Sehabis menikah, aku blas belum pernah lagi bersepeda sendirian yang agak jauh pada Sabtu atau Minggu. Beberapa kali bersepedanya bareng Dwi atau Mbah Gundul.
Pun sekarang bersepeda akhir pekannya nggak sesering dulu. Biasanya, Sabtu dan Minggu padat sama agenda keluyuran bareng istri (naik sepeda motor #hehehe). Entah itu motret sejak pagi buta, blusukan di hutan, atau keluar-masuk kios-kios tanaman hias. #hehehe
SILAKAN DIBACA
Ndilalah, pada Minggu (27/10/2018) yang lalu ada kesempatan buat bersepeda sendirian yang agak jauh. Tapi, karena sudah lama nggak bersepeda yang seperti itu, jadi sebaiknya rutenya jangan yang terlampau ngoyo. Umur kan juga sudah kepala 3. #hehehe #banyak.alasan
Akhirnya, diputuskanlah bersepeda menyambangi Desa Gulon yang terletak di Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Walaupun letaknya di luar Yogyakarta, jarak dari rumah ke Desa Gulon “lumayan dekat”, sekitar 22 km lewat Jl. Raya Yogyakarta – Magelang.
Berangkat dari Yogyakarta
Sekitar pukul 6 pagi, dimulailah perjalanan bersepeda ke Desa Gulon. Karena Minggu dan masih pagi, jadinya kendaraan bermotor (terutama bus dan truk) yang melintas di Jl. Raya Yogyakarta – Magelang masih sedikit. Enak buat bersepeda.
Kalau nggak salah, terakhir kali aku bersepeda lewat Jl. Raya Yogyakarta – Magelang itu sekitar tahun 2011 silam. Walaupun sudah bertahun-tahun yang lalu, bersepeda lewat Jl. Raya Yogyakarta – Magelang rasanya masih sama... nanjak. #senyum.lebar
Buatku, bersepeda nanjak di Jl. Raya Yogyakarta – Magelang masih lebih mending dibandingkan dengan Jl. Kaliurang atau Jl. Palagan Tentara Pelajar. Tapi, karena sudah lama nggak bersepeda nanjak sejauh belasan kilometer, jadinya sempat berhenti-berhenti di tengah perjalanan.
Perumahan yang Terbengkalai
Di sekitar Jl. Raya Yogyakarta – Magelang km 14 ada kompleks perumahan yang bernama Kusuma Raffles. Dari dulu aku penasaran sama isinya.
Dari pinggir Jl. Raya Yogyakarta – Magelang, kondisi gerbang kompleks perumahan Kusuma Raffles kelihatan terbengkalai. Begitu melongok isi kompleksnya, ternyata baru ada segelintir rumah yang dibangun. Kondisinya juga sama-sama terbengkalai.
Eman-eman sebetulnya melihat kompleks perumahan yang terbengkalai seperti ini. Orang-orang Jogja pada butuh rumah (murah #hehehe). Eh, ini banyak lahan nganggur dan rumah kosong malah jadi sarangnya para dhemit. #hehehe
Stasiun Kereta yang Berubah Fungsi
Sebetulnya, pemberhentian kedua ini nggak direncanakan. Iseng-iseng saja aku kepingin lewat Pasar Tempel. Letaknya di sekitar Jl. Raya Yogyakarta – Magelang km 17.
Pas menyusuri jalan menuju ke Pasar Tempel, aku lihat ada papan yang memuat nama PT Kereta Api Indonesia. Aku lalu bertanya ke ibu yang sedang menyuapi anaknya.
Rupanya, jalan yang aku lewati ini dulunya adalah jalur rel kereta api di kawasan Stasiun Tempel. Salah satu stasiun di jalur kereta api Yogyakarta – Secang yang sekarang sudah nonaktif.
Alhamdulillah, bekas bangunan Stasiun Tempel masih ada. Bangunan antik yang dicat pink itu sekarang digunakan oleh TPA (Tempat Penitipan Anak) Putra Sembada II.
Menyeberang dari Yogyakarta ke Jawa Tengah
Dari Pasar Tempel, Jembatan Krasak yang notabene merupakan perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah sudah di depan mata. Tapi, aku kepingin mencoba rute lain ke Desa Gulon tanpa melewati Jl. Raya Yogyakarta – Magelang.
