Pada Minggu siang itu (12/3/2017) aku sedang ada di Surabaya. Aku baru saja menempuh perjalanan yang agak panjang dari Kota Gresik naik Selita si sepeda lipat kuning.
Cuaca di Surabaya maupun di Gresik pada siang hari itu lumayan panas. Walaupun panas tapi ya awan mendung sesekali masih berkenan menutupi mentari. Lumayan lah jadi sedikit teduh. Kan ya bersepedanya jadi nggak terlampau bikin haus toh? Hehehe.
Pelan tapi pasti, di langit gumpalan-gumpalan awan pekat mulai membentuk formasi. Dugaanku, sebentar lagi hujan bakal turun. Jadi ya aku nggak bisa berlama-lama buat berhenti istirahat di sepanjang jalan. Semoga juga baut cranck nggak kendor lagi.
Pokoknya ya kayuh pedal terus sampai jantung Kota Surabaya! #semangat
Aku sampai di jantung Kota Surabaya sekitar pukul setengah 2 siang. Kereta api Sancaka yang jadi tumpanganku buat pulang ke Yogyakarta baru berangkat pukul setengah 6 sore. Jadi, aku masih punya waktu sekitar 4 jam untuk mengeksplorasi Surabaya.
Tapi ya ke mana ya?
Bilamana mengikuti kata perut hati, yang terngiang-ngiang adalah,
CARI YANG SEGER-SEGER
Request yang seperti di atas itu aku terjemahkan sebagai:
- Es campur,
- Es buah,
- Es cao,
- dan kawan-kawan es lain.
Seingatku sih, pas bersepeda ke arah Jalan Gresik tadi pagi aku lihat ada banyak bakul es yang jentrek-jentrek di pinggir jalan. Tapi sayang, aku lupa nama jalannya itu apa. Dan lagi, bersepeda mengarungi jalanan Kota Surabaya dengan hanya bermodalkan rasa percaya diri yang kelewat tinggi, ujung-ujungnya kok ya malah NYASAR? Duh!
Karena nggak menjumpai adanya satu pun bakul es di sepanjang Jalan Perak Timur, jadi aku memutuskan buat putar balik ke selatan. Sampai akhirnya, di suatu jalan aku melihat papan hijau Dishubkominfo yang menunjukkan arah ke Balai Kota.
“Nyoba mampir ke Balai Kota ah. Siapa tahu di sana ada yang jual es.”, aku membatin
Tapi sebetulnya, niatku mampir Balai Kota Surabaya juga sekaligus untuk iseng-iseng memuaskan rasa penasaran,
“Kantornya Bu Risma kayak apa sih bentuknya?”
Sekitar pukul 2 siang aku sampai di Balai Kota Surabaya. Sayang, pintu gerbangnya dikunci (Ya iyalah! Namanya juga hari Minggu! ). Jadinya aku hanya bisa mengabadikan foto kantornya Bu Risma di atas dari celah gerbang menggunakan lensa di panjang fokal 35 mm.
Walaupun begitu, agaknya Balai Kota Surabaya berhasil memuaskan raungan perut hati mencari yang seger-seger. Di sekitaran Balai Kota Surabaya memang nggak ada satu pun bakul es. Tapi di sana ada banyak bangku untuk bersantai dan juga AIR MANCUR!
Sebagai penghuni Kota Jogja yang minim air mancur, ini itu ibarat ketemu sendang, hahaha.
Dengan mengabaikan rasa malu yang juga sudah sering terabaikan #eh, aku pun mendekat ke air mancur. Aku “mencoba peruntungan” membasuh muka dengan air mancur yang ternyata susahnya setengah mati #lebay. Soalnya, air mancurnya itu memancurnya pindah-pindah. Kan repot.
Tapi, setelah berhasil membasuh muka pakai air mancur, kok ya di mulut airnya berasa kaporit ya? Hahaha.
Selesai membasuh muka aku kemudian duduk di salah satu bangku. Aku meminum satu dari dua air minum kemasan gelas plastik yang tadi dari Gresik dibekalkan Pak Afin, ayahnya Mas Cumilebay. Pada akhirnya, nggak ada es campur, air putih biasa pun jadi.
Sambil minum dan mengistirahatkan kaki, aku memperhatikan suasana di luar gerbang Balai Kota Surabaya. Selain aku, ada banyak anak-anak yang menikmati air mancur. Dari tingkah polah, sahut-sahutan, dan rengekan nggak mau pulang, mereka tampak asyik bermain dengan air yang silih berganti menyembur.
Aku perhatikan, semakin siang semakin banyak warga Surabaya yang menghampiri air mancur. Warga yang datang dengan berjalan kaki maupun yang cenglu [1] cengmpat [2] naik sepeda motor kian menjadi pemandangan umum.
Sama-sama anak-anak. Sama-sama ditemani orangtuanya. Sama-sama membawa bungkusan plastik yang sepertinya adalah pakaian ganti.
