HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Mas Udin, Homestay-nya, dan Kehidupan di Desa Sembungan

Minggu, 10 Desember 2017, 18:30 WIB

Perkenalan kami dengan Mas Udin merupakan buah dari suatu ketidaksengajaan yang berawal di gapura masuk Desa Sembungan. Desa yang terletak di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah ini terkenal sebagai gerbang pendakian ke Bukit Sikunir. Bukit ini merupakan salah satu objek wisata di Dataran Tinggi Dieng yang ingin disinggahi Dimas.

 

 

Pada hari Selasa (2/8/2016) silam, perjalanan bersepeda motor yang panjang nan lama dari Yogyakarta akhirnya berujung di Dataran Tinggi Dieng sekitar pukul setengah tujuh malam. Setelah beristirahat sembari mengenyangkan perut di warung dekat Kompleks Candi Arjuna kami pun segera meluncur ke Desa Sembungan.

 

Awalnya, kami berencana menumpang tidur di masjid desa sebelum pada keesokan paginya menikmati fajar dari puncak Bukit Sikunir. Sayangnya, rencana hemat bin gratisan kami ini keburu dicegah oleh si mas penjaga loket tiket. Kami tertahan masuk di gapura Desa Sembungan karena nggak memiliki tempat bermalam yang legal! #duh #hehehe

 

Alhasil, Dimas pun berembuk dengan si mas penjaga loket guna mencari penyelesaian yang legal sekaligus ekonomis. Sementara mereka berdiskusi, aku menumpang menghangatkan diri dengan anglo yang ada di luar pos. Malam hari di Dieng dingin banget bok! #hehehe

 

Dengan patok anggaran sewa kamar sebesar Rp50.000 per orang, si mas penjaga loket lalu menelpon salah seorang pemilik homestay. Tak lama kemudian datanglah seorang pria bersepeda motor menyambangi kami di gapura desa. Pria inilah yang kelak kami kenal sebagai Mas Udin.

 

 

Mas Udin lantas memandu kami menuju ke rumahnya yang merangkap sebagai homestay. Selang dua menit berkendara Mas Udin mendadak memberhentikan sepeda motor di dekat musala. Mas Udin lalu memerintahkan Dimas untuk mengikuti jejaknya memarkir sepeda motor di pinggir jalan. Mulanya Dimas khawatir, akan tetapi Mas Udin bilang kalau Desa Sembungan itu aman. Nggak ada maling seperti di Jakarta. #hehehe

 

Rupanya, rumah Mas Udin terletak agak masuk gang! Letaknya sekitar 100 meter dari jalan utama desa. Kalau mesti masuk-masuk ke gang seperti ini pantas saja sepeda motor nggak bisa lewat.

 

Malam itu kondisi gang gelap gulita. Penerangan hanya berasal dari handphone ditambah temaram cahaya lampu dari balik tirai jendela rumah tetangga. Untung saja ada satu rumah yang ramai karena sedang dipakai sebagai tempat latihan nasyid. Perjalanan menembus gelapnya gang kecil di samping proyek pembangunan rumah pun jadi nggak terlalu mencekam. #hehehe #lebay

 

 

Di Dalam Homestay-nya Mas Udin

Sekitar pukul setengah delapan malam kami sampai di rumah Mas Udin. Saat pintu rumah dibuka tampaklah ruang tengah yang minim perabot. Lantai ruang tengah dilapisi karpet sebagaimana rumah-rumah warga Dieng pada umumnya. Kata Mas Udin kalau nggak dilapisi karpet nanti lantainya dingin.

 

 

Ruang tengah rumah Mas Udin terhubung dengan empat pintu. Pintu pertama adalah pintu utama untuk masuk-keluar rumah. Pintu kedua menuju ke area belakang. Sedangkan dua pintu sisanya terhubung ke kamar sewaan berukuran sekitar 3 x 3 meter.

 

Mas Udin menyewakan dua kamar kepada pengunjung. Dari konstruksinya, kedua kamar yang saling bersebelahan ini dipisahkan dari ruang tengah dengan sekat tripleks. Satu kamar terhubung jendela. Sedangkan satu kamar lainnya nggak berjendela.

 

 

Dalam setiap kamar terdapat spring bed yang dilengkapi dua bantal, satu guling, dan selimut tebal. Masing-masing kamar juga memiliki colokan listrik. Akan tetapi colokan listrik di salah satu kamar kondisinya kurang baik.

 

Mas Udin beserta keluarganya sendiri tinggal di lantai dua. Tangga menuju ke lantai dua terletak di area belakang rumah. Area belakang rumah ini mencangkup ruang salat, dapur, dan kamar mandi. Mesin water heater alias penghangat air menjadi salah satu pelengkap kamar mandi.

 

 

Cerita Mas Udin tentang Usaha Homestay-nya

Di ruang tengah, sambil ditemani oleh setermos teh hangat dan setoples biskuit, aku, Dimas, dan Mas Udin pun saling bertukar cerita. Mas Udin cerita bahwa usaha homestay-nya ini baru berjalan kira-kira setahun. Usahanya ini dilatarbelakangi request dari para wisatawan berkantong cekak yang mendambakan penginapan murah di Desa Sembungan.

 

Awalnya homestay-nya Mas Udin ini hanya menyediakan satu kamar. Sekat-sekat yang memisahkan kamar dan ruang tengah awalnya difungsikan sebagai pemisah ruangan saat Mas Udin menggelar acara yasinan.

