Sepengamatanku, di Yogyakarta nggak ada bangunan masjid tua yang terlihat tua. Umumnya, bangunan masjid tua di Yogyakarta sudah dipercantik. Aksen tuanya sudah nggak begitu kentara walau tetap memancarkan aura antik.
Makanya, ketika aku dalam perjalanan menuju Air Terjun Panisan melewati masjid tua yang masih terlihat tua, aku minta Pak Izul buat menepi sebentar. Penasaran lah, kapan lagi coba bisa menjamah masjid tua. Apalagi, kan nggak setiap hari bisa keluyuran di Sumatra.
SILAKAN DIBACA
Nama masjid tua yang aku sambangi pada hari Rabu (27/4/2016) yang lalu itu adalah Ar-Rahmat. Nama itu diketahui dari tulisan di papan kayu putih yang berdiri tegak di halaman masjid, yakni “TAMAN PENDIDIKAN AL QUR’AN MESJID ARRAHMAT”.
Selain nama, papan putih tersebut juga memuat alamat masjid, yaitu Dusun 1, Desa Tanjung, Kecamatan Koto Kampar Hulu. Untuk diketahui, Kecamatan Koto Kampar Hulu merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
Berbeda dengan masjid-masjid tua yang pernah aku jumpai di Yogyakarta, bangunan Masjid Ar-Rahmat tampak mencolok mata. Gaya arsitekturnya unik. Dindingnya pun unik karena terbuat dari papan kayu.
Sepintas, bentuk bangunan masjid ini mengingatkanku pada Masjid Agung Pondok Tinggi di Kota Sungai Penuh, Jambi. Keduanya tergolong masjid tua di Sumatra.
Jika mengacu pada informasi yang terdapat di situs SIMAS Kementrian Agama, Masjid Ar-Rahmat adalah masjid bersejarah. Di sana, disebutkan bahwa masjid ini didirikan pada tahun 1956. Akan tetapi, menurut sumber berita lain, ada warga yang menyebutkan bahwa masjid ini sudah berdiri sejak zaman penjajahan Belanda sekitar tahun 1905.
Selain itu, situs SIMAS Kementerian Agama juga menyebutkan bahwa Masjid Ar-Rahmat memiliki luas bangunan 288 m2 yang berdiri di atas tanah seluas 900 m2. Masjid ini bisa menampung sekitar 200 jamaah.
Dengan didorong rasa penasaran, aku pun mendekat ke bangunan Masjid Ar-Rahmat. Dari halaman masjid yang sudah diperkokoh dengan paving block, aku mengamati arsitektur masjid secara saksama.
Masjid Ar-Rahmat memiliki bentuk bangunan serupa dengan rumah panggung. Jarak antara permukaan tanah dan lantai masjid nggak begitu tinggi, hanya sekitar setengah meter. Untuk bisa masuk ke dalam masjid, pengunjung harus meniti anak tangga semen.
Beralih ke bagian atas Masjid Ar-Rahmat, atap masjid memiliki gaya arsitektur atap bertingkat dua. Atap masjid terbuat dari lembaran seng. Pada zaman dahulu, atap masjid mungkin saja terbuat dari daun-daun atau jerami kering.
Sayang, pada waktu itu aku nggak bisa masuk ke dalam Masjid Ar-Rahmat karena seluruh pintunya terkunci! Akan tetapi, aku tetap bisa melongok melihat bagian dalam Masjid Ar-Rahmat melalui lubang-lubang panjang di dinding yang difungsikan sebagai jendela.
Sepintas, bagian dalam Masjid Ar-Rahmat mirip seperti pendopo. Ada banyak tiang-tiang kayu yang berdiri tegak membentuk formasi segi empat. Tiang-tiang kayu tersebut berbentuk segi enam dan dipernis.Karena nggak bisa mendekat ke tiang, jadinya aku nggak tahu detil kayunya.
Akan tetapi, hal yang paling menarik perhatianku di bagian dalam Masjid Ar-Rahmat adalah lantainya yang tertutup lembaran plastik seperti... kamar kos-kosan mahasiswa.
Entah kenapa, buatku lantai yang tertutup lembaran plastik seperti ini malah terkesan kurang rapi. Dengan bangunan masjid yang terkesan tua, aku lebih memilih supaya lantainya dibiarkan terbuka. Kalaupun mau diberi alas, bisa dengan tikar dari anyaman daun pandan supaya kesan tradisionalnya tetap ada.
Tapi, mungkin pemilihan lembaran plastik untuk penutup lantai juga bukan tanpa sebab. Bisa jadi, supaya lantainya mudah dibersihkan dengan air. Bisa jadi pula lantai kayunya lembab sehingga lantainya perlu diberi alas kedap air. Mungkin pula saat musim hujan bakal muncul banyak titik-titik bocor di atap sehingga merepotkan jika lantainya tidak diberi alas kedap air.
Sepengamatanku, bangunan Masjid Ar-Rahmat belum begitu mengalami perubahan bentuk yang sangat signifikan. Bangunan modern yang berdiri paling hanya bilik toilet dan tempat berwudu.
Sayangnya, walaupun toiletnya sudah dibuat modern dengan lantai keramik, bak air, dan kloset jongkok, akan tetapi toiletnya kotor! Beh!
Jangankan lama nggak dibersihkan, sepertinya toilet ini lama nggak pernah digunakan. Jadi, untuk urusan yang berurusan dengan basah-membasahi paling ya di luar toilet pakai air dari sumur timba yang terkesan nostalgik.
Aku sih berharap semoga bangunan Masjid Ar-Rahmat tetap lestari. Toiletnya kalau bisa rutin dibersihkan, minimal seminggu sekali lah. Masak toiletnya masjid kotor sih?
Mengingat bangunannya tua, seharusnya Masjid Ar-Rahmat sudah tergolong benda cagar budaya. Nggak tahu apakah masjid ini sudah terdaftar sebagai bangunan cagar budaya di Riau atau belum.
Yah, semoga jika suatu saat aku mampir ke Masjid Ar-Rahmat lagi, aku bisa ikut salat berjamaah di sini. Aamiin.
NIMBRUNG DI SINI
Tapi, sayangnya sampai sekarang belum terlaksana.