HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Telusur Kubur Leluhur di Magetan dan Madiun

Kamis, 18 Agustus 2016, 09:59 WIB

Boleh dikata, seorang Wijna itu tergolong orang yang penasaran.

 

Eh, meskipun demikian, mari kita berdoa semoga kelak bila dirinya meninggal nanti tidak malah berakhir jadi arwah penasaran. #hehehe

 

Aamiin...

 

Seorang Wijna dan Pertanyaan Itu...

Bagi seorang Wijna, hidup dapat dipandang sebagai serangkaian usaha untuk menemukan jawaban atas beragam pertanyaan yang muncul saat ia ngendog #hehehe. Contohnya,

 

“Apa arti kebahagiaan itu?”

“Bagaimana cara untuk memahami satu sama lain?”

“Untuk apa ada UMR kalau orang-orang menginginkan lebih dari itu?”

 

termasuk juga pertanyaan,

 

“Dari mana sih asal-usulku?”

 

 

Bagi seorang Wijna, pertanyaan terkait asal-usulnya tersebut tidak serta merta tuntas dengan jawaban biologis semacam,

“Asal-usulmu itu dari sel telurnya ibumu dan sel spermanya bapakmu!”

 

atau juga jawaban dari sudut pandang agama, seperti

“Asal-usulmu itu dari leluhurnya Nabi Adam!”

 

 

Ndilalah, pada bulan Mei 2016 silam, Gusti Allah SWT akhirnya berkenan memberi petunjuk kepada seorang Wijna yang masih penasaran dengan asal-usulnya itu. Petunjuk tersebut hadir melalui perantara kedua orangtua tersayang.

 

“Le, Bapak dan Ibu mau nyekar ke Magetan dan ke Madiun.”

 

yang terjemahannya adalah,

“Nak, Bapak dan Ibu mau berziarah kubur ke Magetan dan ke Madiun.”

 

 

Bagi seorang Wijna, ziarah kubur tidak hanya dipandang sebagai suatu perbuatan dzikrul maut alias mengingat kematian. Namun juga, suatu perbuatan yang dapat digunakan untuk tracing back the past alias menelusuri jejak leluhur (mbuh, ngawur terjemahannya #hehehe).

 

Menelusuri jejak leluhur, adalah salah satu aktivitas yang sekiranya bisa dilakukan oleh setiap manusia yang bernyawa. Bila diibaratkan sebagai suatu tree, kita adalah node yang memiliki ancestor. Bukan hal yang mustahil toh untuk back tracking jejak ancestor menuju root?

 

Hanya saja, mungkin sebagian dari kita terkendala oleh keterbatasan informasi dan juga kesempatan sehingga aktivitas ini sulit untuk dilakukan. Atau mungkin, kita sendiri belum menemukan urgensi dari menelusuri jejak leluhur? #senyum.lebar

 

Seorang Wijna dengan Pria Itu....

Nah, guna mengawali perjalanan menelusuri jejak leluhur ini, ada baiknya aku berangkat dari selembar foto lama yang diabadikan sekitar tahun 1990-an ini.

 

Eh, eh, eh! Tolong fokuskan perhatian ke sosok pria paruh baya yang tersenyum ramah itu ya!

 

Sosok anak kecil yang riang gembira itu tolong diabaikan saja! #hehehe

#nggak.usah.main.tebak.tebakan

 

 

Pria paruh baya yang semestinya aku sapa dengan panggilan “Eyang Goenari” ini adalah kakekku. Lebih tepatnya, ayah dari Ibuku.

 

Beliau lahir tanggal 15 Desember 1922 dan wafat tanggal 16 Maret 2000. Sepanjang hayatnya, beliau dikenal sebagai pribadi yang baik. Bahkan sangat baik. Sampai-sampai, banyak orang mengenang beliau sebagai pribadi yang tidak pernah marah.

 

Padahal aku ya pernah kena marah sekali, hehehe. #hehehe

 

 

Semestinya...

Eh iya, di paragraf atas itu aku bilang kalau semestinya aku mengundang beliau dengan panggilan “Eyang Goenari”. Itu karena, kami, para cucu-cucunya “didoktrin” untuk menyapa beliau dengan panggilan “Pakdhe Goenari”.

 

Aneh ya? #senyum.lebar

 

Alasannya sederhana sih. Karena kalau disapa dengan panggilan “Eyang”, nanti terasa tua (sensitif umur sekali ya? #hehehe). Alhasil, selain panggilan “Pakdhe Goenari” muncul juga panggilan “Budhe Goenari”. Selain itu, guna menghilangkan kerancuan, panggilan yang semestinya “Paklik”, “Bulik”, “Pakdhe”, dan “Budhe” diganti menjadi “Om” dan “Tante” / "Bu".

