Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah
- Jangan buang sampah sembarangan!
- Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
- Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
- Patuhi peraturan yang berlaku!
- Jaga sikap dan sopan-santun!
- Jangan hanya foto-foto selfie thok!
- Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!
Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.
Candi Tegowangi yang terletak di Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur adalah candi yang unik dan menarik. Dinding candi induk dan candi perwaranya sama-sama dihiasi banyak relief. Jika relief candi perwara berhiaskan suasana kehidupan masa lampau, maka relief candi induk menampilkan penggalan kisah Sudamala.
Apa itu kisah Sudamala?
Sudamala adalah gabungan dari kata "suda" dan "mala". Dalam bahasa Jawa modern, kata "suda" berarti mengurangi, sedangkan "mala" berarti petaka. Adapun dalam bahasa Jawa kuno, kata "suda" berarti bersih, sedangkan "mala" berarti kekotoran. Dengan demikian, sudamala bisa diartikan sebagai pengenyah hal buruk.
Kisah Sudamala adalah kisah sempalan (spin-off) dari epos Mahabharata. Tokoh utama kisah ini adalah Sadewa, si bungsu dari Pandawa bersaudara. Sudamala adalah gelar yang dianugerahkan kepada Sadewa berkat jasanya mengenyahkan kutukan yang menimpa Dewi Uma.
Buku Acuan Kisah Sudamala
Pada era kolonial, relief kisah Sudamala yang terukir pada dinding Candi Tegowangi pernah diteliti oleh seorang Belanda bernama Pieter Vincent van Stein Callenfels. Pada tahun 1925, beliau menerbitkan hasil penelitiannya sebagai buku yang berjudul “De Sudamala in de Hindu-Javaansche kunst” (The Sudamala in the Hindu-Javanese Arts).
Bagi Pembaca yang penasaran, syukur Alhamdulillah versi digital buku antik tersebut dapat dibaca pada tautan:
Hanya saja, buku tersebut berbahasa Belanda. Jadi, agar lebih mudah memahami isi buku, peranan Google Translate amat sangat membantu. #senyum.lebar
Buku itulah yang menjadi referensi utama penulisan artikel ini. #senyum
Pengantar Penelitian Kisah Sudamala
Jikalau menyimak kata pengantar, pada tahun 1920-an para ahli masih belum mengetahui kisah yang terpahat pada relief candi induk Tegowangi. Walaupun demikian, dari adanya panel relief yang menampilkan sosok Pandawa bersaudara, muncul dugaan bahwa relief candi induk Tegowangi berhubungan dengan kisah Mahabharata.
Tapi masalahnya, bagian kisah Mahabharata yang mana? #senyum.lebar
Awal mulanya, van Stein Callenfels menduga relief candi induk Tegowangi berkaitan dengan lakon Kartawiyoga. Lakon ini mengisahkan sepak terjang Arjuna dalam menyelamatkan Dewi Eriwati yang diculik Kartawiyoga.
Selain meneliti relief Candi Tegowangi, pada tahun 1915 van Stein Callenfels pernah meneliti relief Candi Jago. Sewaktu meneliti relief Candi Jago, van Stein Callenfels menjumpai panel relief yang menampilkan sosok Pandawa bersaudara. Sayang, panel relief tersebut tertutup lumut yang lumayan tebal. #sedih
Dari keberadaan panel relief Pandawa bersaudara di Candi Jago dan Candi Tegowangi, van Stein Callenfels menduga bahwa relief kedua candi tersebut memiliki kisah yang sama. Dugaan ini semakin kuat dengan adanya panel relief yang menampilkan sosok wanita bertudung kepala yang sedang mendapat ancaman dari sosok wanita besar. Panel relief yang menampilkan dua sosok wanita ini juga terdapat di Candi Jago dan Candi Tegowangi.
Sayangnya, dugaan yang dibangun oleh van Stein Callenfels tersebut runtuh ketika lapisan lumut tebal yang menutupi relief Candi Jago dibersihkan. Sosok besar dengan pose mengancam yang terdapat pada relief Candi Jago ternyata bukan sosok wanita!
Jadi, relief Candi Jago dan relief Candi Tegowangi tidak memiliki kisah yang sama. Kedua relief ini juga tidak berkaitan dengan lakon Kartawiyoga. Alhasil, kisah yang terpahat pada relief Candi Tegowangi masih misterius.
