Maw Mblusuk?

HALO PEMBACA!

Selamat nyasar di blog Maw Mblusuk? !

Di blog ini Pembaca bisa menemukan lokasi-lokasi unik seputar aktivitas blusukan-ku ke sana-sini. Eh, kalau ada kritik, saran, atau pesan bilang-bilang aku yah! Nuwun!

Cari Artikel

LANGGANAN YUK!

Dengan berlangganan, Anda akan senantiasa mendapatkan update artikel terbaru blog ini.


Bisa berlangganan melalui e-mail.

oleh FeedBurner

Atau melalui RSS Feed berikut.
feeds.feedburner.com/mblusuk
Minggu, 13 November 2016, 14:17 WIB

WEH!

Museum Linggam Cahaya TUTUP!

 

Padahal aku ke sananya hari Sabtu (30/4/2016). Bukannya seharusnya hari Sabtu museum masih buka ya?
Jadwal liburnya museum kan hari Senin toh?
Nggg, apa mungkin karena aku datangnya kepagian ya?
Pukul 9 pagi kurang museum belum buka kah?
Apa mungkin museumnya baru buka pukul 10?

#bingung

 

Ah, yo wis lah....

 

Mungkin memang belum waktunya aku berjodoh sama Museum Linggam Cahaya. Padahal katanya Mawan, penjaga Museum Linggam Cahaya tahu banyak perihal seluk-beluk Kesultanan Lingga. Soalnya, di Istana Damnah tadi aku sama sekali nggak menjumpai informasi tentang sejarah Kesultanan Lingga.

 

Tapi ya mau gimana lagi? Aku cuma punya satu hari Sabtu ini thok buat blusukan keliling-keliling Pulau Lingga.

 

Jadi ya apabila di masa mendatang aku bisa singgah lagi di Pulau Lingga, aku bakal nungguin itu Museum Linggam Cahaya sampai buka! Hahaha.

 

 

Ziarah Kubur Agar Tidak Takabur

Oleh karena gagal berkunjung ke Museum Linggam Cahaya, aku dan Mawan pun berganti haluan menyambangi peninggalan Kesultanan Lingga yang letaknya dekat museum. Eh, lebih tepatnya berziarah sih. Soalnya, peninggalan Kesultanan Lingga yang ini berupa makam. Namanya Makam Merah.

 

Ngomong-omong tentang makam alias kuburan, aku sendiri sudah “terbiasa” blusukan ke tempat semacam ini. Apalagi kalau pas lagi keluyuran sama Mbah Gundul. Sering kali kami merapat ke kuburan saat melihat ada “sesuatu yang menarik” di sana.

 

Kalau aku sih di kuburan ya berziarah. Tapi kalau bagi Mbah Gundul... ya nggak tahu deh.

 

 

Yang jelas, aku percaya bahwa dengan ziarah kubur kita akan senantiasa teringat pada kehidupan setelah mati.

 

  1. Bahwasanya kehidupan di dunia ini hanya sementara.
  2. Bahwasanya harta, tahta, cinta yang kita nikmati di dunia nggak akan bisa dinikmati di liang lahat.
  3. Bahwasanya selain untuk bertahan hidup di dunia, kita juga harus menyiapkan bekal untuk di akhirat kelak. #paling.berat

 

Selain itu, aku percaya doa yang kita panjatkan bagi para penghuni kubur bermanfaat bagi mereka. Selepas seseorang meninggal, boleh jadi masih banyak sanak saudara atau rekan yang mengingat dan mendoakan. Akan tetapi, saat sudah berganti generasi bisa jadi sudah nggak ada lagi yang mengingat dan mendoakan toh?

 

Asal Muasal Makam Merah

Oke! Mari kita balik ke Makam Merah!

 

Makam Merah terletak di pinggir jalan aspal panjang di dalam kompleks Istana Damnah. Letak persisnya ada di sebelah Kantor Dinas Pariwisata Lingga.

 

Sama seperti saat memasuki kompleks Istana Damnah, awalnya aku mengira ada petugas yang berjaga di Makam Merah. Sebab, ini kan makam kesultanan. Apalagi letaknya tetanggaan sama kantor instansi pemerintah . Tapi eh ternyata, Makam Merah sepi tanpa penjaga! wew....

 

Meski demikian, untungnya pagar kompleks Makam Merah nggak terkunci. Jadinya kami bisa masuk dan mengamati Makam Merah lebih dekat. Untungnya juga nggak ada papan berisi larangan dan pantangan yang wajib ditaati pengunjung, hehehe.  

 

Walau begitu tetap jaga kesopanan lho! #serius

 

tampak luar bangunan kuno angker situs sejarah Makam Merah peninggalan Kesultanan Lingga dekat Istana Damnah pada April 2016
Bila dilihat sepintas sudah paham toh kenapa diberi nama Makam Merah?

 

Makam Merah memiliki bangunan penaung yang material konstruksinya didominasi warna merah. Masuk akal toh jika kemudian dinamai Makam Merah? Hanya atapnya saja yang mungkin belum sempat dicat merah, hehehe.

 

Bangunan penaung Makam Merah berbentuk persegi. Luasnya sekitar 10 meter x 10 meter. Bangunan ini tanpa dinding. Atapnya berupa lempengan seng yang disangga oleh tiang besi. Bagian dalam bangunan dibatasi oleh pagar yang juga terbuat dari besi. Konon, tiang dan pagar besi ini diimpor dari Belanda.

 

Menurut pengamatanku, tegel yang dipakai di Makam Merah serupa dengan tegel modern yang biasa dipakai di teras rumah. Aku menduga tegelnya ini bukan tegel asli dari zaman dulu. Apakah tegel Makam Merah pada zaman dahulu sama seperti yang dipakai di Istana Damnah ya?

 

Raja Muda yang Dimakamkan di Makam Merah

Bagian tengah bangunan penaung  Makam Merah ini nggak dilindungi atap. Jadinya bolong di tengah-tengah gitu. Nah, tepat di bagian tengah bangunan penaung inilah terdapat hamparan tanah tempat jenazah dikebumikan. Dengan kata lain, bangunan penaung makam mirip seperti selasar yang mengelilingi kubur jenazah.

 

Apabila mencermati nama yang tertera pada prasasti di luar bangunan penaung, Makam Merah merupakan tempat peristirahatan terakhir Yang Dipertuan Muda Riau X Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi. Eh, meskipun bergelar raja, beliau ini bukan pimpinan tertinggi Kesultanan Lingga lho!

 

hamparan tanah makam kuburan Yang Dipertuan Muda Riau X Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi beserta permaisuri dan anak kecilnya di situs sejarah Makam Merah peninggalan Kesultanan Lingga pada April 2016
Tempat jenazah dikebumikan di Makam Merah.

 

Jadi, ceritanya begini. Di kurun tahun 1824 hingga 1911, Pulau Lingga merupakan pusat dari kerajaan Melayu yang bernama Kesultanan Lingga. Wilayah kekuasaan Kesultanan Lingga mencangkup pulau-pulau yang kini masuk ke dalam Provinsi Kepulauan Riau.

 

Pimpinan tertinggi Kesultanan Lingga adalah Sultan Lingga dengan gelar Yang Dipertuan Besar. Selain itu Kesultanan Lingga juga memiliki pimpinan yang kedudukannya setingkat di bawah Sultan, yakni Sri Paduka Yang Dipertuan Muda atau Raja Muda. Jabatan Raja Muda ini mirip-mirip seperti perdana menteri lah.

 

Gelar Raja Muda ini pertama kali diberikan pada Daeng Marewah (putra bangsawan dari Kerajaan Luwu) yang telah berjasa membantu Sultan Sulaiman (Kesultanan Johor) pada perang melawan Raja Kecil. Pada tahun 1824, Kesultanan Johor terpecah menjadi dua. Salah satu pecahan Kesultanan Johor kemudian menjadi Kesultanan Lingga. Gelar Raja Muda pun diadopsi oleh Kesultanan Lingga.

 

 

Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi yang mulai menjabat sejak tahun 1858 merupakan Raja Muda terakhir Kesultanan Lingga. Semasa hidupnya beliau memprakarsai pembangunan Istana Damnah sebagai tempat tinggal Sultan Lingga.

 

Setelah Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi mangkat pada tahun 1899, gelar Raja Muda dirangkap oleh Sultan Lingga yakni Sultan Abdul-rahman Muazzam Syah. Sultan Abdul-rahman ini merupakan Sultan Lingga yang terakhir. Pada tahun 1911 Pemerintah Hindia Belanda mengakhiri kekuasaan Kesultanan Lingga dengan memakzulkan Sultan Abdul-rahman.

 

Hadeh... Belanda berulah terus di nusantara....

 

Tiga Nisan di Makam Merah

Walaupun prasasti yang ada di luar bangunan penaung menyebutkan bahwa Makam Merah merupakan makam Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi, dari foto di atas tampak adanya tiga pasang nisan. Artinya, ada tiga jenazah yang dikebumikan di tempat ini.

 

Entah apakah memang benar-benar jenazah yang dimakamkan di Makam Merah ini berjumlah tiga ataukah malah lebih dari tiga. Tapi yang jelas, keberadaan tiga pasang nisan ini menandakan adanya suatu penghormatan yang ditujukan bagi mendiang ketiga orang tersebut.

 

Siapa sajakah mereka yang dimakamkan di Makam Merah ini?

 

asal-usul bentuk penampakan dua nisan melayu kuno untuk wanita perempuan dan anak-anak yang terdapat di situs sejarah Makam Merah dekat kantor dinas pariwisata lingga pada April 2016
Nisan-nisan tanpa nama di Makam Merah.

 

Bila mengacu pada bentuk nisan dalam budaya masyarakat Melayu, tiga nisan yang ada di Makam Merah terdiri dari satu nisan pria dan dua nisan wanita. Bentuk nisan pria mirip seperti arca lingga (yang melambangkan alat kelamin pria ). Sedangkan bentuk nisan wanita berupa lempengan pipih dengan ketebalan sekitar dua ruas jari orang dewasa.

 

Pada kubur pria terlihat adanya sebaran batu sungai yang berukuran kecil dan berwarna putih. Sedangkan di kubur wanita nggak tampak adanya sebaran batu kecil putih. Eh, pada nisan yang berukuran mungil terlihat ada 4 batu kecil putih yang disusun membentuk garis lurus. Entah apa maksudnya.

 

 

Pada ketiga nisan ini aku nggak melihat adanya nama almarhum(ah). Tapi, aku sendiri menyimpulkan bahwa nisan pria merupakan nisan Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi. Sedangkan kedua nisan wanita mungkin merupakan nisan istri dan putri beliau.

 

Bila diperhatikan lagi, salah satu nisan wanita yang ada di Makam Merah ini ukurannya mungil. Di Indonesia kita mengenal budaya yang menyatakan bahwa ukuran nisan berkorelasi dengan usia almarhum(ah) saat meninggal. Jadi, aku menarik kesimpulan bahwa salah satu dari wanita yang dimakamkan di sini meninggal saat masih kecil karena nisannya berukuran kecil. Apa mungkin malah meninggalnya saat masih bayi ya? Who knows? ....

 

Hal menarik lain dari nisan-nisan di Makam Merah ini ialah alignment-nya (eh, bahasa Indonesianya alignment itu apa sih? ) yang tidak lurus. Umumnya, nisan-nisan yang aku jumpai di Jawa itu memiliki alignment top, alignment bottom, atau alignment center. Sedangkan nisan-nisan di Makam Merah ini walaupun posisinya sejajar tapi alignment-nya berantakan.

 

Hal-Hal "Janggal" di Makam Merah

Oh iya, untuk memotret nisan-nisan ini aku mengandalkan zoom terpanjang lensa. Aku sungkan untuk mendekat karena pagar besi yang mengelilingi nisan ini terkunci. Meskipun nggak ada petugas yang berjaga di Makam Merah, aku tetap menjaga sopan santun lho ya!

 

Eh iya, kalau menyinggung perihal sopan santun di makam, umumnya yang terbayang di benak ialah kejadian-kejadian janggal yang menimpa orang-orang yang kelakuannya nggak sopan. Dengan kata lain ya... kejadian yang mistis-mistis gitu deh....

 

mitos cerita mistis hal janggal kendi tempayan air tidak pernah kering yang letaknya dekat nisan tua di situs sejarah Makam Merah peninggalan Kesultanan Lingga pada April 2016
Ada cerita janggal lho terkait tempayan berisi air ini.
Sekadar info, air dari tempayan digunakan untuk membersihkan tangan dan kaki sebelum berziarah.
Sebabnya, beberapa orang beranggapan bahwa makam adalah tempat yang bersih (suci).

 

Menurut berita yang aku baca dari laman kepri.net, salah satu daya tarik Makam Merah ialah hal-hal “janggal” yang mengundang rasa penasaran. Misalnya saja hitungan jumlah jari-jari pagar besi yang acap kali berbeda-beda.

 

Sayang, waktu itu aku nggak lagi kurang kerjaan buat menghitung jumlah jari-jari pagar besi. Soalnya, buatku lebih menarik nisan-nisannya daripada pagar besinya, hehehe.

