Maw Mblusuk?

HALO PEMBACA!

Selamat nyasar di blog Maw Mblusuk? !

Di blog ini Pembaca bisa menemukan lokasi-lokasi unik seputar aktivitas blusukan-ku ke sana-sini. Eh, kalau ada kritik, saran, atau pesan bilang-bilang aku yah! Nuwun!

Cari Artikel

LANGGANAN YUK!

Dengan berlangganan, Anda akan senantiasa mendapatkan update artikel terbaru blog ini.


Bisa berlangganan melalui e-mail.

oleh FeedBurner

Atau melalui RSS Feed berikut.
feeds.feedburner.com/mblusuk
Kamis, 8 Desember 2016, 05:37 WIB

Mengutip pernyataan Lazuwardi – seorang pemerhati sejarah Lingga – yang dimuat di artikel Tribun Batam,

 

Kliping

“Secara umum, baik dalam kisah-kisah orang tua ataupun sumber tertulis, belum ada peperangan besar yang terjadi di Lingga.”

 

 

Tapi... meski belum pernah terjadi perang besar di Pulau Lingga, bukan berarti dahulunya pulau ini terbebas dari gangguan keamanan lho!

 

Oh iya! Untuk Pembaca yang baru pertama kali ini membaca artikel tentang Pulau Lingga di blog Maw Mblusuk?, aku mau ngasih tahu kalau Pulau Lingga itu letaknya di Provinsi Kepulauan Riau.

 

Yang Bikin Kaget Saat ke Benteng

Pada zaman dahulu, gangguan keamanan di Pulau Lingga umumnya disebabkan oleh ulah para perompak. Mereka ini datangnya dari laut. Oleh sebab itulah di Pulau Lingga kita dapat menemukan sejumlah benteng yang dibangun dekat laut. Salah satunya adalah Benteng Bukit Cening yang sempat aku dan Mawan sambangi pada hari Sabtu (30/4/2016) silam.

 

Terus terang, perkara kunjungan ke Benteng Bukit Cening ini aku pasrahkan sama Mawan. Selepas kami berziarah dari Makam Merah, Mawan hanya bilang,

 

“Habis ini kita ke benteng ya Bang?”

 

Dan karena aku buta (sekaligus penasaran ) perihal obyek bersejarah di Pulau Lingga, jadinya aku jawab singkat saja,

 

“Yoh!”

 

 

Sepanjang perjalanan menuju Benteng Bukit Cening aku sama sekali nggak melihat adanya papan petunjuk arah menuju ke sana. Mawan yang mengendarai sepeda motor sih sudah hapal jalan. Kesimpulannya, kalau mau pergi ke Benteng Bukit Cening tanpa pakai acara nyasar-nyasar, harap dipandu warga lokal.

 

Dari jalan aspal mulus, sepeda motor yang kami tunggangi beralih melibas jalan tanah padas. Di beberapa tempat jalannya tergenang air bekas guyuran hujan semalam. Sekeliling jalan ditumbuhi semak lebat dengan pohon yang menjulang tinggi. Kalau mau disebut sebagai hutan ya sebetulnya cocok juga sih.

 

akses jalan tanah padas rusak menuju Benteng Bukit Cening Lingga pada April 2016
Benteng... benteng... di manakah kamu berada?

 

Di sepanjang perjalanan melintasi jalan tanah padas ini ada satu pemandangan yang bikin aku kaget, yaitu penampakan hutan gundul! WEKZ!

 

Aku perhatikan, di salah satu sudut hutan yang gundul ini berdiri sejumlah bangunan. Aku menduganya itu semacam bangunan tambang. Sebab, ada sejumlah alat berat yang terparkir di sekitar sana.

 

Aku hanya berani memotret bangunan-bangunan yang ada di sana dari jauh. Soalnya, kalau mencermati kepulan asap yang membumbung tinggi, sepertinya pada hari Sabtu ini masih ada aktivitas kerja di sana. Dengan kata lain, di sana ada orang! Kalau aku ketahuan motret-motret properti mereka, nanti bisa-bisa nanti aku disekap dan diinterogasi! #lebay

 

Tapi ya... sebagai orang yang (merasa) dekat dengan alam, aku sih berharap semoga hutan yang (sudah terlanjur) gundul ini nggak meluas. Lha yo bahaya toh kalau banyak hutan yang gundul? #sedih

 

 

kasus perambahan ilegal hutan gundul di dekat lokasi situs sejarah Benteng Bukit Cening Lingga pada April 2016
Hutannya kok gundul!?

 

kisah cerita di balik pabrik tambang ilegal konflik situs sejarah Benteng Bukit Cening Lingga pada April 2016
Apa ini pelakunya?

