HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Ketika Dwi Aku Ajak Nyepeda ke Grojogan Dam Jering

Sabtu, 5 Mei 2018, 11:00 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

“Mas, besok Minggu bersepeda yuk!” ajak Dwi (lagi) pada suatu ketika.

 

Demi memenuhi request dari sang istri itu aku pun mikir. Candi Ijo jelas dicoret dari daftar #eh. Nanjak ke Pakem kayaknya si istri juga belum kuat. Aku juga sempat menghubungi Mbah Gundul, tapi dirinya malah ngasih jawaban yang misterius. Hadeh....

 

Duh, enaknya ngajak Dwi bersepeda ke mana ini ya?

 

Hmmm….

 

 

Pas lagi mumet nyari ide, mendadak aku teringat obrolan berbulan-bulan silam sama seorang bloger mamah muda yang semasa mudanya seneng dolan + motret-motret bernama Mbak Ika Ariyani. Karena Mbak Ika ini warga Godean, aku sempat iseng-iseng bertanya ke dirinya perkara tempat menarik di tanah tumpah darahnya itu.

 

“Nek kalen sing apik sekitaran Godean ono ra mbak? Wingit yo rapopo, wkwkwkw” [1]

 

Tanpa menunggu lama Mbak Ika membalas pertanyaanku dengan attachment foto dari akun instagram InfoGodean yang penampakannya seperti di bawah ini.

 

“Onoo nik mbuk apik po ra cen wingit tapi” [2]

 

 

“Semacam ngono kui tapi le moto saking lebaine dadi indah sekali” [3] #senyum.lebar

 

[1] Kalau sungai yang bagus di sekitaran Godean ada nggak Mbak? Angker ya nggak apa-apa, wkwkwkw.

[2] Adaa tapi nggak tahu bagus atau nggak tapi ya angker

[3] Semacam gitu itu tapi yang motret saking lebay-nya jadi indah sekali

 

 

Wwwooooaaaagh!

Kurang ajar mantep e!

 

Kayaknya boleh juga ini Dwi diajak bersepeda ke sana. Dirinya kan seneng kalau sudah ketemu curug-curug atau sungai-sungai macam begitu. Perkara wingitnya, toh dia kan sudah berpengalaman bertamu ke Rumah Pocong Kotagede, hehehe. #hehehe

 

Lagipula bersepeda ke Godean kan medannya datar-mulus-landai. Di Godean juga banyak sawah-sawah. Kebetulan juga Dwi sudah lama pingin lihat sawah-sawah yang terhampar luas seperti di kampung halamannya di Pundong. #hehehe

 

Okelah! Cocoklah tempat sungai unik di atas itu jadi tujuan bersepeda bareng istri pada hari Minggu pagi (25/2/2018)! #senyum.lebar

 

Berangkat Bersepeda ke Godean

Eh, buat Pembaca yang belum tahu. Godean itu adalah nama salah satu kecamatan di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.

 

Kalau dari rumah, Godean itu berjarak kira-kira sekitar 8 km ke arah barat. Sedangkan tempat menarik yang menjadi tujuan bersepeda kami itu katanya berada di Dusun Jering di Desa Sidorejo.

 

 

Walaupun umumnya orang-orang ke Godean lewat Jl. Godean, tapi kali ini aku ngajak Dwi ke Godean lewat Jalan Selokan Mataram ke arah barat. Ini pertama kalinya Dwi lewat sini. #senyum.lebar

 

Kami berangkat dari rumah sekitar pukul enam pagi. Kami menyusuri Jl. Magelang ke utara dan berbelok ke barat di cabang pertigaan ke arah Sindu Kusuma Edupark (SKE). Dari SKE lanjut bersepeda menuju Pasar Jambon. Kemudian mengangkat sepeda menyeberangi ringroad dan akhirnya tibalah di Jalan Selokan Mataram. #senyum.lebar

 

 

Dibandingkan lewat Jl. Godean, bersepeda menyusuri Jalan Selokan Mataram lebih asyik karena nggak banyak kendaraan bermotor yang berseliweran. Eh, walaupun ya di beberapa ruas jalan aspalnya bolong-bolong sehingga bikin gatel-gatelnya Dwi kumat. #hehehe

 

Cuaca pada Minggu pagi itu juga lumayan cerah. Langit biru dan sekelumit balutan mendung menemani perjalanan. Pancaran sinar mataharinya juga nggak begitu terik jadinya enak buat bersepeda. #senyum

 

Oh iya, pagi itu Gunung Merapi, Merbabu, dan Sumbing juga terlihat jelas lho! #senyum.lebar

 

 

Sayangnya, kegiatan bersepeda menyusuri Jalan Selokan Mataram ini nggak berjalan semulus bayanganku. #sedih

 

Dwi ndilalah mengeluh pusing di tengah perjalanan menyusuri Jalan Selokan Mataram. Alhasil, kami sempat berhenti istirahat beberapa kali. Aku ngasih kesempatan Dwi buat memulihkan kondisinya.