 

 

Selain pagar besi, hal “janggal” lain di Makam Merah ialah tempayan yang berada di dekat nisan Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi. Konon, air yang ada di dalam tempayan ini nggak pernah kering sekalipun itu di musim kemarau! Padahal nggak ada yang mengisi air ke dalam tempayan tersebut lho!

 

Seperti yang bisa Pembaca amati pada foto di atas, saat aku di sana itu wadah untuk mengambil air terlihat berada di dekat mulut tempayan. Artinya, tempayannya itu berisi air dengan ketinggian kira-kira 3/4 dari tinggi tempayan.

 

 

Menurutku sih, kedua hal “janggal” di atas itu sebetulnya bisa disanggah secara ilmiah, hahaha . Misalnya saja dengan mencantumkan nomor urut ke tiap-tiap jari-jari pagar besi dan memasang kamera CCTV guna memantau kondisi air di tempayan.

 

Eh, tapi kalau itu dilakukan, nanti Makam Merah kehilangan “daya tarik”-nya dong? Wekekekek.

 

Nisan-Nisan Tua Tanpa Nama

Meskipun sepi dari pengunjung, aku mengamati bahwa Makam Merah ini berada dalam kondisi yang terawat. Hamparan tanah tempat kubur jenazah nggak disesaki rumput liar. Adapun kondisi bangunan penaung yang didominasi warna merah juga terawat dan bersih dari sampah.

 

Aku menduga terawatnya Makam Merah ini nggak lepas dari keberadaan “tetangga”-nya yakni Kantor Dinas Pariwisata Lingga. Hal yang mungkin perlu dilakukan oleh Dinas Pariwisata Lingga ialah memasang papan keterangan yang memuat seluk-beluk Makam Merah dan Kesultanan Lingga. Soalnya, bagi pengunjung yang datang jauh-jauh ke Lingga macamnya aku ini, informasi tersebut sangat berharga untuk menjadi bahan rujukan tulisan di blog, gyahahahaha.

 

 

Sebetulnya di Pulau Lingga terdapat banyak makam kuno Melayu yang bentuknya seperti Makam Merah ini. Satu karakteristik yang ada di makam-makam kuno Melayu ialah nisan-nisannya nggak mencantumkan nama almarhum(ah). Unik dan bikin bingung toh?

 

Tentang nisan yang tak bernama ini, entah kenapa mengingatkanku pada salah satu adegan di manga 20th Century Boys chapter 157 antara tokoh Kanna dan Donkey. Salah satu ucapan Donkey yang kerap diulang-ulang ialah,

“When people die, they become nothing.”

 

Kanna nggak setuju dengan ucapan tersebut dan mengkoreksinya,

“When people die, they remain in memories.”

 

 

Semoga dengan artikel ini kita menjadi teringat dengan sejarah Kesultanan Lingga, salah satu kerajaan Melayu yang dahulu kala pernah berjaya di nusantara.

 

 

Referensi:

https://ms.wikipedia.org/wiki/Batu_nisan

https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Lingga

https://id.wikipedia.org/wiki/Yang_Dipertuan_Muda

https://id.wikipedia.org/wiki/Daeng_Marewah

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/2014/06/08/sejarah-kerajaan-riau-lingga-kepulauan-riau/

http://keprinet.com/2015/12/02/pendidikan-dan-budaya/misteri-dibalik-makam-merah-belum-terungkap/

http://news.okezone.com/read/2015/10/02/340/1224828/anggota-babinsa-temukan-makam-zaman-kerajaan-riau-lingga

http://awalinfo.blogspot.co.id/2015/07/mengenal-lebih-dekat-makam-bukit.html


NIMBRUNG DI SINI

UPS! Anda harus mengaktifkan Javascript untuk bisa mengirim komentar!
  • NDOP
    avatar komentator ke-0
    NDOP #Rabu, 16 Nov 2016, 10:51 WIB
    Wah dirimu iki nakal, mosok hal hal mistis kok arep dibuktikne secara ilmiah.
    WOOOOO.. nakal nakal nakal. HAHAHAHA

    Btw ndik Nhnjuk nggone kuburane Mbah Ngliman aku wis tau njajal ngitung tanggane bareng koncoku, ternyata hasile bedo padahal ngitunge barengan gandengan tangan hahaha.
    Wekekeke, jenenge wae wong sains og. :D

    Wah, aku malah rung ngerti makam e Mbah Ngliman kuwi koyo ngopo wujud e.