HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Pertama Kali Motoran Jauh dan itu ke Bukit Turunan Panggang

Selasa, 17 April 2018, 14:00 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Mari kita semua panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan YME yang mana atas berkat rahmat dan karunia-Nya menyebabkan seorang Wijna bisa selamat motoran jarak jauh untuk yang pertama kalinya!

 

Eh, ini pertama kalinya seorang Wijna motoran jarak jauh?

 

BETUUUL! Ini pertama kalinya seorang Wijna motoran (naik sepeda motor) menempuh jarak jauh (sekitar 40 km pergi-pulang) dengan posisi MENGEMUDIKAN SEPEDA MOTOR! #senyum.lebar

 

Aku ulangi sekali lagi deh…

 

PERTAMA KALINYA SEORANG WIJNA MENGEMUDIKAN SEPEDA MOTOR JARAK JAUH!

 

Kalau mengemudikan sepeda motor jarak pendek sih sudah berkali-kali praktik pas duluuuu bangeeet masih jadi Mahasiswa KKN dan bertugas keliling-keliling kampung. #senyum.lebar

 

 

Oke, jadi ceritanya Dwi ngajak aku nyunrise pada hari Selasa pagi (19/12/2017) yang mana itu adalah H+2 setelah acara nikahan! Sebagai silent reader alias pembaca gelap blog relunglangit.com, jelas aku sudah paham bagaimana hobi keluyurannya istrinya aku ini. #hehehe

 

Aku sudah mengantisipasi kalau pada suatu pagi ritual keluyuran hunting foto seperti ini PASTI BAKAL TERJADI. Karena itu, pas berangkat nikahan aku juga mengusung satu tas berisi DSLR berikut lensa-lensanya ke Pundong. Sampai-sampai ada yang nanya, “Mas, kamu mau itu nikah atau mau motret?”. #senyum.lebar

 

Hmmm, terus terang, aku sih pingin dua-duanya, nikah sama motret, hahaha. #senyum.lebar

 

 

“Ke Bukit Turunan aja ya Mas?”, tanya Dwi memutuskan TKP nyunrise tanpa pikir panjang.

 

Sebagai penghuni Kota Jogja yang kurang akrab sama tempat-tempat fotogenik di seputaran Kecamatan Pundong, alhasil aku ya manut-manut saja sama titah sang istri. Walaupun sebenarnya di dalam hati aku masih penasaran bagaimana caranya bisa lolos gratis melewati gerbang tiket Pantai Parangtritis dengan hanya bermodal irama melodi klakson. #hehehe

 

Secara garis besar aku sudah paham rute ke Bukit Turunan. Tempat ini berada di Desa Girisuko, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta. Untuk menuju ke sini wajib hukumnya melintasi jalan raya yang menghubungkan Kabupaten Bantul dan Kabupaten Gunungkidul yaitu Jl. Siluk – Panggang (nama sesuai label di Google Maps).

 

Bilamana berangkat dari Kota Jogja, Jl. Siluk – Panggang mudah digapai dengan menyusuri Jl. Imogiri Barat disambung Jl. Imogiri – Siluk. Karena aku berangkat dari Pundong maka aku menyusuri Jl. Kretek – Siluk untuk sampai ke sana.

 

 

Setelah memanaskan skill bermotor di Jl. Kretek – Siluk yang lebar nan lenggang, satu per satu tes kemampuan berkendara pun menyapa di Jl. Kretek – Siluk. #semangat

 

Tes yang pertama adalah menaklukkan tanjakan curam berwujud tikungan maut mirip hidungnya Petruk seperti pada foto di bawah ini. Alhamdulillah karena ini pakai sepeda motor jadinya aku sama sekali nggak perlu menuntun. #hehehe #teringat.nanjak.pakai.sepeda

 

 

Tes yang kedua adalah melewati jalan aspal di perempatan Desa Girisuko yang kanan-kirinya dihiasi pohon jati seperti pada foto di bawah ini. Setelah baru saja dihajar oleh medan tanjakan yang menanjak, menukik, dan meliuk, medan jalan yang lurus seperti ini rasanya nggak jauh beda sama mainan bayi. #sombong.banget

 

 

Tes yang ketiga adalah melewati jalan semen dua lajur khas desa-desa. Nah, ini medan jalan yang mulai bikin spons helm basah sama keringat. Lha gimana nggak? Jalannya TURUNAN, semennya BOLONG-BOLONG, plus LICIN sehabis hujan.

 

Mantaaaap!

 

Alhamdulillah sih nggak ada adegan sepeda motor nabrak pagar rumah warga. #hehehe

 

 

Tes yang keempat alias yang terakhir adalah melewati jalan setapak tanah yang kesan dan pesannya terangkum dalam satu makian: #hehehe

 

B*******K!

 

HADUUUH!