 

Pas berhenti itu Dwi beberapa kali glegekan. Kayaknya dia masuk angin deh. Mungkin karena semalam kami telat makan ditambah malah makan es krim. #hehehe

 

 

Dengan bersepeda pelan-pelan, akhirnya kami pun tiba di perempatan Jl. Raya Godean – Seyegan. Di sini aku memutuskan buat mengakhiri bersepeda menyusuri Jalan Selokan Mataram. Kami pindah bersepeda melewati jalan raya yang lebih banyak warung-warungnya.

 

Beberapa menit kemudian akhirnya kami berhenti sarapan di warung sederhana di seberang Lapangan Gendengan (kok ya kebetulan banget pas ada orang gendeng di situ #hehehe). Dua porsi soto ayam, dua gelas teh manis hangat, ditambah sebungkus kerupuk ikan ditebus dengan harga Rp18.000 saja. #murah

 

Alhamdulillah, setelah makan soto dan minum teh hangat kondisi Dwi membaik. Dirinya bisa ketawa-tawa seperti biasa. Terlebih lagi dia bisa diajak bersepeda lebih jauh. #eh #senyum.lebar

 

 

Mampir Lewat Seyegan

Dari Jl. Raya Godean – Seyegan kami mengambil rute blusukan masuk-masuk desa (yang semoga #hehehe) mengarah ke Dusun Jering. Berbeda dengan saat menyusuri Jalan Selokan Mataram, di wilayah Seyegan pemandangan yang tersaji adalah hamparan sawah berlatar bukit-bukit. Konon, di puncak bukit-bukit itu ada peninggalan purbakalanya lho!.

 

Kami sempat berhenti menikmati pemandangan hamparan sawah. Di sana Dwi gumun dengan banyaknya rumah-rumahan dari kayu yang berdiri di tengah sawah. Aku bilang itu rumah burung hantu yang dipelihara petani buat memangsa hama tikus. Tapi, Dwi malah nggak percaya. Yo wis. #hehehe

 

 

Rupanya, Dwi menikmati bersepeda di desa yang dikelilingi persawahan seperti yang di Seyegan ini. Dia juga bilang kalau tertarik buat tinggal di sini. Kayak nggak ada beban hidup gitu, hehehe. #hehehe

 

Aku sendiri sih juga senang hidup di pedesaan yang dikelilingi sawah seperti ini. Tapi, pas mikir kalau hidup di sini itu nantinya bakal jauh dari pasar, stasiun, bandara, halte Trans Jogja, toko sepeda, toko komputer, dan sebagainya itu kok malah mikir kalau rumah yang kami tempati sekarang itu sudah sangat strategis, hahaha. #senyum.lebar

 

Walaupun ya... pajak bumi dan bangunannya mahal karena setiap tahun naik terus. #hehehe #nasib #curhat

 

 

Balik lagi ke cerita bersepeda menuju Dusun Jering.

 

Dari Dusun Jlegongan kami menyeberangi sungai dan berpindah wilayah ke Dusun Kleben. Nah, Dusun Kleben ini sudah masuk wilayah Desa Sidorejo, desa di mana Dusun Jering berada. Itu tandanya lokasi TKP kami sudah dekat.

 

Di Dusun Kleben kami (lagi-lagi) sempat berhenti berfoto-foto di pinggir jalan yang ditumbuhi tanaman bunga-bunga kuning seperti pada foto di bawah ini. #senyum.lebar

 

 

Dari Dusun Kleben kami berpindah ke Dusun Jering. Di dusun ini Dwi sering takut karena di tengah jalan banyak anjing berkeliaran #senyum.lebar. Kalau aku amati, sepertinya di Dusun Jering dan Dusun Kleben ini bermukim banyak warga non-muslim. Di tengah dusun juga ada kapel.

 

Karena lokasi sungai yang hendak kami tuju itu masih misterius, jadi rasanya perlu nih menggali info dari warga. Dari sekian warga yang kami jumpai, seorang ibu yang sedang berdiri di halaman rumah terpilih menjadi narasumber. Obrolan pun tercipta.

 

“Kula nuwun Bu. Ajeng nyuwun pirso. Njenengan ngertos Kali Jering mboten nggih Bu?” [4] tanyaku

 

“Kali Jering sing ngendi yo Mas? Kali sing lawas opo sing anyar?” [5]

 

Waduh, batinku. Kok ya ada pula sungai lama sama sungai baru. Memangnya secepat itu ya proses transformasi geografis yang membentuk sungai? Hmmm...

 

“Niku lho Bu, ingkang wonten grojogan alit nipun jentrek-jentrek,” [6] jelasku.

 

“Ooooh… niku njenengan arah teng SD niku mawon Mas. Mangke teng mriku njenengan tanglet tiyang malih mawon.” [7]

 

 

[4] Permisi Bu. Mau tanya. Anda mengerti Kali Jering nggak ya Bu?

[5] Kali Jering yang mana ya Mas? Kali yang lama atau yang baru?

[6] Itu lho Bu, yang ada grojogan kecilnya berjejer-jejer.

[7] Ooooh, itu kamu pergi ke arah SD saja Mas. Nanti di sana tanya orang lagi saja.