Misteri kisah relief ini akhirnya terjawab saat van Stein Callenfels mengunjungi Bali pada tahun 1919. Di sana, seorang warga lokal menceritakan kisah Sudamala yang mana sangat pas dengan adegan-adegan yang terpahat pada relief Candi Tegowangi. Kisah Sudamala masih diketahui di Bali, tetapi sudah dilupakan di Jawa.
Van Stein Callenfels kemudian berupaya mengumpulkan naskah kisah Sudamala. Ia berhasil mengumpulkan 12 naskah yang berasal dari Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (bekas kantornya di Museum Nasional), Warneriaansch Legaat, dan Leiden Ethnographisch Museum.
Sayang, sebagian besar naskah kisah Sudamala yang berhasil dikumpulkannya itu sudah tidak utuh. Selain itu, banyak pula naskah yang isinya berbeda. Itu karena kisah Sudamala diriwayatkan secara lisan dalam bentuk kidung (syair yang dinyanyikan). Isi syair tentu dapat berbeda-beda tergantung sang penutur.
Beberapa contoh syair dalam Kidung Sudamala adalah seperti ini:
Raden sadewa haturre, nher sira hanembah, saturrannipun sadewa mangko, tan wikan pun sadewa nglukat, padaning hyang dewi mangke.
Hanglukata wong babaneh, pun sadewa tan bisa, patakanisun sadewa mangko, tanwikan pun sadewa nglukat, singgi laraning pangang waneh.
Tuhu ngko hanglumuh mangke, sira nglukateringngwang, sadewa mati kita deningong, yen kita hanglumuh anglukat, masa ngko huripa mne.
Yang terjemahan bebasnya kira-kira seperti ini:
Raden Sadewa berkata, sambil menghaturkan sembah, Sadewa menjawab bahwa ia tidak tahu caranya membebaskan sang dewi.
Saya tidak bisa membebaskan, jangankan dewi, manusia pun tak bisa. Sungguh celaka beratlah saya tidak bisa membebaskan sang dewi.
Sadewa, kalau kamu tidak mau membebaskan aku, maka kamu akan mati. Kalau kamu tidak mau membebaskan aku, bagaimana caranya kamu bisa tetap hidup?
Awal Kisah Sudamala
Kisah Sudamala berawal dari kemalangan yang menimpa Dewi Uma. Alkisah, pada suatu ketika Batara Guru mendapati Dewi Uma berselingkuh. Batara Guru pun marah besar dan mengutuk Dewi Uma.
Oleh Batara Guru, Dewi Uma yang cantik diubah menjadi sosok buruk rupa yang disebut Durga. Tak hanya itu, Batara Guru juga mengasingkan Dewi Uma ke kuburan angker yang bernama Setra Gandamayu. Di sana, Dewi Uma menjadi pimpinan para setan dan makhluk halus. Dewi Uma pun berganti nama menjadi (Durga) Ra Nini.
Batara Guru bersabda, kutukan yang menimpa Dewi Uma baru akan sirna setelah 12 tahun. Yang akan membebaskan Dewi Uma dari kutukan adalah Sadewa, si bungsu dari Pandawa bersaudara.
Yang disebut Dewi Uma adalah istri dari Batara Guru. Dewi Uma adalah nama Jawa dari Dewi Parwati. Batara Guru adalah nama Jawa dari Dewa Siwa.
Pada lain waktu, Batara Guru mengutuk dua penghuni Kayangan dikarenakan perbuatan mereka yang tidak terpuji. Batara Guru mengubah wujud mereka menjadi raksasa mengerikan. Nama keduanya berganti menjadi Kalanjaya dan Kalantaka.
Sama seperti Dewi Uma, Batara Guru juga mengusir Kalanjaya dan Kalantaka dari Kayangan. Mereka pun pergi ke Setra Gandamayu. Setibanya di Setra Gandamayu mereka menghadap Ra Nini yang kemudian mengangkat mereka sebagai anak.
Setelah singgah di Setra Gandamayu, Kalanjaya dan Kalantaka pergi ke Istana Hastinapura. Mereka menawarkan diri untuk membantu pasukan para Kurawa. Mengetahui hal itu, Raja Duryodhana senang bukan kepalang karena ia mendapat kekuatan tambahan untuk melawan Pandawa.
Untuk menjadi perhatian, kisah kutukan Dewi Uma serta Kalanjaya-Kalantaka di atas tidak dikisahkah di relief Candi Tegowangi. Kisah tersebut termuat pada Kidung Sudamala.
Kumpulan Panel Relief Kisah Sudamala
Nah, relief yang terpahat pada dinding candi induk Tegowangi mengisahkan kelanjutan kisah Sudamala seusai Kalanjaya dan Kalantaka bergabung dengan pasukan Kurawa.
Cara “membaca” kisah yang terpahat pada relief candi induk Tegowangi adalah dengan berjalan mengelilingi candi dan mengamati satu per satu panel reliefnya. Perjalanan keliling candi dimulai dari dinding sisi selatan tangga dengan arah seperti pada ilustrasi di bawah.
1. Panel Relief Wanita yang Duduk Menghadap ke Bangunan
Panel relief ini menampilkan satu sosok wanita yang sedang duduk menghadap ke suatu bangunan. Dia terlihat memakai tudung kepala (turban). Kedua tangannya diangkat membentuk pose seperti orang yang berdoa.
Ada sejumlah bangunan yang berdiri di depan sosok wanita. Bangunan yang besar mirip candi dengan atap genteng. Sementara itu, bangunan yang kecil mirip bale (gazebo). Bentuk bangunan yang kecil serupa dengan bale yang terdapat di pura Bali.
Bisa diduga bahwa bentuk bangunan-bangunan yang terpahat pada panel relief ini sudah diketahui oleh orang-orang yang hidup pada zaman lampau. Sekadar info, Candi Tegowangi diperkirakan dibangun pada tahun 1400 Masehi.
Adegan pada panel relief ini mengisahkan Kunti yang resah dengan bergabungnya Kalanjaya dan Kalantaka ke dalam pasukan Kurawa. Kunti mengkhawatirkan keselamatan Pandawa bersaudara jika kedua raksasa itu ikut berperang.
Oleh sebab itu, Kunti pun pergi diam-diam ke Setra Gandamayu. Ia mempersembahkan sesaji kepada Ra Nini dan memohon agar Ra Nini mengenyahkan Kalanjaya dan Kalantaka.
Eh, sebetulnya Kunti adalah ibu dari Yudistira, Bima, dan Arjuna. Sementara Nakula dan Sadewa beribukan Madri. Suami Kunti dan Madri adalah Pandu sang Raja Kuru yang tahtanya direbut oleh para Kurawa. Setelah wafatnya Pandu dan Madri, Kunti pun mengasuh Nakula dan Sadewa.
2. Panel Relief Raksasa Wanita dengan Pose Mengancam
Panel relief ini masih menggambarkan tempat yang sama dengan panel relief sebelumnya. Bedanya, pada panel relief ini muncul tambahan tiga sosok, yaitu satu sosok besar yang berdiri dengan pose tangan menunjuk dan dua sosok yang duduk di belakang sosok besar tersebut.
Adegan pada panel relief ini mengisahkan Ra Nini yang muncul menjumpai Kunti. Kemunculan Ra Nini disertai dua abdinya. Ra Nini muncul untuk menjawab permohonan Kunti.
Mudah ditebak, permohonan mengenyahkan Kalanjaya dan Kalantaka yang dipanjatkan Kunti ditolak Ra Nini. Lha, Kalanjaya dan Kalantaka itu kan sudah diangkat anak oleh Ra Nini? #senyum.lebar
Kunti pun pamit meninggalkan Setra Gandamayu. Akan tetapi, mendadak Ra Nini tersadar. Ia teringat bahwa Sadewalah yang bakal mengenyahkan kutukan yang menimpanya itu.
Ra Nini pun memanggil Kunti kembali. Ra Nini berkata bahwa ia akan mengenyahkan Kalanjaya dan Kalantaka asalkan Kunti mempersembahkan Sadewa kepadanya. Duh....
3. Panel Relief Wanita Berjalan dengan Sosok Setan di Belakangnya
Panel relief ini menampilkan sesosok wanita yang sedang berjalan. Di belakang wanita tersebut terdapat sosok seram yang menyerupai setan. Di belakang sosok setan terdapat tembok dan gapura.
Hal yang menarik adalah bentuk gapura pada panel relief ini mirip seperti bentuk gapura yang ada di Bali. Padahal, Candi Tegowangi berada di Jawa Timur yang semestinya identik dengan wujud gapura candi bentar.
Adegan pada panel relief ini mengisahkan usaha Ra Nini untuk mendapatkan Sadewa. Kalau Sadewa tidak ada, bagaimana bisa Ra Nini mengenyahkan kutukan yang menimpanya?
Kunti gusar dengan permintaan Ra Nini. Bagaimana mungkin ia menyerahkan anak yang disayanginya? Walaupun Sadewa bukan anak kandungnya, akan tetapi ia sudah menyayanginya seperti anaknya sendiri.
