur 3A sementara aku 3B. Perjalanan bus berlangsung lancar. Namun, selepas halte Museum Perjuangan, bus mendadak berhenti. Pak supir serta-merta keluar dari bus dan berjalan terburu-buru. Ada apa gerangan?
Aku tanya ke mbak petugas, dan dijawab kalau pak supir hendak menunaikan salat Magrib? Hah? Emang ada mbak peraturan pak sopir boleh kayak gitu? Boleh mas, selama waktunya masih memungkinkan. Hooo...
Kalau dipikir-pikir, gimana ya cara supir bus meluangkan waktu untuk salat? Toh, nggak bisa dijamak. Hitungannya kan nggak sedang berpergian jauh. Dengan masih terheran-heran, aku dikagetkan oleh naiknya seorang simbah dari pintu di samping kiri supir. Kok boleh? Padahal bus sedang tidak berhenti di halte? Wedalah...
Sepertinya hukum di Indonesia masih "fleksibel", yaitu bisa "dilanggar" tergantung situasi-kondisi...hmm...
Di H+3 lebaran aku mengalami beberapa peristiwa unik. Yah, setidaknya tak diperumit dengan susahnya mencari makan seperti tahun lalu.
NIMBRUNG DI SINI
hanya saja cari makan yang ramah kantong agak susah...
aku dah dari dulu pengen ngerasain naek trans Jogaj eh lum kesampean juga ampe sekarang..
Peraturan yang gag fleksibel itu namanya bukan peraturan tapi \"hukuman\" xixix
salam kenal ya seneng baca artikelmu...
maaf lahir batih mas broo