 

Coba saja ini sepeda motor diganti sama Trek-Lala atau Selita! Kulibas deh itu jalan tanah penderitaan sambil merem! #hehehe #takabur

 

 

Setelah berjibaku melatih kesabaran melintasi jalan yang terlalu advanced bagi pengendara motor newbie akhirnya aku berhasil memarkirkan sepeda motor di tempat parkir yang lebih pantas disebut sebagai gubuk istirahatnya para petani.

 

Melihat penampakan sepeda motor Dwi yang damai terparkir di situ bikin aku berpikir bahwa hanya pengendara sepeda motor terpilihlah yang bisa sampai ke tempat antah berantah ini, hahaha. #senyum.lebar

 

 

Selanjutnya aku setia mengekor di belakang wanita yang baru aku nikahi kurang dari 2 x 24 jam itu. Dwi memanduku menyusuri jalan setapak yang membelah ladang-ladang warga.

 

YAKIN! Sepertinya hanya Gusti Allah SWT, Dwi, dan warga setempat saja yang mengerti jalan tanah mana yang harus dipilih. Gimana nggak? Di sepanjang jalan sama sekali nggak ada petunjuk yang bertuliskan arah ke Bukit Turunan!

 

 

Untungnya pula cuaca pada pagi itu cerah. Jikalau kabut turun dan menghalau pemandangan ya harap ikhlas bilamana tersasar salah jalan. #hehehe

 

Tapi jujur! Sepanjang perjalanan ini aku nggak habis mikir. Kok ya bisa-bisanya istriku ini tahu tempat nyentrik semacam ini sih!?

 

 

Di tengah-tengah perjalanan aku sempat mengamati adanya kertas berwarna biru yang terikat di batang-batang pohon muda. Setelah aku amati lagi, ternyata kertas biru itu bertuliskan sertifikasi benih hasil okulasi produksi CV Alam Lestari.

 

Dari sekian banyak kertas biru yang aku amati, termuat juga keterangan pohon yang ditanam berjenis pohon durian. Menarik juga nih kalau kawasan ini nantinya jadi kebun buah. Mangunan bakal punya saingan nih, hehehe. #hehehe

 

 

Setibanya di puncak bukit tersajilah pemandangan yang baru pertama kali aku saksikan dengan mata telanjang,

 

LAUTAN KABUT!

 

Dulu pas aku ke Bukit Panguk Kediwung sama Major Tom, lautan kabutnya nggak cetar membahana seperti ini!

 

HOOOOH! Benar-benar serasa negeri di atas awan!

 

 

Apa lagi di puncak Bukit Turunan ini sepi. Banyak bangku-bangku pula. Jadinya, enak buat tempat berdua-duaan. #hehehe

 

Eh, tapi kan karena aku dan Dwi dua hari yang lalu sudah menikah, jadinya ya sah-sah saja dong berdua-duaan di sini. #senyum.lebar

 

Selama kami di sana blas sama sekali nggak ada pengunjung lain #senyum.lebar. Jadinya pula enak deh buat ngobrol ngalor-ngidul nggak jelas yang bertopik seperti,

“Kok bisa ya kita beneran nikah?”,
“Gimana perasaannya setelah nikah?”,
“Nanti mau punya anak dikasih nama apa?”

dan sekian topik obrolan nggak berfaedah lain yang njelehi dan bikin baper. #hehehe  #hoeks

 

 

Di sisi timur puncak Bukit Turunan terlihat cercah sinar mentari pagi menerangi gumpalan awan. Berhubung Desember ini masih tergolong puncak musim hujan, jadinya ya cuaca pagi itu sedikit mendung. Tapi, cuaca yang seperti ini itu yang membuat munculnya lautan kabut. #senyum.lebar

 

Yah, walaupun sunrise-nya nggak bagus-bagus amat karena tertutup awan mendung, tapi ya jelas harus patut disyukurilah bahwasanya pada hari Selasa pagi ini matahari tetap terbit wajar dari ufuk timur dan juga bisa menikmati momen ini berdua dengan istri, hehehe. #hehehe

 

 

Setelah hampir satu satu jam di sana kami pun pulang bertepatan dengan kabut yang mulai menutupi puncak Bukit Turunan. Nggak bisa keluyuran lama-lama pagi ini. Soalnya, siangnya ada acara boyongan kepindahan domisili Dwi. #senyum.lebar

 

Aku sih berharapnya semoga semoga semoga dan semoga Bukit Turunan ini tetap menjadi tempat yang alami tanpa ada banyak benda-benda hasil karya manusia khususnya benda-benda “aneh” sebagai latar foto selfie yang mana berpotensi banget mengundang lautan manusia kekinian. #hehehe

 

 

Kata Dwi, di dekat sini ada tempat lain lagi yang namanya Watu Payung. Tapi, bedanya di sana itu sudah terkenal dan ramai.

 

Yah, kapan-kapan lagi lah kalau tidur di Pundong lagi mampir nyunrise ke sana naik sepeda motor, hahaha. #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI