HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Jadi Ini Toh Isi Rumah Orang Tionghoa Kaya di Medan?

Minggu, 4 September 2016, 18:21 WIB

Dari hasil blusukan-ku ke beberapa website semacam ini, ini, dan ini, katanya nih warga Tionghoa yang asalnya dari Kota Medan itu sombong-sombong.

 

Weleh!?

 

Selidik punya selidik, warga Tionghoa Medan mendapat cap sombong karena banyak yang berpendapat bahwa mereka jarang mau berbaur dengan warga pribumi. Apalagi kalau gaya hidupnya eksklusif. Jurang pemisah pun rasa-rasanya makin melebar saja.

 

 

 

Kalau menurutku sih, di Indonesia ini seseorang dianggap sombong karena tidak mau bergaul dan membaur itu adalah hal yang biasa.

 

Di budaya Jawa pun ada istilah srawung yang maknanya mengacu pada gagasan pergaulan sosial. Ada juga pemahaman seperti uwong Jawa kuwi kudu isa srawung, yang maknanya seseorang belum bisa dianggap sebagai orang Jawa manakala ia tidak bisa membaur dengan lingkungan sosialnya. Nah lho! #hehehe

 

Tapi, untuk orang-orang yang berkepribadian introvert (seperti aku #hehehe), bergaul dan membaur sepertinya merupakan hal yang amat sulit dipraktekkan...

 

Di Medan Tetap Ada Warga Tionghoa Baik

Walaupun demikian, jangan lantas menganggap semua warga Tionghoa Medan itu sombong-sombong lho! Salah satu warga Tionghoa Medan yang patut diteladani dan boleh dipilih untuk menyanggah anggapan “Orang Tionghoa Medan itu Sombong” adalah Tjong A Fie.

 

By the way, siapa sih itu Tjong A Fie?

 


Foto Tjong A Fie dipinjam dari Wikipedia.

 

Mengutip dari halaman Wikipedia, Tjong A Fie adalah seorang pengusaha dan bankir yang sukses membangun bisnis besar perkebunan di Sumatra. Tjong A Fie lahir di Guangdong, Tiongkok pada tahun 1860. Saat remaja, ia memutuskan untuk merantau ke Medan dan bekerja di toko milik teman kakaknya.

 

Berkat kejujuran, sifat supel, dan kerja keras, karier Tjong A Fie pun melesat naik. Di tahun 1911, ia diangkat sebagai Kapitan Tionghoa (pemimpin warga Tionghoa) di Medan hingga wafatnya di tahun 1921.

 

Semasa hidupnya, Tjong A Fie dikenal sebagai pribadi yang akrab dengan berbagai warga Medan yang kala itu lumayan majemuk. Ia tidak pandang bulu dalam menjalin pergaulan dengan warga pribumi, Belanda, Arab, Tionghoa, dan India. Ia juga dikenal sebagai pribadi dermawan yang turut menyumbang pembangunan berbagai tempat ibadah di Medan.

 

Sambil Berteduh di Rumah Tjong A Fie

Nah, salah satu peninggalan Tjong A Fie yang sampai sekarang masih sering dikunjungi adalah rumah beliau. Alamatnya di Jl. Ahmad Yani, Kota Medan. Letaknya sekitar 50 meter di selatan RM Tip-Top Medan. Persis di sebelahnya Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Medan.

 

Rumah yang kondang disebut sebagai Tjong A Fie Mansion ini dirawat oleh keluarga dan keturunan Tjong A Fie. Orang-orang dapat mengunjungi Tjong A Fie Mansion dengan menebus tiket masuk seharga Rp 35.000 per orang (khusus pelajar Rp20.000). Jam operasionalnya dari mulai pukul 9 pagi hingga 5 sore.

 


Motret Bapak sama Ibu dulu! #senyum.lebar

 

Pada Sabtu siang (27/9/2014), setelah menunaikan salat Zuhur di Masjid Raya Al-Mahsun, Bapak, Ibu, Tiwul, dan aku pun mengakhiri tur singkat di Kota Medan dengan singgah di Tjong A Fie Mansion. Jarak dari Masjid Raya Al-Mahsun ke Tjong A Fie Mansion itu nggak begitu jauh, sekitar 1,5 km. Kalau capek jalan kaki bisa dengan naik becak motor.

 

Pas banget kami sampai di Tjong A Fie Mansion sesaat sebelum hujan mengguyur Kota Medan. Jadi, sembari menunggu hujan reda, aku dan Tiwul jalan-jalan menilik isi rumah tua Tjong A Fie Mansion ini. Sementara itu, Bapak dan Ibu memilih menunggu di teras rumah.

 


Bang Deden yang menjadi pemandu di siang hari itu. #senyum.lebar

 

Untuk berkeliling Tjong A Fie Mansion pengunjung wajib didampingi oleh pemandu. Yang bertugas menjadi pemandu kami pada siang hari itu adalah Bang Deden. Meskipun bernama Deden, Bang Deden ini orang Medan asli lho! #hehehe

 

Secara silsilah, Bang Deden ini hitungannya termasuk keluarga jauhnya Tjong A Fie. Jadi kan Tjong A Fie itu punya banyak anak. Nah, salah satu anaknya Tjong A Fie itu kan berkeluarga dan juga punya anak. Anaknya itu punya istri. Istrinya itu punya saudara. Saudaranya itu punya anak. Anaknya itu salah satunya Bang Deden ini.

 

Pembaca paham toh? #hehehe

 


Mereka-mereka yang dahulu pernah menghuni rumah ini.

 

Tjong A Fie sendiri semasa hidupnya menikah tiga kali. Pernikahannya yang pertama sewaktu ia di Tiongkok. Pernikahannya yang kedua dan ketiga selepas ia di Medan. Di pernikahannya yang ketiga dengan Lim Koei-Yap inilah karier Tjong A Fie kemudian melesat. Dari pernikahannya dengan Lim Koei-Yap, Tjong A Fie dikaruniai 5 putra dan 2 putri yang saat ini semuanya sudah almarhum dan almarhumah. #sedih

 

Kini, Tjong A Fie Mansion dihuni oleh keturunan anak ke-4 Tjong A Fie bernama Bu Mimi. Beliau tinggal di bagian utara rumah yang tertutup untuk pengunjung umum.

 

Rumah Perpaduan Bermacam Gaya Arsitektur

Tjong A Fie Mansion ini dibangun pada tahun 1895 dan selesai pada tahun 1900 di atas tanah seluas 8.000 meter persegi. Rumah ini terdiri dari 2 lantai. Jumlah kamar di lantai 2 adalah yang terbanyak, yakni 35 kamar.

 


Bentuk kusen jendela mengadopsi gaya kusen rumah Melayu.

 

Seperti yang bisa diamati, gaya arsitektur Tjong A Fie Mansion merupakan perpaduan gaya arsitektur Tionghoa, Melayu, dan Eropa. Gaya arsitektur Eropa bisa dicermati dari bentuk bangunan yang berwujud mansion. Gaya arsitektur Melayu pada bentuk-bentuk kusen pintu dan jendela. Sedangkan gaya arsitektur Tionghoa mudah diamati dari adanya ruang kosong di bagian tengah rumah.

 


Area tengah rumah yang terbuka mengadopsi konsep Feng Shui.

 

Sebagaimana gaya arsitektur Tionghoa yang dipengaruhi oleh konsep Feng Shui, bagian tengah rumah yang terbuka ini merupakan pusat sirkulasi energi ke seluruh penjuru rumah. Bila dicermati, Kata Feng Shui (風水) dibentuk dari huruf 風 yang berarti angin dan 水 yang berarti air. Di bagian tengah rumah yang terbuka inilah angin dan air bisa leluasa masuk ke dalam rumah. Ya toh? #senyum.lebar

 

Ruangan Yang Boleh Dikunjungi dan Boleh Difoto

Bang Deden kemudian mengajak kami berkeliling melihat-lihat isi rumah Tjong A Fie. Pertama adalah ruang tamu yang khusus dipergunakan untuk menyambut tamu dari Kesultanan Deli. Di ruang tamu ini nuansa Melayunya cukup kental. Bisa jadi karena di ruang tamu ini tidak dihias oleh ornamen Tionghoa maupun Eropa.

 


Tamu-tamu Melayu dijamu di sini.

 

Kemudian kami naik ke lantai 2 dan melihat isi dari kamar tidur Tjong A Fie (master bedroom). Yang menarik buatku di master bedroom ini adalah dua obyek antik berupa penyedot debu tua dan timbangan berat badan tua!

 


Sayang nggak boleh ngetes kasurnya empuk atau nggak. #hehehe

 


.... perasaan kok mirip alatnya film Ghostbuster ya? ...

 


Aku menimbang berat badan pakai alat ini akurat nggak ya? #hehehe

 

Waow! Keduanya jelas barang impor dan di zaman dahulu nggak sembarang orang di Medan bisa punya. Eh, sebentar, aku jadi mikir, memang di tahun 1900-an Medan sudah dialiri listrik ya? Apa ya masih sering mati-mati juga ya listriknya? #eh #hehehe

 

Listrik Mati...

Di tahun 2014, dari slentingan-nya warga Medan, mereka sudah bosan sama “hobi”-nya PLN yang sering banget melakukan aksi pemadaman.  Lha gimana? Listrik mati bisa sampai setengah hari lho!

 

Ruangan selanjutnya adalah ballroom yang digunakan untuk menjamu tamu-tamu Belanda. Biasalah, orang Belanda di zaman dahulu kan senangnya ngumpul-ngumpul sambil pesta dansa-dansi. Beda kan dengan adabnya orang Melayu? Makanya, ruang untuk menjamu tamunya juga beda. #senyum.lebar

 


Tamu-tamu Belanda pesta dansa di sini.

 

Kemudian kami berpindah melihat isi kamar tidur putri sulung Tjong A Fie yang bernama Tjong Foek Yin. Ia dikenal juga dengan panggilan Queeny Chang.

 


Dalam bayanganku, kamar tidurnya cewek itu banyak bonekanya.

 

Untuk Pembaca tahu, anak sulung Tjok A Fie ini dikenal juga sebagai penulis lho! Bukunya yang berjudul Memories of a Nonya menceritakan kisah hidupnya dari kecil hingga dewasa. Sayang, bukunya terbitan lama, tahun 1981. Jadi ya termasuk benda langka.

 

Di lantai 2 ini juga ada tempat sembahyang. Yang satu terbuka untuk umum. Yang satunya lagi tertutup. Keluarga Tjong A Fie ternyata ya taat beribadah juga ya. #senyum.lebar

 


Kadang nggak habis mikir, ini beneran didesain untuk kamar tidur kan? Bukan ruang kuliah? #hehehe

 

Kunjungan singkat di Tjong A Fie Mansion pun berakhir kembali di lantai 1. Sebagai penutup, kami melihat isi dapur yang sangat kental dengan nuansa tempo dulu. Yang menarik juga adalah grinder alias alat giling untuk menghaluskan beras atau gandum menjadi tepung. Zaman dahulu, mungkin belum banyak tempat yang menjual tepung ya? Jadi ya menggiling sendiri deh.

 


Alat untuk menggiling biji-bijian menjadi tepung.

 


Dapurnya masih pakai kayu, tapi sudah dikeramik.

 

Sesaat sebelum kami keluar dari dalam rumah, Bang Deden iseng-iseng memainkan lagu dengan piano. Wuih, ternyata mahir juga dirinya memainkan piano. Sebagai orang yang sama sekali nggak bisa memainkan alat musik, aku jadi merasa payah, wekekeke. #senyum.lebar

 


Mungkin kalau ada suara piano di tengah malam itu karena Bang Deden lagi main? #hehehe

 

Oh iya, kabarnya juga di Tjong A Fie Mansion ini ada piano yang bila malam tiba suka “otomatis” main sendiri. Tapi yang seperti itu biasa toh? Namanya juga rumah tua. Sesekali “penghuni”-nya iseng kan lumrah. #senyum.lebar

 

Selain “penghuni” yang seram, pas waktu itu di Tjong A Fie ini kebetulan ada juga penghuni yang lucu. Jadinya kan bikin nggak mau pulang. Pingin mainan terus. #senyum.lebar

 


Coba bisa dipaket dibawa pulang ke Jogja. #hehehe

 

Surat Wasiat Tjong A Fie

Berikut ini isi terjemahan dari salinan surat wasiat yang dibuat oleh Tjong A Fie.

 

Kliping

Testament No. 67

 

Pada hari ini Rabu, tanggal dua puluh Oktober tahun seribu sembilan ratus dua puluh, menghadap di hadapan saya Dirk Johan Focquin de Grave, notaris berkedudukan di Medan, penghadap dikenal oleh saya sebagai Tuan TJONG A FIE, Mayoor der Chineezen, bertempat tinggal di Medan.

 

Sesuai dengan permintaannya, melalui pembuatan surat wasiat ini hingga sepanjang masa dalam kehidupan terpanggil untuk dilaksanakan permintaan dalam wasiatnya ini:

 

  1. Merawat kuil nenek moyang, membiayai ongkos upacara akan peringatan TJONG A FIE dan juga upacara suci keagamaan nenek moyang TJONG A FIE.
  2. Mengadakan perawatan serta memajukan pendidikan dan pelajaran anak-anak TJONG A FIE yang sudah dan akan lahir dari keturunan laki-laki dalam derajat yang tidak terbatas.
  3. Memberikan tunjangan keuangan kepada yang muda-muda yang berbobot dan berkelakuan baik, tanpa membedakan golongan rupa yang untuk melanjutkan dan menyempurnakan pelajarannya memerlukan bantuan tersebut.
  4. Memberikan sedekah/santunan kepada yang berkepentingan tanpa membedakan golongan bangsa yang oleh karena cacat badan, buta, sakit panjang, atau penyakit-penyakit lain dan tidak mampu menghidupi dirinya sendiri.
  5. Meringankan beban kerugian yang diderita oleh orang-orang tanpa membedakan golongan bangsa sebagai akibat dari bencana-bencana alam yang dalam tiap-tiap keadaan harus dimusyawarahkan/rapat bersama dengan keluarga.  

 


Kurang baik apa aku sudi menuliskan isi surat wasiat ini di atas? #senyum.lebar

 

Jadi, demikianlah kunjungan singkat di Tjong A Fie Mansion yang sekaligus menutup jalan-jalan singkat keliling Kota Medan. Menurutku, mengelola Tjong A Fie Mansion sebagai tempat wisata sejarah seperti ini merupakan cara yang tepat untuk melestarikan bangunan lawas dengan tetap mempertahankan bentuk dan fungsinya seperti dahulu kala.

 

Daripada rumah tua diubah fungsinya menjadi rumah makan atau butik, aku sih lebih senang dengan konsep pelestarian yang seperti ini. Meskipun ya harus ditebus dengan harga tiket yang lumayan mahal. Tapi ya upaya melestarikan tempat-tempat bersejarah kan ya jelas butuh biaya yang nggak sedikit toh? Apalagi sekelas Tjong A Fie Mansion seperti ini.

 

Setelah ini, agenda selanjutnya adalah jalan kaki balik ke hotel, siap-siap packing, terus pulang ke Jakarta deh! #senyum.lebar

 

Pembaca paham toh tidak semua orang Tionghoa itu sombong?

NIMBRUNG DI SINI