Jadi, dari Pasar Tempel aku menyusuri Jl. Tempel – Turi ke arah timur laut. Menurut penerawangannya Google Maps, katanya di sana ada jalan yang menghubungkan provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Menarik ini! Setahuku jalan yang menghubungkan DI Yogyakarta dan Jawa Tengah di kawasan Jl. Raya Yogyakarta – Magelang hanya Jembatan Krasak (yang membentang di atas Kali Krasak).
Bersepedalah aku di Jl. Tempel – Turi. Walaupun sekarang jalannya lebih nanjak dari Jl. Raya Yogyakarta – Magelang, tapi enaknya lewat sini itu lebih sepi. Mengikuti petunjuk Google Maps, aku pindah blusukan masuk kampung-kampung. Suasananya jelas jadi lebih damai dan asri.
Dari jalanan kampung, pindah lagi lewat jalanan berbatu di pinggir sawah dan ladang. Inilah resikonya mengikuti petunjuk arah dari Google Maps. Ada jalan tapi nggak tahu apakah jalannya itu beraspal atau nggak. #hehehe
Di penghujung jalan berbatu terlihat suatu benda kecil di tanah. Itu patok batas wilayah provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah!
Kalau sudah terlihat patok ini, itu tandanya jalan penghubung provinsi sudah dekat. Tapi di mana jalannya?
Tiba-tiba ada seorang bapak warga yang lewat. Katanya pemandangan di ujung sana lebih bagus.
Lho? Apa maksudnya pemandangannya lebih bagus? Kan ini sedang mencari jalan penghubung dua provinsi?
HOLADALAAA!!!
Jebul ternyata jalan penghubung yang sedang dicari-cari itu bukan berwujud jalan… tapi sabo dam sungai!
Eh, pemandangannya bagus sih memang. Di sekitaran Yogyakarta, Oktober 2018 belum masuk musim hujan. Tapi, sungainya (Kali Krasak) masih mengalirkan air yang lumayan deras.
Air yang mengalir turun lewat sabo dam sungai berwujud mirip air terjun. Mirip-mirip seperti pemandangan di lembah Jembatan Mangunsuko. Tapi, yang ini air terjunnya lebih banyak. #senyum
Mencermati adanya tulisan besar “Watu Purbo” dan akses menuju sabo dam, sepertinya warga setempat sedang memoles tempat ini menjadi objek wisata. Tapi, pas waktu itu di sana nggak ada warga yang berjaga. Hanya ada sekumpulan bapak-bapak yang sedang menebang pohon.
Bapak-bapak itu bilang bahwa sepeda bisa dibawa menyeberangi sabo dam. Jadi ya… itulah yang kemudian dipraktikkan. #hehehe
Kurang kerjaan banget memang. Meniti turun-naik anak tangga sabo dam sambil memanggul Trek-Lala. Pas menyeberangi sabo dam, Trek-Lala aku tuntun. Daripada nanti kalau ditunggangi kepeleset dan jatuh bisa runyam urusannya. #hehehe
Sekali lagi, resikonya berpedoman pada petunjuk Google Maps itu bisa tahu ada jalan, tapi nggak tahu apakah jalannya beraspal atau bukan.
Untung aku naik sepeda. Kalau naik sepeda motor ya balik lagi lah turun menyeberang ke Magelang lewat Jembatan Krasak, hehehe. #hehehe
Blusukan di Magelang
Setelah menyeberangi sabo dam, pindahlah posisiku dari Yogyakarta ke Jawa Tengah. Di seberang sabo dam sisi Jawa Tengah medan petualangan selanjutnya sudah menyambut...
Ladang cabai!
Duh!
Lagi-lagi, sungguh amat suatu hal yang kurang kerjaan sekali menuntun sepeda di tengah ladang cabai sambil disaksikan bapak petani cabai. #hehehe
Setelah berhasil meloloskan diri dari ladang cabai, langkah berikutnya adalah memastikan arah menuju ke jalan raya kepada seorang bapak warga. Ini lagi-lagi karena Google Maps kurang canggih membedakan mana jalan raya dan mana jalan yang nggak jelas. #hehehe
Dengan mengikuti jejak truk pasir akhirnya jalan rayanya ketemu juga. Sehabis itu melanjutkan perjalanan bersepeda ke arah barat. Blusukan keluar-masuk kampung menuju Desa Gulon.
