Etika Berwisata Alam
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak alam!
- Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Hati sebetulnya masih setengah ikhlas.
Rencana awalnya, pada Minggu (7/10/2018) yang lalu aku kepingin ngajak Dwi nyari tanaman hias di Tawangmangu. Eh, tapi sang istri malah kepingin ikutan Mbak Mar + Tirta + Nove nyunrise di telaga merah Gunung Merapi.
Padahal, Sabtu sehari sebelumnya (6/10/2018) Mbak Mar + Tirta + Nove + adiknya Nove sudah nyunrise di sana. Tapi, karena pas Sabtu itu kami ada acara, jadinya nggak bisa nimbrung deh.
Oleh sebab katanya kurang lengkap kalau nggak ada fotonya Mbak Mar + Tirta + Nove + Dwi di lokasi, jadinya para ndemblik #hehehe itu membujuk istrinya aku buat ikutan nyunrise di sana pada keesokan harinya, pada hari Minggu itu.
Beh!
Pikirku,
“Kok gampang banget sih buat tiga cewek lajang itu diizinkan keluyuran pagi buta sama orang tua mereka?”
“Nggak sabaran banget sih mereka? Kok nggak motret ke sana laginya pas hari Sabtu depan atau Minggu depannya lagi saja?”
Aku berusaha membujuk Dwi supaya dia mengubah jadwal ngumpul bareng gerombolannya itu jadi minggu depan saja. Eh, yang ada dirinya malah semakin bersikukuh kepingin ikutan nyunrise bareng mereka daripada ke Tawangmangu. Alasannya, perjalanan ke Tawangmangu sejauh 100 km dari rumah itu bikin capek. #masuk.akal.sih
Ah, tapi aku yakin sang istri belum bisa move on dari tanaman hias yang konon dijual di Tawangmangu itu. Paling nanti kalau dipamer-pameri Nove, dirinya bakal ngoceh kepingin punya itu tanaman hias. Hiiih! #hehehe
SILAKAN DIBACA
Jadi ya jadi, demi memenuhi keinginan sang istri, pada hari Sabtu sekitar pukul 4 pagi kurang ngebutlah kami menyusuri Jl. Palagan Tentara Pelajar menuju rumahnya Mbak Mar di Turi, Sleman. Sepanjang perjalanan, jalanan tertutup kabut tipis.
Kami tiba di rumah Mbak Mar beberapa belas menit setelah azan Subuh berkumandang. Di sana sudah menanti Tirta yang menginap dari semalam.
Selesai menumpang salat Subuh di kamarnya Mbak Mar yang dicat biru bermotif, perjalanan pun berlanjut. Mbak Mar dan Tirta berboncengan. Mereka ngebut di depan sebagai pemandu arah.
Aku kurang paham dengan rute masuk-keluar kampung yang dipilih Mbak Mar. Yang jelas, ujung-ujungnya kami bertemu Nove di pertigaan dekat Pasar Balerante, Turi.
Setelah berkumpul dengan Nove, perjalanan berlanjut dengan menyeberangi Kali Krasak. Pindahlah kami ke Kecamatan Srumbung di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Di wilayah Magelang, Mbak Mar tetap ngebut mengemudikan sepeda motornya. Pilihan rutenya semakin nggak jelas. Meliak-meliuk masuk-keluar jalan perkebunan salak yang gelap gulita. Untung sudah subuh, jadi dhemit-dhemit sudah pada pulang. #horor
Aku hanya bisa pasrah. Sepertinya hanya Gusti Allah SWT dan Mbak Mar saja yang tahu di manakah tujuan akhirnya. Semoga pula nggak ada adegan nyasar. #hehehe
Ujung-ujungnya Mbak Mar mengarahkan kami melintasi jalan yang kondisinya rusak berbatu becek nggak jelas. Sepeda motor rawan banget tergelincir. Apalagi nggak ada penerangan jalan.
Setelah berjibaku selama beberapa menit, sepeda motor pun terparkir di tengah hamparan pasir. Tirta menyebut di sinilah spot pemotretan telaga merah.