 

Selepas melewati pemandangan hutan gundul, kontur jalan tanah padas terasa kian menanjak. Apalagi jalannya bergeronjal-geronjal. Aku perhatikan, Mawan pun mulai kesulitan mengemudikan sepeda motornya. Hingga pada akhirnya, di suatu ruas jalan tanah padas Mawan berkata,

 

“Parkir di sini ya Bang? Nanti ke bentengnya kita jalan kaki.”

“Masih jauh Wan?”

“Nggak Bang. Sudah dekat.”

“Okeh”

 

Jadilah sepeda motor diparkir di tengah jalan tanah padas antah berantah itu. Mengutip perkatannya Mawan sih, sepeda motor aman diparkir di mana saja di Pulau Lingga. Maling ya juga mikir-mikir kalau mau membawa sepeda motor keluar pulau.

 

penampakan gerbang masuk dan papan nama situs cagar budaya melayu Benteng Bukit Cening Lingga pada April 2016
Manakah yang disebut sebagai benteng itu?

 

Rupanya benar kata Mawan. Nggak ada lima menit berjalan kaki, sampailah kami di lokasi situs cagar budaya Benteng Bukit Cening.

 

Mendadak seketika itu pula bayangan benteng yang melekat di benakku mendadak lenyap. Mulanya aku membayangkan Benteng Bukit Cening itu serupa dengan Benteng Vredeburg di Jogja sini. Tapi ternyata Benteng Bukit Cening lebih didominasi oleh tanah lapang yang agak luas. Nggak ada bangunan antik yang berdiri sama sekali.

 

Wew....

 

Eh, katanya nama Cening itu berasal dari nama panglima yang dahulu memegang komando di benteng ini.

 

Yang Namanya Meriam Tupai Beradu itu

Di dekat plang nama situs terdapat papan informasi yang memuat sejarah singkat Benteng Bukit Cening. Berikut adalah salinan isi papan informasi tersebut.

 

Situs Cagar Budaya Benteng Bukit Cening

 

Benteng berukuran 32 meter x 30 meter ini terletak di Bukit Cening Kampung Seranggung. Dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah III (1761 – 1812). Di dalam benteng terdapat 19 buah meriam, dua di antaranya bertuliskan angka 1783 dan 1797 serta VOC. Meriam terpanjang berukuran panjang 2,80 meter dan berdiameter 12 cm disebut dengan Meriam Tupai Beradu yang diapit kiri-kanan dengan Meriam Mahkota Raja.

 

wujud penampakan fasad bangunan pelindung koleksi meriam peninggalan Belanda di Benteng Bukit Cening Lingga pada April 2016
Tempat meriam-meriam disimpan. Dahulu kala meriam-meriamnya berserakan di sana-sini.

 

Sesuai keterangan yang termuat di papan informasi, di Benteng Bukit Cening ini terdapat suatu bangunan yang fungsinya sebagai tempat penyimpanan meriam. Bila membandingkan dengan foto yang diambil pada tahun 2011, terlihat bahwa dahulunya tidak ada atap yang melindungi bangunan ini.

 

Jadi ya Alhamdulillah, sudah ada perubahan yang cukup positif dalam hal perawatan benda peninggalan bersejarah di Pulau Lingga. PR-nya tinggal memperkokoh jalan tanah padas dengan aspal sampai ke puncak Benteng Bukit Cening, hehehe.

 

susunan meriam Kesultanan Lingga yang terdapat di Benteng Bukit Cening Lingga pada April 2016
Sebagian besar sudah berkarat! Gara-gara sering terkena angin dan hujan apa ya?

 

Sebagian besar meriam-meriam tersebut ditata sejajar dengan mulut meriam menghadap ke arah lautan lepas. Seakan-akan meriam-meriam ini masih bertugas jaga melindungi Pulau Lingga dari serbuan para perompak yang datang dari laut.

 

Tapi aku ya penasaran sama benteng-benteng seperti Benteng Bukit Cening ini. Yaitu benteng yang berdiri di puncak bukit dan menghadap ke laut. Apa prajurit yang bertugas jaga di sini nggak terlena dengan indahnya pemandangan yang tersaji ya?

 

Karena ya mengingat lokasi Benteng Bukit Cening ini ada di puncak bukit, alhasil pemandangannya pun sedap dipandang mata. Dari bangunan penuh meriam ini kita bisa menyaksikan lautan lepas serta pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Lingga.

 

pemandangan pulau selat kolombok dari gardu pandang Benteng Bukit Cening Lingga pada April 2016
Pemandangannya cantik tapi jadi pintu masuknya para perompak.

 

Tentang meriam terpanjang yang bernama Meriam Tupai Beradu itu... sebenarnya nggak benar-benar memiliki ornamen dua tupai yang sedang beradu.

 

Terkaanku, alasan mengapa meriam terpanjang ini diberi nama Meriam Tupai Beradu adalah karena gagang meriam ini berbentuk mirip seperti tupai. Sayangnya gagang meriam sudah berkarat dan aus, jadi bentuk aslinya sulit untuk diterka. Apakah memang berbentuk hewan ataukah nggak.

 

Satu-satunya ornamen di Meriam Tupai Beradu yang masih bisa aku terka meskipun berkarat adalah lambang negara Kerajaan Belanda. Lebit tepatnya lambang negara Republic of the Seven United Netherlands (Republiek der Zeven Verenigde Nederlanden).

 

Yups! Itu adalah tanda bahwa Meriam Tupai Beradu (dan sejumlah meriam lain) adalah made in londo alias buatan Belanda!

 

meriam tupai beradu Benteng Bukit Cening Lingga pada April 2016

meriam bentuk tupai beradu Benteng Bukit Cening Lingga pada April 2016

lambang kerajaan belanda di Meriam Tupai Beradu yang terdapat di Benteng Bukit Cening 2016
Meriam Tupai Beradu dari dekat.

 

Keberadaan meriam dengan lambang negara Kerajaan Belanda ini boleh jadi bakal membuat Pembaca bertanya-tanya,

 

“Kok bisa meriam Belanda ada di sini?
Kan Belanda penjajah?

Apa ini meriam hasil rampasan perang atau gimana?”

 

 

Nah, kalau menurut wawasan sejarahku yang masih ecek-ecek ini , meriam-meriam ini bukan hasil rampasan perang, melainkan diberikan oleh Kerajaan Belanda. Barangkali lewat perantara VOC. Eh, Pembaca tahu VOC itu apa toh?

 

Untuk lebih jelasnya, mari kita buka lagi lembaran sejarah Pulau Lingga. Khususnya, di saat Kesultanan Lingga masih eksis.

 

koleksi benda sejarah meriam kecil Kerajaan Belanda di Benteng Bukit Cening Lingga pada April 2016

tanggal tahun pembuatan simbol mahkota raja dan tulisan VOC tertera di badan Meriam Raja Benteng Bukit Cening Lingga pada April 2016
Meriam kecil lain dan Meriam Mahkota Raja (karena ada simbol mahkota raja).

 

Seperti yang pernah aku singgung di artikel sebelum ini, Kesultanan Lingga itu asal muasalnya dari pecahan Kesultanan Johor. Kenapa Kesultanan Johor dipecah? Alasannya adalah karena Belanda dan Inggris sama-sama rebutan daerah koloni (alias daerah jajahan ).

 

Pada tahun 1824, Belanda dan Inggris menyepakati Perjanjian London (Traktat London). Salah satu isi kesepakatannya adalah Semenanjung Malaka (sekarang jadi bagian Singapura dan Malaysia) menjadi milik Inggris. Sedangkan Kepulauan Riau jadi milik Belanda.

 

Di masa itu, Semenanjung Malaka sekaligus Kepulauan Riau merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Johor. Karena Kesultanan Johor sudah jadi “milik” Inggris, mau nggak mau Belanda harus membuat pemerintahan lokal di Kepulauan Riau. Singkat cerita, Belanda kemudian “mendirikan” Kesultanan Lingga.

 

 

Perlu Pembaca ketahui, bentuk penjajahan Belanda itu adalah dengan melalui pemerintahan lokal yang difungsikan layaknya pemerintahan boneka. Yang disebut sebagai pemerintahan boneka itu walaupun ada raja atau sultan yang memerintah, tampuk kendali pemerintahan tetap di tangan Belanda. Kasarnya, biarlah pemerintah lokal yang mengurus rakyat sedangkan Belanda menikmati hasil kerja mereka. #sedih

 

Maka dari itu, supaya wilayah jajahan tetap aman (dan bisnis juga tetap lancar ), Belanda turut mempersenjatai benteng-benteng pertahanan di Pulau Lingga dengan meriam-meriam. Itulah sebabnya mengapa meriam-meriam di Benteng Bukit Cening ini ada cap merk londo.

 

Eh, seandaianya ocehanku di atas itu kurang tepat silakan dikoreksi lho ya!

 

Yang Menapak Tilas Jejak Leluhur

Seperti yang bisa Pembaca amati pada foto-foto di atas, pada siang hari itu yang berkunjung ke Benteng Bukit Cening bukan hanya aku dan Mawan saja. Ada juga serombongan keluarga yang rata-rata berusia paruh baya.