Kunti pun memohon kepada Ra Nini agar meminta persembahan anak-anak kandungnya saja, yaitu Yudistira, Bima, atau Arjuna. Akan tetapi, Ra Nini tetap menginginkan Sadewa. Karena tak ada kata mufakat, Kunti pun meninggalkan Setra Gandamayu. Perasaannya kalut dan sedih.
Sementara itu, Ra Nini tetap berusaha agar bisa mendapatkan Sadewa. Ia pun memanggil Kalika, salah satu pengikutnya yang juga terkutuk buruk rupa. Ra Nini memerintahkan Kalika untuk merasuki Kunti. Awalnya Kalika menolak karena Kunti adalah manusia yang dekat dengan para dewa. Akan tetapi, akhirnya Kalika berkenan juga.
Karena pikirannya sedang kacau, Kunti tak sadar bahwa ia diikuti Kalika. Saat Kunti lengah, Kalika pun merasuk ke tubuh Kunti. Kalika mengendalikan tubuh Kunti dan berbalik menghadap Ra Nini. Kali ini Kunti berjanji untuk mempersembahkan Sadewa kepada Ra Nini.
4. Panel Relief Wanita Menghadap ke Enam Orang
Panel relief ini menampilkan sesosok wanita yang mendapat sembah dari sosok yang bersimpuh. Di belakang sosok yang bersimpuh terlihat ada lima sosok lain.
Tokoh-tokoh pada panel relief ini tidak lain adalah Kunti, Pandawa, dan panawakan. Diduga, sosok yang sedang memberikan sembah kepada Kunti adalah Semar. Kelima sosok lain di belakang Semar adalah Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa.
Sosok Yudistira diketahui dari rambut yang digelung. Sosok Bima diketahui dari perawakannya yang besar.
Adegan pada panel relief ini mengisahkan kepulangan Kunti ke kediaman para Pandawa. Para Pandawa dan panakawan khawatir dengan kepergiannya yang diam-diam. Alhasil, kepulangan Kunti disambut dengan penuh sukacita.
Kunti (yang masih dirasuki Kalika) menceritakan hal-hal yang dibicarakannya dengan Ra Nini di Setra Gandamayu. Kunti berkata bahwa ia akan mempersembahkan Sadewa kepada Ra Nini.
Mendengar apa yang dikatakan Kunti, terkejutlah para Pandawa dan panakawan. Yudistira, Bima, dan Arjuna tidak setuju jika Sadewa diserahkan kepada Ra Nini. Akan tetapi, Kunti balik mengancam bakal mengutuk mereka jika melawan sang ibu. Alhasil, terdiamlah ketiga putra Kunti itu.
5. Panel Relief Wanita Menggandeng Orang
Panel relief ini menampilkan empat sosok. Dua sosok di paling kanan terlihat seperti dua orang yang sedang bergandengan tangan, sedangkan dua sosok di belakang mereka berpostur pendek.
Diduga, sosok bertudung kepala yang berada di paling kanan adalah Kunti. Sosok dibelakang Kunti adalah Sadewa. Dua sosok yang berpostur pendek adalah panakawan.
Adegan pada panel relief ini mengisahkan Kunti (yang masih dirasuki Kalika) yang pergi bersama Sadewa ke Setra Gandamayu. Kunti menggenggam erat tangan Sadewa supaya si bungsu dari Pandawa itu tidak bisa melarikan diri. Kepergian mereka dibuntuti oleh dua orang panakawan yang khawatir dengan perilaku aneh Kunti.
6. Panel Relief Panjang dengan Sosok yang Mengancam
Panel relief ini memiliki kemiripan tokoh dengan panel relief yang menampilkan sosok Ra Nini dan Kunti di Setra Gandamayu. Perbedaannya, kini sosok Kunti digantikan dengan sosok yang terikat di batang pohon. Di belakang sosok yang terikat itu terdapat beberapa sosok lain yang memiliki wajah bukan manusia.
Adegan pada panel relief ini mengisahkan Sadewa di Setra Gandamayu. Setibanya di Setra Gandamayu, Kalika keluar dari tubuh Kunti. Ia hendak melapor keberhasilan tugasnya kepada Ra Nini.
Lepas dari Kalika, kesadaran Kunti pun kembali. Tahu bahwa ia membawa Sadewa ke Setra Gandamayu, Kunti pun memeluknya sambil menangis dan meminta maaf. Kunti bergegas menyuruh Sadewa untuk melarikan diri.