Jam menunjukkan pukul 5 pagi. Suasana masih gelap. Selimut kabut juga belum hilang. Telaga merah yang dimaksud nggak terlihat. Gunung Merapi juga sama tak terlihatnya. Objek yang terlihat jelas hanyalah pancaran lampu truk-truk yang hilir-mudik.
Hooo, rupanya ini di area penambangan pasir toh. Para penambang pasir rupa-rupanya pula sudah beraktivitas pagi buta begini.
Tanpa adanya objek menarik untuk dijeprat-jepret, keempat perempuan itu pun ngobrol ngalor-ngidul. Mereka seperti baru berjumpa setelah sekian bulan lamanya menghilang tanpa jalinan media sosial. #hehehe
Aku sendiri mutung nggak jelas #hehehe. Guna melampiaskan emosi, aku sikatlah bekal jajanan pasar yang dibuat oleh ibunya Mbak Mar. Lumayanlah buat obat ngantuk menunggu suasana terang.
Waktu kian bergulir. Hari pun semakin beranjak siang. Telaga merah yang dimaksud mulai terlihat. Aku yang tadi mutung semakin bergembira, karena
GUNUNG MERAPINYA TERTUTUP MENDUNG + KABUT!
“Rasakno,” batinku, “Salah e dewe ora sabaran! Mrenene ora minggu ngarep wae!” #hehehe
Mbak Mar dan Tirta mulai menyayang-nyayangkan.
Padahal kemarin cerah.
Padahal dari CCTV Merapi cerah.
Padahal dan sebagainya. Dan sebagainya....
Apa pun keluhan mereka, aku blasss ora peduli! #senyum.lebar
Tapi, walaupun Gunung Merapi nggak menunjukkan batang lerengnya, keempat perempuan itu tetap berfoto-foto dengan latar telaga merah. Aku sendiri membuang-buang waktu dengan menjeprat-jepret ala kadarnya.
Aku semakin bahagia ketika rintik gerimis mulai membasahi lokasi. Itu tandanya kabut masih betah bercengkerama. Itu juga tandanya Gunung Merapi nggak bakal menunjukkan diri.
Guna semakin mematahkan semangat, aku mengoceh bahwa selimut kabut serta awan mendung bakal bertahan sampai siang. Percuma saja menunggu. Matahari sebentar lagi sudah naik terlampau tinggi. Artinya, gagal sudah mendapatkan pesona Gunung Merapi dengan latar telaga merah pada saat fajar.
Selang beberapa saat, keempat perempuan itu menyudahi aksi foto-foto. Kamera-kamera disimpan kembali ke dalam tas. Kami beranjak balik ke tempat sepeda motor diparkir.
Eeeeeeeh... nggak tahunya....
Kira-kira pukul 7 lewat sedikit menit, matahari yang posisinya sudah agak tinggi tiba-tiba menyembul dari balik awan mendung!
Melihat ada suatu harapan baik, keempat perempuan itu kembali mendekat ke telaga merah. Aku masih berdiam di jok sepeda motor dengan hati gelisah.
Seiring dengan itu, Gunung Merapi pelan-pelan memunculkan diri. Alhasil, keempat perempuan itu kembali menggelar acara foto-foto. Sungguh bahagia raut wajah mereka ketika melihat pemandangan Gunung Merapi bersanding elok dengan Gunung Merbabu.
Mau nggak mau aku pun ikut mendekat. Batu-batu kecil kususun-susun sembari menahan dongkol. Kok bisa-bisanya Gunung Merapi memunculkan diri? Harusnya Gunung Merapi tertutup mendung saja sampai sore! #jengkel
Yah, mungkin ini sentilan dari Gusti Allah SWT karena aku sudah berniat buruk, menghalangi kebahagiaan keempat perempuan itu. #hehehe
Tapi ya coba deh dipikir-pikir. Seandainya Mbak Mar, Tirta, dan Nove sudah menikah, apa ya mungkin masih bisa motret-motret seperti ini? Apalagi kalau sudah beranak-pinak. #hehehe
Maka dari itu… mbok ya Gunung Merapi tertutup mendung lagi dong... please.... #eh #hehehe
yo...LOL....