 

Dari hasil obrolan Mawan dengan mereka, katanya mereka ini keturunannya Sultan Lingga. Mereka singgah di Benteng Bukit Cening ini untuk menapak tilas jejak para leluhur. Alhamdulillah! Berarti masih ada yang ingat sama nenek moyang.

 

suasana kondisi situs sejarah melayu Kesultanan Lingga yaitu Benteng Bukit Cening Lingga pada April 2016
Tanah lapang yang agak luas tanpa ada sisa-sisa bangunan antik.

 

Kalau katanya Mawan, masih banyak benteng-benteng pertahanan lain yang serupa seperti Benteng Bukit Cening ini. Baik itu di Pulau Lingga maupun di pulau-pulau kecil yang ada di sekitar sini. Siapa tahu di benteng-benteng tersebut juga terdapat meriam-meriam peninggalan Belanda?

 

Rasa-rasanya, Pulau Lingga (dan pulau-pulau kecil di sekitarnya) masih memiliki sudut-sudut tersembunyi yang menyimpan beragam peninggalan bersejarah. Entah siapa yang kelak akan menemukan dan mengungkapkannya. Semoga saja tidak malah disalahgunakan.

 

Dari Benteng Bukit Cening, kami pun melanjutkan perjalanan blusukan di Pulau Lingga. Tentu hanya Gusti Allah SWT dan Mawan yang tahu ke mana tujuan selanjutnya.

 

 

Pembaca pernah ke benteng yang wujudnya seperti ini?


NIMBRUNG DI SINI

UPS! Anda harus mengaktifkan Javascript untuk bisa mengirim komentar!
  • ARMANDO CAçãO
    avatar komentator ke-0
    ARMANDO CAçãO #Minggu, 5 Jun 2022, 13:59 WIB
    The cannon meriam
    tupai beradu is
    portuguese made in
    Macau (China) by
    the same man that
    made Si Jagur, in
    Jakarta.
  • ARMANDO CAçãO
    avatar komentator ke-1
    ARMANDO CAçãO #Senin, 14 Feb 2022, 18:36 WIB
    Dear Sir. I need to
    use some of your
    photos, for a work
    Im doing about
    Macau-China cannons
    and Ild be glad if
    you could contact
    me.Thanks.
  • ARMANDO CAçãO
    avatar komentator ke-2
    ARMANDO CAçãO #Jumat, 11 Feb 2022, 20:42 WIB
    Dear friend Ild
    like to discuss
    about squirrel
    fighting cannon,
    that is portuguese
    and not holandese.
  • ARMANDO CAçãO
    avatar komentator ke-3
    ARMANDO CAçãO #Kamis, 15 Okt 2020, 18:06 WIB
    "Meriam tupai beradu dari dekat" I believe is a portuguese cannon made in Macau,
    between 1626 and 1640. The arms in the middle are portuguese crown with two angels in
    the sides, that means Macau, former portuguese city in China, near Hong Kong. This is a
    very rare piece. Please contact me. Thanks.
  • IKROM
    avatar komentator ke-4
    IKROM #Sabtu, 31 Des 2016, 15:08 WIB
    Wah lumayan juga ya perjalanannya.
    Yang saya inget, perkembangan bahasa Melayu yang akan jadi bahasa Indonesia dari sini.
    Dulu guru SMP sering bicara kerajaan ini dan pujangganya, Raja Ali Haji dengan gurindam 12-nya.
    Btw, meriamnya asyik juga ya? Ah jadi pengen ke sana.
    Iya, Raja Ali Hali asalnya dari Pulau Penyengat. Dulu pulau itu masuk wilayahnya Kesultanan Lingga.
  • HASTIRA
    avatar komentator ke-5
    HASTIRA #Sabtu, 31 Des 2016, 02:38 WIB
    Wah mau ke sana daerahnya gersang ya? Tapi kalau dah sampai lihat meriam yang kayak jaman dulu itu sesuatu secara aku suka lihat yang berbau kuno.
    Iya, perjalanan ke sana agak-agak susah. Apalagi kalau nggak pakai sepeda motor. :)
  • BERSAPEDAHAN
    avatar komentator ke-6
    BERSAPEDAHAN #Sabtu, 10 Des 2016, 13:36 WIB
    Perusak alam gak pernah kapok-kapok ya ... sebelll
    Btw ... bekas bentengnya tidak terlalu ditata baik ... tapi lumayanah masih melihat sisa-sisa peninggalan sejarahnya.
    Iya, di mana-mana selalu ada orang yang merusak alam. :p