Pemandangan di sepanjang jalan masih asri banyak sawah. Selain sawah sempat juga melewati kebun salak, jembatan besi, dan rumah produksi kerupuk.
Sepanjang perjalanan di wilayah Magelang ini, aku jarang melewati warung makan. Jadinya ya berhenti sebentar di toko kelontong. Makan roti murah sekaligus mengisi ulang air minum. Mbak kasir toko menyangka aku mau bersepeda ke Gunung Merapi. #haduh
Sebetulnya, aku punya misi di Desa Gulon, yaitu menyambangi Dusun Probolinggo. Ada rumor bahwa katanya di Dusun Probolinggo itu ada kolam besar. Bahasa Jawanya blumbang gedhe.
Penasaran aku. Masak sih di Desa Gulon, Magelang ada blumbang besar? Setahuku yang banyak blumbang-nya itu ya di Klaten.
Di pertigaan Gulon (Jl. Raya Yogyakarta – Magelang sekitar km 24) berujunglah perjalananku blusukan di kampung-kampung. Karena Google Maps nggak bisa menunjukkan letak Dusun Probolinggo, bertanyalah aku kepada seorang bapak tukang parkir.
Hooo, rupanya Dusun Probolinggo itu nggak begitu jauh dari pertigaan Gulon. Cuma beberapa ratus meter ke utara dari pertigaan. Seharusnya, kalau tadi aku tetap bersepeda lewat Jl. Raya Yogyakarta – Magelang, sepertinya bisa tiba di lokasi lebih cepat, hehehe. #hehehe
Di sekitar pertigaan Gulon ini aku sempat sedih #hiks. Pas mau beli pulsa, tiga kios pulsa yang aku sambangi sedang kehabisan stok pulsa! Kok ya bisa sih mereka habisnya bersamaan!?
Masuklah aku di Dusun Probolinggo. Endus sana-sini, kok nggak ada bau-baunya blumbang gedhe ya?
Daripada semakin tambah bingung, bertanyalah aku kepada seorang bapak sepuh yang sedang duduk-duduk di teras rumah. Sang bapak memberikan informasi yang mencengangkan,
“Blumbang-nya sekarang sudah jadi makam Mas.”
WEH!
“Itu cerita orang-orang dulu sebelum saya lahir.”
WEEEEEH!
Daripada sampai di Dusun Probolinggo nggak dapat apa-apa, jadi ya aku hampiri sajalah itu pemakaman. Pas sampai di sana kondisinya sepi #ya.iyalah. Nggak ada orang buat ditanya-tanyai.
Sempat celingak-celinguk di dalam makam mencari “sesuatu” yang siapa tahu menarik. Untung tingkahku nggak dicurigai sama anak-anak sekolah yang lewat. Tapi ya akhirnya tetap nggak dapat apa-apa.
Di dekat pendopo makam ada toilet yang sumber airnya dari sumur. Tapi pas aku lihat kok airnya malah kering. Sepertinya kurang meyakinkan kalau itu sisa-sisa blumbang gedhe.
Betul-betul nggak ada belumbang gedhe ini?
Karena hasil penjelajahan di Dusun Probolinggo, Gulon nggak membuahkan hasil seperti rumor, jadilah dengan demikian petualangan pada hari ini disudahi. Untung jalan pulangnya enak tinggal menyusuri Jl. Raya Magelang – Yogyakarta. Walaupun ya karena hari semakin siang jadi harus bersepeda di antara padatnya kendaraan bermotor. #hehehe
Sebelum melewati gapura batas provinsi, mampir dulu di warung soto dekat Kantor Polsek Salam. Lumayan sebagai penyemangat perjalanan pulang. #hehehe
mampir di rumah yang terbengkalai di arah ke Merapi. Mampir foto di depannya, terus pas
pulangnya cek lagi jadi merinding hahaha