HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Menerjang Trek Sepeda Downhill ke Situs Sumur Bandung

Jumat, 23 Maret 2018, 17:00 WIB

Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
  3. Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
  4. Patuhi peraturan yang berlaku!
  5. Jaga sikap dan sopan-santun!
  6. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  7. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Misi bersepeda pada hari Sabtu (22/4/2017) yang lalu sebetulnya hanya ke Tebing Breksi lewat “tanjakan baru” di dekatnya Candi Banyunibo.

 

Akan tetapi, sebagai mantan prajurit gemblengan SPSS yang sudah berkali-kali menyiksa dengkul ke Tebing Breksi, nggak afdal rasanya bila misi ini nggak dilanjut nanjak “sedikit” sampai ke Candi Ijo. #hehehe

 

Dan juga, sebagai penggemar batu-batu purbakala, kok rasanya nanggung sudah sampai Candi Ijo, tapi nggak menyambangi situs purbakala Sumur Bandung seperti yang dipamerkan Mbah Gundul.

 

 

 

Situs Sumur Bandung sebetulnya bukan tempat yang baru buatku. Aku pernah sekali ke sana sekitar tahun 2009 silam pas zamannya aku sama Andreas masih hobi keluyuran ke sana-sini nyari candi, hahaha. #senyum.lebar

 

Pada waktu itu aku dan Andreas sempat mendapatkan pengalaman yang “lumayan nggak mengenakkan” pas mengunjungi Situs Sumur Bandung. Maklum ya, pada waktu itu kan satpamnya Candi Ijo masih siaga, waspada, dan penuh curiga terhadap pengunjung yang punya hobi “aneh” motret-motret batu purbakala seperti kelakuan kami. #hehehe

 

Jadinya, sempat kepikiran (bahkan sampai sekarang!) untuk balik menyelinap diam-diam ke Situs Sumur Bandung tanpa sepengetahuan satpamnya Candi Ijo, hahaha. #senyum.lebar

 

 

Tapi siapa sangka? Delapan tahun kemudian pada tahun 2017 kondisi Candi Ijo serta kawasan di sekitarnya berubah 180 derajat.

 

Candi Ijo sekarang jadi ramai digandrungi para kawula muda yang hobi berswafoto. Urusan birokrasi foto-memfoto pun melunak. Para satpam Candi Ijo sudah nggak lagi terkesan galak dan penuh curiga.

 

Jadi, kayaknya sekarang ini adalah masa yang “aman” untuk menyambangi Situs Sumur Bandung deh. #hehehe

 

Katanya si Mbah Tentang Jalan ke Situs Sumur Bandung

“Sido ora ki nang Sumur (m)Bandung?” [1] tanya Mbah Gundul.

 

Setelah puas mengademkan kepala di gazebo sambil meneguk sebotol jus jambu dingin, aku pun menjawab pertanyaan si Mbah,

 

“Sido lah Mbah! Kan garek medun ngisor e Candi Ijo kae.” [2]

 

Si Mbah pun balik bertanya “Lewate trek DH yo?” [3]

 

[1] Jadi nggak nih ke Sumur (m)Bandung?

[2] Jadi lah Mbah! Kan cuma di bawah Candi Ijo itu.

[3] Lewatnya trek DH ya?

 

 

HAH!? TREK DH!?

 

Trek DH itu trek downhill!?

 

Jalur sepeda downhill yang wujudnya jalan tanah lumpur becek berbatu nggak karu-karuan itu!?

 

Nggak salah ini si Mbah Gundul!? Bersepeda ke sininya saja nanjak mati-matian kok malah bersepeda turunnya masih nyari jalan yang penuh perkara macamnya trek DH!?

 

 

Jadi, demi kewarasan sepeda sekaligus dengkul, aku pun mencoba bernegosiasi dengan Mbah Gundul,

 

“Waduh Mbah! Lewat dalan aspal waelah Mbah! Kan gur ngisor Candi Ijo kae menggok mlebu alas njuk tekan!” [4]

 

Seperti biasa, apa pun alasanku, si Mbah Gundul masih tetap bersikukuh dengan pendiriannya,

 

“Wis tho! Lewat trek DH wae. Luwih cerak. Mbiyen aku nang Sumur (m)Bandung yo diterke satpam e Candi Ijo lewat trek DH kok.” [5]

 

[4] Waduh Mbah! Lewat jalan aspal sajalah Mbah! Kan cuma di bawah Candi Ijo itu belok masuk hutan terus sampai!

[5] Sudah toh! Lewat trek DH saja. Lebih dekat. Dulu aku ke Sumur (m)Bandung ya diantarkan satpamnya Candi Ijo lewat trek DH kok.

 

 

Wew...

 

Jadinya sekarang trek DH di sampingnya Candi Ijo ini sudah resmi jadi jalan singkat yang di-approve para satpam Candi Ijo untuk menuju ke Situs Sumur Bandung? Istimewa sekali perkembangan situs purbakala Yogyakarta di tahun 2017 ini! #hehehe

 

Kayaknya pengelolaan Candi Ijo memang sudah benar-benar berubah deh....