Ra Nini yang tahu hal itu menyuruh Kalika untuk kembali membawa Sadewa. Kalika pun merasuki Kunti lagi dan secepatnya menangkap Sadewa. Kali ini Sadewa diikatnya di pohon randu agar tidak bisa meloloskan diri.
Kunti (yang masih dirasuki Kalika) lalu pergi meninggalkan Setra Gandamayu. Sampai mendekati kota barulah Kalika keluar dari tubuh Kunti. Habis tenaganya dipakai, Kunti pun tak sadarkan diri.
Hari berganti malam. Kalika tiba kembali di Setra Gandamayu. Sadewa meminta agar Kalika melepaskan ikatannya. Kalika mau asalkan Sadewa berkenan menjadi suaminya. Akan tetapi, Sadewa lebih memilih mati daripada menjadi suami Kalika.
Mendapat jawaban itu, Kalika pun marah. Ia lalu memanggil setan-setan penghuni Setra Gandamayu. Ada setan tangan, setan berkepala hewan, setan melayang, dan setan-setan lain. Sayang sekali semua setan-setan itu gagal membuat Sadewa takut.
Setelah setan-setan menyingkir, Ra Nini pun muncul. Ia menyuruh Sadewa agar membebaskannya dari kutukan. Sadewa menjawab tidak bisa. Mendapat jawaban itu, Ra Nini marah. Ia mengancam akan membunuh Sadewa jika tidak mau membebaskannya dari kutukan.
Walaupun mendapat ancaman, Sadewa kembali menegaskan bahwa ia tidak bisa membebaskan sang dewi dari kutukan. Seumur-umur Sadewa belum pernah membebaskan orang dari kutukan. Apalagi kutukan yang menimpa seorang dewi.
Mendengar alasan itu lagi, Ra Nini pun berang. Pedang ia acungkan ke leher Sadewa. Celakalah Sadewa sudah memancing murka sang dewi.
7. Panel Orang Menyembah Sosok Bertangan Empat
Panel relief ini menampilkan empat sosok dengan tiga sosok bersimpuh mengapit satu sosok yang berdiri. Sosok yang berdiri ini memiliki empat tangan. Di kakinya terdapat pijakan. Mudah disimpulkan bahwa sosok yang berdiri ini adalah sosok dewa.
Adegan pada panel relief ini mengisahkan Batara Guru yang turun dari Kayangan ke Setra Gandamayu untuk membantu Sadewa. Batara Guru mengetahui kemalangan yang menimpa Sadewa dari laporan Batara Narada yang kebetulan sedang terbang melintas di atas Setra Gandamayu.
Tanpa diketahui para penghuni Setra Gandamayu, Batara Guru berbisik ke Sadewa bahwa ia akan membimbingnya untuk membebaskan Ra Nini dari kutukan. Dengan tubuh yang dirasuki Batara Guru, Sadewa pun memusatkan konsentrasi, merapal mantra, menaburkan beras kuning dan bunga, serta memercikkan air suci ke tubuh Ra Nini.
Setelah ritual itu, wujud Ra Nini yang buruk rupa kembali menjadi cantik memesona. Ia telah kembali menjadi Dewi Uma.
Tak hanya itu, Setra Gandamayu pun berubah menjadi taman indah nan asri. Setan-setan tersucikan dan diangkat menjadi penghuni kayangan. Begitu pula dengan dua abdi Ra Nini yang kini berubah menjadi bidadari jelita.
Sebagai tanda terima kasih, Dewi Uma memberikan sejumlah anugerah kepada Sadewa, yaitu
- Mengganti namanya menjadi Sudamala;
- Memberinya senjata untuk mengalahkan Kalanjaya dan Kalantaka;
- Mengutusnya pergi ke padepokan Prangalas untuk menikahi putri dari Bagawan Tambapetra.
Pada kejadian ini, rupanya hanya Kalika yang belum tersucikan. Ia masih berwujud roh yang buruk rupa. Yang ada malah Semar menipu Kalika bahwa ia juga bisa membebaskannya dari kutukan sebagaimana Sudamala asalkan disiapkan banyak makanan lezat.
Sebelum pergi ke Prangalas, Sudamala berpesan kepada Kalika untuk menjaga Setra Gandamayu. Kelak ia akan kembali ke sini untuk mensucikan Kalika, membebaskannya dari kutukan.
8. Panel Pria dengan Tudung Kepala di Hadapannya Dua Wanita Bersimpuh
Panel relief ini menampilkan enam sosok. Dua sosok di posisi paling kiri berpostur pendek dan gempal. Di depan dua sosok tersebut terdapat sosok pria yang memakai hiasan kepala dan berkain selendang. Tangan kanan pria ini memegang dada.
Di depan sosok pria terdapat “sekat” berupa sulur-suluran. Di puncak sulur-suluran terdapat bangunan bale. Di depan “sekat” sulur-suluran terdapat dua sosok yang sedang bersimpuh dan menyampaikan sembah kepada sosok yang berdiri memakai tudung kepala.
Adegan pada panel relief ini mengisahkan Sudamala beserta panawakan yang berangkat ke padepokan Prangalas. Setibanya di sana, mereka disambut oleh Ki Putut, salah satu abdi Bagawan Tambapetra.
Ki Putut kemudian mengabarkan adanya tamu kepada Bagawa Tambapetra. Dengan dituntun Ki Putut, Bagawan Tambapetra keluar menjumpai Sudamala. Rupanya, Bagawan Tambapetra adalah seorang tunanetra.
Sudamala pun menceritakan apa yang dialaminya di Setra Gandamayu. Bagawan Tambapetra lalu berkata bahwa ia akan sangat bahagia jika Sudamala juga bisa mengenyahkan kebutaannya. Jika demikian, maka kedua putri Bagawan Tambapetra, yaitu Ni Padapa dan Ni Soka, akan dijodohkan dengan Sudamala.
9. Panel Pria dengan Tudung Kepala Menggandeng Pria Lain
Panel relief ini menampilkan tujuh sosok. Dua sosok yang berada di posisi paling kiri berwujud pria, tiga sosok di kanannya berwujud wanita, sedangkan dua sosok sisanya bertubuh pendek.
Sosok pria bertudung kepala terlihat menggenggam tangan sosok pria yang satunya. Mereka adalah Bagawan Tambapetra dan Sudamala yang sudah muncul pada panel relief sebelumnya. Sedangkan sosok-sosok lain adalah putri-putri Bagawan Tambapetra, abdinya, dan panakawan.
Adegan pada panel relief ini mengisahkan keberhasilan Sudamala setelah membebaskan Bagawan Tambapetra dari kebutaannya. Sudamala memanjatkan doa kepada Dewa Indra kemudian menyiram Bagawan Tambapetra dengan air suci. Setelahnya, Bagawan Tambapetra pun dapat melihat kembali.
Sesuai janjinya, Bagawan Tambapetra pun menjodohkan Sudamala dengan kedua anaknya, Ni Padapa dan Ni Soka. Sebelumnya, rombongan Sudamala dijamu dengan berbagai sajian lezat yang dihidangkan Ki Putut.
10. Panel Sosok Pendek Mengamati Dua Orang di Balai
Panel relief ini menampilkan tiga sosok. Dua sosok berada di dalam bale, sementara satu sosok berada di luar bale.
Di dalam bale, sosok yang berada di posisi paling kiri terlihat sedang memangku dan memeluk sosok yang berada di depannya. Sosok bertubuh pendek yang berada luar bale terlihat sedang mengamati “aktivitas” sosok-sosok yang berada di dalam bale.
Adegan pada panel relief ini mengisahkan percumbuan #mesum #hehehe antara Sudamala dengan salah satu anak Bagawan Tambapetra. Bale tempat mereka bercumbu beratapkan genting dan berhiaskan tirai. Di atas genting terlihat dua burung yang saling berhadapan.
Sosok pendek yang sedang mengintip kemesraan di bale tidak lain adalah Semar. Kepada Bagawan Tambapetra, Semar juga meminta jodoh. Ia tidak rela jika hanya Sudamala saja yang bisa bermesra-mesraan. Mendengar permintaan itu, Bagawan Tambapetra pun menjodohkan Semar dengan salah satu abdi perempuannya yang bernama Ni Towok.
11. Panel Pria dengan Tudung Kepala Bertatap Muka dengan Pria Lain
Panel relief ini menampilkan tiga sosok. Sosok pria berjanggut yang memakai tudung kepala terlihat sedang bertatap muka dengan sosok pria bermahkota. Di belakang pria bertudung kepala terlihat sosok pendek yang juga memakai tudung kepala. Di sekeliling mereka ada bangunan bale dan juga tanam-tanaman.
Dari panel relief sebelumnya, diketahui sosok pria berjanggut yang memakai tudung kepala adalah Bagawan Tambapetra. Sosok pria bermahkota di hadapan Bagawan Tambapetra sepintas mirip dengan sosok Sudamala yang sudah muncul pada panel-panel relief sebelumnya. Akan tetapi, sosok tersebut bukan Sudamala, melainkan Nakula, saudara kembar Sudamala (Sadewa).
Adegan pada panel relief ini mengisahkan Nakula yang menyusul Sudamala ke padepokan Prangalas. Nakula khawatir akan keselamatan saudara kembarnya. Terlebih setelah tahu bahwa Kunti dirasuki Kalika.
Nakula pun pergi ke Setra Gandamayu. Di sana ia bertemu Kalika. Karena wajah yang mirip, awalnya Kalika menyangka Nakula adalah Sudamala. Tapi, Nakula menjelaskan bahwa ia bukan Sudamala. Kalika pun menceritakan apa yang terjadi di Setra Gandamayu selepas kepergian Kunti.
Pada akhirnya, Nakula tiba di padepokan Prangalas. Di sana ia disambut oleh Bagawan Tambapetra dan Ki Putut. Sudamala gembira dengan kedatangan saudara kembarnya. Sudamala pun memberikan Ni Soka sebagai istri Nakula.
12. Panel Sembilan Orang
Panel relief ini menampilkan sembilan sosok yang sebagian besar sudah tampil pada panel-panel relief sebelumnya. Tiga sosok di sisi kiri yang menghadap ke arah kanan dapat dengan mudah ditebak sebagai sosok Nakula, Bagawan Tambapetra, dan Sudamala. Karena Sudamala adalah tokoh utama dalam kisah ini, maka besar dugaan sosok yang sedang menyampaikan sembah yang berada tepat di depan Bagawan Tambapetra adalah Sudamala.
Berikutnya, sosok yang sedang menerima sembuh dari Sudamala tidak lain adalah Kunti. Di belakang Kunti hadir ketiga putranya, yang berturut-turut adalah Yudistira, Bima, dan Arjuna. Dua sosok bertubuh gemuk di belakang Arjuna adalah para abdi Pandawa.
Adegan pada panel relief ini mengisahkan rombongan Sudamala yang disambut oleh Kunti, anggota Pandawa, dan para abdinya. Keikutsertaan Bagawan Tambapetra menandakan bahwa rombongan Sudamala telah tiba di kediaman Pandawa dari padepokan Prangalas.
Kisah pada adegan ini tidak termuat pada Kidung Sudamala. Boleh jadi, adegan pada panel relief ini merupakan buah imajinasi sang seniman relief.
13. Panel Wanita Menyampaikan Sembah pada Wanita Bertudung Kepala
Panel relief ini menampilkan lima sosok yang kesemuanya berpenampilan wanita. Sosok wanita bertudung kepala adalah Kunti. Dengan demikian, jika mengacu kepada Sudamala sebagai tokoh utama kisah, maka sosok wanita yang sedang menyampaikan sembah pada Kunti tidak lain adalah Ni Soka, istri Sudamala. Sosok-sosok lain bisa jadi adalah Ni Padapa, Ni Towok, dan abdi wanita.
Adegan pada panel relief ini mengisahkan Kunti yang menyambut kedua menantunya, Ni Soka dan Ni Padapa. Akan tetapi, kisah pada adegan ini tidak termuat pada Kidung Sudamala. Boleh jadi, adegan pada panel relief ini merupakan buah imajinasi sang seniman relief.
14. Panel yang Tidak Utuh
Panel relief ini sudah tidak lagi utuh karena sebagian besar batu-batunya tidak berada di tempatnya. Menurut van Stein Callenfels, panel relief ini mengisahkan Yudistira yang menyambut Bagawan Tambapetra.
Perlu diperhatikan bahwa kisah pada adegan ini juga tidak termuat pada Kidung Sudamala. Boleh jadi, adegan pada panel relief ini juga merupakan buah imajinasi sang seniman relief.
Hal-Hal Lain dari Kisah Sudamala
Dengan demikian maka berakhirlah kisah Sudamala yang terpahat pada relief di dinding candi induk Tegowangi. #senyum
Kisah Sudamala yang terpahat ini masih menggantung dikarenakan belum selesainya pembangunan Candi Tegowangi. Para ahli purbakala menduga bahwa Candi Tegowangi ditinggalkan sebelum pembangunannya selesai. Entah apa penyebabnya. Mungkin peperangan atau bencana alam.
Berdasarkan penggalan kisah Sudamala yang terpahat di dinding candi induk Tegowangi, jalannya kisah sudah mencapai 3/4 dari keseluruhan kisah. Bagian kisah yang belum dipahatkan dalam wujud relief adalah pertempuran Kalanjaya dan Kalantaka melawan Pandawa.