[1] bonceng telu: bonceng tiga orang naik sepeda motor
[2] bonceng papat: bonceng empat orang naik sepeda motor
Aku membatin, “Ternyata, air mancur bisa mendatangkan kebahagiaan”
Sepanjang perjalananku nyasar-nyasar di Surabaya, aku perhatikan Kota Surabaya ini memang punya banyak air mancur. Entah itu lokasinya di taman ataupun di tengah jalan. Ini menurutku merupakan suatu langkah yang berani karena air mancur itu kan “identik” sebagai tempat mandinya para tuna wisma. Ya toh?
Di Kota Jogja saja air mancur yang di dekat Taman Parkir Abu Bakar Ali itu dikerangkeng supaya nggak dijamah sembarang orang. Adapun air mancur di perempatan nol kilometer sudah digusur lama sebelum aku lahir.
Oh, Jogja... Jogja....
Tapi, di siang hari itu ada satu pemandangan yang bikin aku merenung agak lama. Pemandangan yang nggak ada hubungannya sama air mancur.
Jadi, pas aku sedang duduk-duduk di bangku itu datanglah satu keluarga bapak ibu dua anak cengmpat [2] naik sepeda motor. Mereka juga membawa bungkusan plastik.
Awalnya, aku pikir pasangan suami istri tersebut hendak menemani kedua anak mereka main air di air mancur. Akan tetapi, mereka malah duduk di trotoar. Kemudian mereka mengeluarkan bungkusan makanan dari dalam plastik dan menyantapnya.
Satu keluarga tersebut terlihat seperti sedang piknik.
Ya, piknik. Tanpa alas duduk. Tanpa keranjang piknik. Tanpa peduli bahwa lokasinya “hanya” di depan Balai Kota Surabaya yang tidak berumput hijau layaknya karpet serta tidak dinaungi pohon-pohon rindang.
Tanpa peduli dengan orang-orang yang berlalu-lalang mereka nggak terganggu menyantap bungkusan yang ternyata berisi ... rujak cingur! #sempat.ngintip .
Ah, kalau menyinggung rujak cingur aku jadi ingat Ibu yang pas beberapa waktu yang lalu ke Jogja sempat membeli rujak cingur tanpa cingur.
Anyway, Ibu memang punya selera yang “unik” perkara makanan. Seperti halnya rujak cingur tanpa cingur, sesuai pakem yang dianut Ibu muncul pula mie ayam tanpa ayam dan es campur tanpa es.
Pemandangan keluarga yang sedang piknik, rujak cingur, dan sosok Ibu bikin aku merenung,
“Kapan ya terakhir kali kami sekeluarga makan bareng?”
Jawabannya adalah di bulan November 2016 saat Tiwul pulang ke nusantara dan singgah di Jogja. Itu pun hanya satu kali dari sekian hari yang kami lalui bersama. Selebihnya, kami tinggal terpencar dengan kegiatan masing-masing.
Dan aku jadi mikir lagi. Surabaya itu kan punya banyak mall dan punya banyak rumah makan. Tentu di sana itu kan tempat yang lebih layak untuk bersantap dibanding trotoar di depan Balai Kota Surabaya. Ya toh?
Seperti biasa, pertanyaan-pertanyaan liar pun mulai bermunculan menjejelali kepalaku. Hanya pertanyaan yang cenderung sensitif tanpa ada tendensi untuk menjustifikasi maupun mencari pembenaran.
Apa pun itu, aku melihat pemandangan keluarga yang sedang piknik di trotoar ini sebagai suatu bentuk kerekatan keluarga, kebersamaan keluarga, keharmonisan keluarga, dan apa punlah itu yang menujukkan bahwa keutuhan keluarga merupakan suatu nikmat yang tidak tergantikan.
Ada kebahagiaan di depan Balai Kota Surabaya pada Minggu siang itu.
Adalah suatu hal yang bahagia bisa bersantap bersama satu keluarga.
Adalah suatu hal yang bahagia bisa bermain air di air mancur.
Adalah suatu hal yang bahagia untuk hal-hal yang sederhana.
Kalau masih ada yang bertanya,
"Buat apa sih membangun taman atau ruang terbuka publik?"
Artikel ini setidaknya bisa menjadi jawabannya.
Sepertinya aku harus segera meluncur ke Taman Bungkul mencari warung nasi rawon. Aku lapar dan juga pingin ngendog. #ah.sudahlah
NIMBRUNG DI SINI
Aku termasuk golongan penggemar rujak cingur tanpa cingur, tapi tidak anti cingur, hihihihi.
Kita aja yang suka bikin ribet .. dan jadi malah susah dan gak hepi ... :D
ta mas?
Matur nuwun Rek! Besok-besok kalau ada kesempatan pas Mei datang lagi deh. :D