 

Ketika si Mbah Ngoceh di Trek DH

“Kuwi sisan seatpost-mu didukke!” [6] perintah Mbah Gundul ke aku yang sedang berusaha menjejalkan botol plastik air minum ukuran 1.5 liter ke bottle cage.

 

[6] Itu sekalian seatpost-mu diturunkan!

 

Persiapan melibas trek DH yang kami lakukan memang hanya sebatas menurunkan seatpost. Lha, mau bagaimana pun sepeda yang kami tunggangi ini kan memang bukan sepeda khusus downhill, tapi hanya sepeda MTB “jadi-jadian”. Kalau dipaksa untuk njondhal-njondhil jelas bakal remuk toh? #hehehe

 

Berhubung si Mbah Gundul sudah pernah ke Situs Sumur Bandung lewat trek DH, jadi dirinyalah yang berada di depan memimpin perjalanan. #senyum.lebar

 

 

“Wis! Kuwi ono tapak macan!” [7] seru si Mbah di tengah perjalan sambil menunjuk tanah.

 

“Hah!? Tapak macan? Ra mungkin Mbah! Nang Yojo ora ono macan!” [8] jawabku nggak percaya.

 

“Ono yooo! Nang Gembiraloka kae?” [9] jawab si Mbah nggak mau kalah.

 

HAISY!

 

[7] Wis! Itu ada tapak macan!

[8] Hah!? Tapak macan? Nggak mungkin Mbah! Di Jogja nggak ada macan!

[9] Ada yaaa! Di Gembiraloka itu?

 

 

Pas berada di dekat objek yang Mbah Gundul sebut sebagai tapak macan itu aku berhenti sejenak dan mengamati secara saksama,

 

“Iki udu tapak macan Mbah! Iki tapak asu!” [10]

 

“Ngawur! Tapak asu kok gedine semono? Macan kuwi!” [11] si Mbah nggak terima.

 

“Asu ne gedi Mbah, bulldog yak e,” [12] jawabku asal. #hehehe

 

[10] Ini bukan tapak macan Mbah! Ini tapak anjing!

[11] Ngawur! Tapak anjing kok besarnya segitu? Macan itu!

[12] Anjingnya besar Mbah, bulldog sepertinya.

 

 

Selang melanjutkan bersepeda beberapa meter Mbah Gundul teriak lagi,

 

“Ki! Ono tapak sing luwih cilik! Ki mesti tapak e anak macan!” [13]

 

“Udu Mbah! Kuwi tapak e kirik,” [14] jawabku santai meladeni fantasinya si Mbah.

 

“Macan yooo!” [15] si Mbah Gundul masih bersikukuh itu tapak macan.

 

[13] Nih! Ada tapak yang lebih kecil! Ini pasti tapaknya anak macan!

[14] Bukan Mbah! Itu tapaknya anak anjing.

[15] Macan yaaa!

 

 

Hadeeeh! Whatever lah Mbah. Terserah dirimulah mau berfantasi bahwasanya ada macan yang menghuni trek DH ini. #senyum.lebar

 

Hingga pada akhirnya, dari kejauhan si Mbah berteriak,

 

“Wooo! Jebul cen udu tapak macan!” [16]

 

[16] Wooo! Ternyata bukan tapak macan!

 

Penasaran, aku pun mendekat ke tempat si Mbah Gundul dan mendapati...

 

 

HAISY! MESUM! #hehehe

 

Bareng si Mbah di Situs Sumur Bandung

Perjalanan menyusuri trek DH sambil mengikuti jejak macan anjing yang disertai banyak adegan menuntun sepeda (yes! si Mbah juga berkali-kali nuntun! #hehehe) akhirnya menemukan ujungnya.

 

“Menggok kene!” [17] perintah Mbah Gundul sambil menuntun sepedanya ke dataran yang posisinya lebih tinggi dari trek DH.

 

[17] Belok sini!

 

Aku pun menuntun Trek-Lala mengikuti jejaknya Mbah Gundul. Betul saja. Begitu aku tiba di sana, tampak pemandangan yang selama delapan tahun lamanya Alhamdulillah masih tetap serupa.

 

Inilah yang disebut sebagai Situs Sumur Bandung. Secara administratif Situs Sumur Bandung terletak di Dusun Groyokan, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.