Jika mengacu pada isi Kidung Sudamala, Kalanjaya dan Kalantaka akhirnya dikalahkan oleh Sudamala. Setelah itu, Kalanjaya dan Kalantaka berubah menjadi bidadara bernama Citranggada dan Citrasena. Sama seperti Dewi Uma, Citranggada dan Citrasena pun berterima kasih kepada Sudamala sebelum kembali ke Kayangan.
Selain di Candi Tegowangi, kisah Sudamala juga terpahat pada panel relief di Candi Sukuh, Jawa Tengah. Bedanya, panel relief di Candi Sukuh berhasil menceritakan keseluruhan kisah Sudamala. Mungkin karena jumlah panel reliefnya jauh lebih sedikit, yaitu hanya 6 panel.
Pemahatan relief kisah Sudamala pada sekian banyak panel di dinding Candi Tegowangi itu bukan tanpa sebab. Menurut para ahli purbakala, Candi Tegowangi merupakan tempat pendharmaan (raja) Bhre Matahun yang mangkat pada tahun 1310 Saka (1388 Masehi). Dengan dipahatnya relief kisah Sudamala pada dinding candi, diharapkan arwah sang raja turut tersucikan sebagaimana inti kisah yang menceritakan tentang penyucian diri (ruwatan).
Hal yang menarik pula adalah Kisah Sudamala sejatinya adalah kisah sempalan Mahabharata yang dikarang oleh masyarakat Jawa kuno. Ini menunjukkan adanya asimilasi budaya lokal dengan budaya India di Jawa.
Perhatikan pula ragam bangunan, tanaman, hewan, busana, dan benda-benda yang terpahat pada relief Candi Tegowangi. Dengan mengamati hal-hal tersebut, kita dapat membayangkan seperti apa bentuk kehidupan pada zaman lampau. Perhatikan pula bahwa sebagian besar corak bangunan yang terpahat pada relief masih dapat kita jumpai di Bali.
Candi Tegowangi adalah salah satu candi yang beruntung. Jika berkaca pada foto-foto lawas yang terpajang pada buku “De Sudamala in de Hindu-Javaansche kunst”, bangunan candi ini relatif belum banyak berubah sejak era kolonial. Candi ini pun dihiasi dengan banyak relief yang merupakan hal langka karena tidak semua candi dihiasi relief.
Sayangnya, jika dibandingkan dengan foto-foto lawas tersebut, tampak jelas bahwa sekarang relief-relief Candi Tegowangi sudah mulai rusak. Banyak relief yang sudah aus sehingga lekuk-lekuknya tak lagi jelas.
Ya maklum, Candi Tegowangi kan sudah sekian abad berdiri di luar ruangan diterpa angin, hujan, dan mungkin gempa. Mungkin itu faktor alam yang pelan-pelan membuat relief candi aus selain juga ulah manusia. #hehehe
Akhir paragraf, marilah kita berdoa dan berupaya agar Candi Tegowangi tetap berdiri dan bisa disaksikan oleh generasi mendatang. Jikalau relief candinya aus dan tak lagi jelas terlihat, semoga kisah Sudamala tidak ikut-ikutan lenyap dari ingatan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. #senyum
KATA KUNCI
- arkeologi
- bagawan tambapetra
- batara guru
- bhre matahun
- candi hindu
- candi jawa timur
- candi kediri
- candi plemahan
- candi tegowangi
- candi tigawangi
- de sudamala in de hindu javaansche kunst
- dewi uma
- jawa timur
- kalanjaya
- kalantaka
- kalika
- kediri
- kerajaan majapahit
- kerajaan singasari
- kisah sudamala
- kunti
- kusuma pura
- kutukan
- mahabharata
- ni padapa
- ni soka
- pandawa
- pieter vincent van stein callenfels
- plemahan
- purbakala
- relief
- relief candi
- relief candi tegowangi
- relief sudamala
- ruwatan
- sadewa
- semar
- setra gandamayu
- sudamala
- tegowangi
dengan kisah relief
jaman jawa kuno
ceritanya
dari kami warga (jjt) jelajah Jawa timur
juga salamπ kami dari bocah jjt kediri
memberikan pencerahan atas
pertanyaan- pertanyaan yg selama ini
muncul, terjawab sudah
Rahayu mulyaning jagad
dang pendongeng
CUDDAMALA.
Saya n tim akan
napak tilas.
Kepada sang penulis
naskah n tim.
Semoga diberkati
TUHAN n direstui
leluhur.
Sampai jumpa lagi
kawanku