 

Dengan harga sewa kamar sebesar Rp50.000 per orang (yes! per orang bukan per kamar), homestay-nya Mas Udin ini memang diminati oleh wisatawan yang berasal dari golongan pelajar maupun mahasiswa. Bahkan homestay-nya Mas Udin ini sudah sering di-booking dari jauh-jauh hari lho!

 

 

Dulu, homestay-nya Mas Udin boleh diinapi pasangan tamu cowok-cewek tanpa status menikah alias bukan mahram #hehehe. Untuk berjaga-jaga dari hal-hal yang nggak diinginkan, Mas Udin mengharuskan tamu cewek tidur di dalam kamar sementara si tamu cowok tidur di ruang tengah bareng Mas Udin.

 

Kalau sekarang Desa Sembungan sudah mengeluarkan peraturan yang melarang pasangan yang bukan mahram untuk menginap di satu penginapan yang sama. Jadi, untuk pasangan cowok-cewek yang bukan mahram ya masing-masing harus menginap di homestay yang berbeda gitu.

 

Oh iya, salah satu peraturan Desa Sembungan adalah setiap homestay ditarik pungutan sebesar Rp10.000 per kamar pada hari Sabtu dan Minggu. Kalau hari kerja ya nggak ada pungutan kamar.

 

Tentang Menjadi Petani Kentang di Dieng

Selain menjadi pemilik homestay, Mas Udin juga melakoni pekerjaan sebagai pemandu bagi wisatawan yang ingin keliling-keliling Dieng. Untuk ditemani ke Bukit Sikunir Mas Udin mematok tarif Rp100.000. Kalau tur keliling Dieng sampai ke wilayah Kabupaten Banjarnegara tarifnya Rp450.000. Besaran tarif itu sudah termasuk menginap dan makan di homestay-nya Mas Udin lho!

 

Meskipun begitu, sebagaimana umumnya warga Desa Sembungan, profesi utama Mas Udin adalah bertani. Lebih tepatnya bertani kentang. Alhamdulillah hasil dari usaha homestay-nya bisa bermanfaat di kala ladang kentang belum bisa dipanen. #senyum

 

 

Di bagian belakang rumah teronggok sekeranjang kentang yang baru dipanen. Selain menjamu kami dengan teh, biskuit, nasi, dan sup kubis, Mas Udin juga menjamu kami dengan kentang goreng. Aku sempat nyeletuk kalau nikmat sekali bilamana kentang-kentangnya ini bisa dibawa pulang. Eeeh, malah pas pulangnya kami dioleh-olehi sekitar 5 kg kentang! #matur.nuwun.sanget

 

Mas Udin juga bercerita profesinya sebagai petani kentang. Walaupun saat ini Dieng mulai terkenal dengan olahan buah carica, kentang tetaplah komoditas yang banyak ditanam karena harga jualnya lebih tinggi. Di tingkat petani harga jual carica berkisar antara Rp500 hingga Rp3.000 per kg. Sedangkan harga jual kentang berkisar antara Rp12.000 hingga Rp15.000 per kg.

 

 

Menurut Mas Udin, salah satu kendala dalam budidaya kentang adalah mahalnya bibit yang berkualitas. Bibit yang kualitasnya bagus dihargai Rp150.000 per kg. Sedangkan bibit biasa seharga Rp15.000 per kg.

 

Untuk memanen kentang juga nggak bisa dilakukan seorang diri. Mengingat ladang-ladang kentang di Dieng umumnya terletak di lereng-lereng perbukitan maka diperlukan bantuan dari para kuli panggul. Biaya jasa angkut kuli panggul sebesar Rp10.000 untuk sekali bolak-balik. Kalau dipikir-pikir agak kurang sebanding dengan beban keranjang berisi kentang yang harus dipikul (sekitar 50 kg!) dengan medan naik-turun dan jarak tempuh yang panjang (nyaris sekitar 7 km bolak-balik!).

 

Jikalau Pembaca penasaran dengan potret suka-duka petani kentang di Dieng, silakan menyaksikan tayangan video di bawah ini.

 

 

Sekelumit Pelajaran dari Mas Udin

Dengan semakin populernya Bukit Sikunir sebagai objek wisata di Dataran Tinggi Dieng maka semakin banyak pula wisatawan yang menyambangi Desa Sembungan. Seiring dengan itu wajah Desa Sembungan pun kian berubah. Sebagai contoh, homestay-homestay kini bermunculan di mana-mana.

 

Mas Udin sendiri mengaku bahwa dirinya lebih menyenangi Desa Sembungan pada tahun 2004 hingga 2006 silam. Pada saat itu masih sedikit orang yang mengenal Bukit Sikunir. Semuanya masih serba alami. Nggak ada warung di puncak bukit. Bahkan lapangan parkir di Telaga Cebongan masih dipakai sebagai lapangan bola.

 

Tapi ya zaman telah berganti dan perubahan adalah suatu hal yang nggak dapat dielakkan. Beruntunglah pada kesempatan yang singkat ini kami berjumpa dengan Mas Udin sehingga kami dapat mencoba memahami kehidupan warga di Desa Sembungan yang berada dalam pusaran perubahan.

 

“Ya sudah Mas. Dijalani saja.”

 

Kata-kata Mas Udin itu hingga kini masih membekas di ingatanku. Yah, semoga suatu saat aku bisa berjumpa kembali dengan Mas Udin. Semoga pula kehidupannya, istrinya, dan anak-anaknya selalu berada dalam lindungan Allah SWT.

 

Aamiin....

NIMBRUNG DI SINI