 

 

Dibanding situs-situs purbakala yang pernah aku sambangi, Situs Sumur Bandung terasa memiliki aura magis yang lebih kental #halah. Mungkin karena suasananya sepi dan agak gelap karena beranda di bawah naungan pohon-pohon berdaun rindang. Boleh dibilang Situs Sumur Bandung seperti situs purbakala yang bersembunyi di dalam lebatnya hutan. #senyum

 

Di salah satu sudut bangunan Situs Sumur Bandung aku lihat ada bekas tebangan pohon besar yang menyisakan akar kering. Untung pohonnya sudah mati. Kalau nggak, nanti bisa-bisa Sumur Bandung jadi mirip seperti Candi Lor di Nganjuk sana. #senyum.lebar

 

 

Yang disebut Situs Sumur Bandung sebetulnya adalah reruntuhan bangunan candi. Kalau mengamati dugaan periode pembangunan bangunan-bangunan candi yang berada nggak jauh di sekitarnya, besar kemungkinan Situs Sumur Bandung juga dibangun pada abad ke-8 hingga ke-9 Masehi.

 

Kata "Bandung" yang melekat pada nama situs ini konon berasal dari nama sang pembangun yang tidak lain dan tidak bukan adalah Bandung Bondowoso. Katanya sumur ini dibuat sebagai salah satu syarat meminang Roro Jonggrang. Tapi, dalam kehidupan nyata #hehehe besar kemungkinan pembangun Situs Sumur Bandung adalah orang-orang dari Kerajaan Medang (Mataram Kuno) yang mendiami Dataran Kewu.

 

 

Situs purbakala ini disebut sebagai Sumur Bandung karena wujudnya yang mirip sumur. Tepat di tengah bangunan terdapat lubang “sumur” dengan kedalaman sekitar 4 meter. Lubang ini berbentuk persegi dengan panjang sisi sekitar 2,5 meter. Dinding-dinding lubang serta keseluruhan bangunan dibentuk dari susunan batu andesit.

 

Lubang pada tengah bangunan Sumur Bandung bukan sumur penampung air! Dalam istilah arkeologi, lubang ini disebut perigi yang umumnya berada di tengah bangunan candi. Pada candi yang utuh, lubang atas perigi tertutupi lantai batu. Di atas lantai batu penutup perigi tersebut biasanya ditempatkan arca dewa atau lingga dan yoni.

 

Di dasar perigi biasanya ditempatkan peripih. Pak Soekmono dalam bukunya Candi: Fungsi dan Pengertiannya menyebutkan bahwa peripih adalah benda-benda tertentu yang dapat menjadi wadah bagi Sang Dewa untuk merasukkan zat inti kedewaannya. Umumnya, peripih adalah kepingan logam, tapi bisa juga manik-manik, biji-bijian, atau sisa-sisa hewan.

 

 

Sembari Mbah Gundul duduk-duduk menyatukan diri dengan aura masa lampau #halah, aku mengelilingi Situs Sumur Bandung mencari benda-benda “menarik” di sekitar sana. Di salah satu sudut aku melihat keberadaan 2 batu yang dipahat menjadi semacam wadah air berbentuk persegi. Air yang tertampung di sana unik karena yang satu jernih sedangkan yang lain keruh kecokelatan.

 

Aku juga sempat menemukan batu berlumut yang memiliki relief berwujud sulur-suluran. Sepertinya hanya batu itulah satu-satunya batu berelief yang tersisa di Situs Sumur Bandung. Batu-batu lainnya polos tanpa ukiran.

 

Konon, di Situs Sumur Bandung pernah ditemukan dua arca langka yaitu arca Narasimha dan arca Wisnutriwikrama. Keduanya merupakan arca perwujudan Dewa Wisnu. Jadi, mungkin dahulunya Situs Sumur Bandung ini merupakan candi yang digunakan untuk menyembah Dewa Wisnu.

 

 

Dengan absennya sebagian besar batu-batu penyusun, besar kemungkinan Situs Sumur Bandung akan tetap berwujud seperti ini untuk bertahun-tahun ke depan. Eh, itu pun kalau nggak ada tangan-tangan jahil yang berniat buruk ya. #hehehe

 

Akan tetapi, dengan akses menuju situs yang sulit, minimnya informasi keberadaan situs, serta tingginya popularitas Candi Ijo, sepertinya hanya penggila situs-situs purbakala saja yang niat menyambangi tempat ini. Pengunjung yang hobinya hanya berfoto-foto diri biar di Candi Ijo sajalah. #senyum.lebar

 

 

Sama seperti Mbah Gundul, aku juga berusaha meresapi aura masa lampau Situs Sumur Bandung. Yang benar-benar jadi pikiranku adalah pada zaman dulu jalan menuju ke sini lewatnya mana ya? Hahaha. #senyum.lebar

 

Selain memandangi batu-batu purbakala, di pinggir tebing yang memagari Situs Sumur Bandung terlihat pemandangan indah hijaunya hamparan sawah. Apa zaman dulu begini juga ya pemandangannya? Apa malah pada zaman dulu yang sawah-sawah itu jadi padang rumput?

 

 

Yah, semoga kelak di masa mendatang para ahli purbakala bakal meneliti Situs Sumur Bandung dan mengungkap sejarahnya. Aamiin. #senyum

 

Saatnya lanjut menyusuri trek sepeda downhill lagi buat pulang! #senyum.lebar

NIMBRUNG DI SINI