 

 

SD yang dimaksud si Ibu itu nggak lain adalah SD Kanisius Jering yang berada nggak jauh dari gapura Dusun Jering 6.

 

Oh iya, Dusun Jering itu ternyata terbagi jadi Dusun Jering 6 dan Jering 8. Nggak tahu kenapa kok bisa dinomori seperti itu. Yang jelas, nggak ada Dusun Jering nomor 1, 2, 3, 4, 5, dan 7. #senyum.lebar

 

 

Kami kemudian bersepeda menuju SD Kanisius Jering. Jalan yang membentang di dekat SD rupanya masih berlanjut menyeberangi saluran irigasi yang lumayan besar. Oh, mungkin ini yang dimaksud oleh si ibu barusan sebagai “sungai baru”.

 

Nggak perlu pakai bingung, “indera curug”-ku mengendus “sesuatu” di aliran saluran irigasi ini. Betul saja, saluran irigasi ini ternyata tersambung dengan sungai. Di sungai itulah letak grojogan jentrek-jentrek seperti pada foto Instagram di awal artikel. Kelihatan banget kok dari pinggir jalan.

 

 

Mendekat ke Grojogan yang Dimaksud

Sepeda kami parkir di tiang lampu penerangan jalan. Kami kemudian bergegas turun ke tepi sungai.

 

Untuk mendekat ke lokasi kami harus menyeberangi sungai yang airnya berwarna cokelat. Arus airnya deras banget, jadi agak-agak sulit menemukan batu sungai yang aman untuk dipijak. Mungkin karena Februari ini masih musim penghujan ya jadinya sungainya seperti ini?

 

 

Alhamdulillah, setelah berjibaku menyeberangi sungai akhirnya kami tiba dengan selamat di lokasi grojogan jentrek-jentrek. Yang dimaksud dengan grojogan jentrek-jentrek ini sebetulnya adalah bagian ujung dari dam. Karena letaknya di Dusun Jering, barangkali namanya Dam Jering ya? #senyum.lebar

 

Singgah di tempar berair yang sepi dan alami semacam ini bikin Dwi senang bukan main. Dirinya pun minta buat difoto. Nggak cukup difoto dari jauh, Dwi minta foto di dekat grojogan. Padahal air grojogan sedang deras-derasnya. Alhasil, pakaian yang dikenakan Dwi pun basah kuyup.

 

Duh! Dia tadi pas berangkat bersepeda kan masuk angin! Kalau habis ini masuk angin lagi bakal repot nanti. Apalagi rumah masih jauh. Nggak bawa pakaian ganti pula. Duh! Mumet aku jadinya. #hehehe

 

Nasib punya istri yang senengnya main air di grojogan.... #hehehe

 

 

Kalau menurutku, sebenarnya lokasi Grojogan Dam Jering ini nggak begitu fotogenik. Betul katanya Mbak Ika, kalau fotonya indah karena dipotret lebay sekali, hahaha. #senyum.lebar

 

Di lokasi aku amati bertebaran sejumlah sampah plastik. Mungkin sampah-sampah itu terdampar terbawa aliran sungai. Pada waktu itu di lokasi juga terhalangi batang-batang bambu. Aku perlu menyingkirkan sejumlah batang bambu supaya bisa dapat sudut pemotretan yang pas.

 

Perkara ke-wingit-annya, selama di sana sih aku merasa nggak ada yang “aneh”. Mungkin karena lokasi ini berada di pertemuan dua sungai ya jadinya terkesan wingit. Apalagi dinaungi rimbunnya pohon bambu jadinya terkesan agak gelap. Tapi ya nggak terasa wingit karena dekat sama rumah-rumah warga. Kalau ada apa-apa kan bisa tinggal teriak, hehehe. #hehehe

 

 

Oh iya! Di aliran sungai ini ternyata ada curugnya lho! Curugnya mungil sih dan kayaknya juga nggak begitu fotogenik. Aku nggak berusaha mendekat ke curugnya itu karena harus berjalan melawan arus sungai yang deras banget itu. Jadi ya dipotret sajalah dari jauh. #hehehe

 

 

Yuk Pulang!

Kira-kira pukul setengah sebelas siang kami pun menyudahi kunjungan dan balik bersepeda pulang ke rumah yang berjarak sekitar 14 km. Awalnya aku pikir bakal sampai di rumah sebelum pukul dua belas siang, tapi ternyata sampai rumah malah pukul setengah dua siang, hahaha. #senyum.lebar

 

Di perjalanan pulang Dwi ngajak mampir-mampir. Karena Dusun Jering dekat sama barisan pohon-pohon kelapa di pematang sawah dekat Jl. Raya Gedongan – Tempel, jadinya kami pun ngalang mencari jalan ke sana. Kami juga sempat mampir mendinginkan badan di Es Buah PK di Jl. Godean km 8 yang kesegarannya sangat hakiki di tengah perjalanan bersepeda pulang yang puanasnya bukan main!

 

 

Akhirnya, selesai juga deh acara bersepeda ke Godean. Besok-besok bersepeda ke mana lagi ya?

NIMBRUNG DI SINI