 

Bagi Pembaca yang belum akrab dengan budaya Jawa. Eyang itu adalah sebutan dalam bahasa Jawa untuk kakek atau nenek. Pakdhe (pria) dan Budhe (wanita) itu sebutan untuk saudara ayah atau ibu yang usianya lebih tua. Sedangkan Paklik (pria) dan Bulik (wanita) itu sebutan untuk saudara ayah atau ibu yang usianya lebih muda.

 

Paham toh? #senyum.lebar

 

 

Sebagai seorang cucunya, terus terang, aku kurang begitu paham perihal sejarah kehidupan Pakdhe Goenari. Boleh jadi ya karena saat beliau masih hidup, akunya masih kecil. Jadinya aku nggak menaruh perhatian dengan sejarah kehidupan beliau.

 

Semisal Pakdhe Goenari masih hidup di usiaku dewasa ini, besar kemungkinan beliau sudah aku berondong dengan berbagai macam pertanyaan, hahaha. #senyum.lebar.

 

Kalau aku ingat-ingat, semasa kecil Ibu pernah menyinggung nama Magetan dan Madiun terkait asal-usul Pakdhe Goenari. Tapi ya... karena aku masih kecil, lagi-lagi aku nggak begitu menaruh perhatian dengan dua nama kabupaten di Jawa Timur tersebut.

 

Lha anak kecil ya mana peduli sama nama-nama kabupaten?

 

Ngerti lokasi di peta saja nggak! #hehehe

 

Seorang Wijna yang Untuk Pertama Kalinya....

Hingga pada akhirnya, pada Kamis (12/5/2016), suratan takdir mengantarkan seorang Wijna menapakkan kaki di Magetan dan Madiun... untuk yang pertama kalinya dalam hidup.

 

Eh! Tapi ya aku nggak tahu juga dink. Semisal duluuu pas aku masih kecil, ternyata ya aku pernah juga singgah di Magetan dan Madiun. #hehehe

 

 

Adalah Magetan, salah satu kabupaten di Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Karanganyar di Jawa Tengah. Pemisahnya, adalah gunung elok nan anggun yang bernama Gunung Lawu.

 

Alhasil, jalur yang kami tempuh dari Kota Jogja menuju Magetan adalah dengan “membelah” Gunung Lawu, yaitu:

 

Yogyakarta → Klaten → Solo → Karanganyar → Tawangmangu → {Gunung Lawu} → Plaosan → Magetan

 

 

Medan jalan dari Karanganyar menuju lereng Gunung Lawu didominasi tanjakan curam dan berliku. Nggak jarang terhalang kabut meskipun di siang hari. Pokoknya, benar-benar jalur yang menegangkan dan mensyaratkan kondisi kendaraan yang prima guna melahap tanjakan.

 

Meski demikian, adapula jalur yang menyegarkan mata. Tepatnya adalah jalur selepas memasuki wilayah Kecamatan Plaosan. Di kanan-kiri jalan tersaji pemandangan persawahan dan ladang di kontur perbukitan. 

 

Di sepanjang jalan raya ini nggak ada rest area. Tapi banyak toilet umum. Sayangnya, sebagian besar toilet umumnya itu dikunci. #sedih

 

 

Saat mendekati obyek wisata Telaga Sarangan bisa dijumpai banyak ladang buah stroberi di pinggir jalan raya. Pengunjung bisa membeli buah stroberi atau pun memetiknya langsung di ladang.

 

Hanya saja, harga stroberinya menurutku agak mahal. Walaupun ya lebih mahal harga stroberi di supermarket sih. #hehehe Jadi, harus pintar-pintar menawar kalau membeli stroberi di sini.

 

 

Oh iya, personil perjalanan kali ini nggak hanya terdiri dari aku, Bapak, dan Ibu saja. Saudara-saudaranya Ibu yang biasa aku sapa mereka dengan sebutan “Oom” dan “Bu” turut serta. Ada juga satu adik sepupu yang ikut, Aryo, yang dulu pernah jalan bareng ke Museum Nasional di Jakarta.

 

Intermezzo lagi nih. Pakdhe dan Budhe Goenari itu dikaruniai 5 anak, yang terdiri dari 3 putri dan 2 putra:

 

  1. Ibuku sebagai leader of the gank alias anak tertua,
  2. Oom Mbud,
  3. Bu Amiek,
  4. (tante) Tulus (meninggal dunia saat masih kecil),
  5. Oom Titoet

 

Dari mereka-mereka inilah aku memperoleh informasi perihal menelusuri jejak leluhur. Salah satunya adalah tradisi ziarah kubur yang dahulu pernah mereka lakukan bersama Pakdhe Goenari.

 

 

Mungkin saja Pakdhe Goenari pernah berkata kepada anak-anaknya,

“Ini lho kakek nenekmu.”

 

yang mana aku lantas membayangkan Pakdhe Goenari berkata kepadaku sebagai cucunya,

“Ini lho kakek nenek buyutmu.”

 

(entah kenapa saat menulis ini aku beberapa kali “mendengar” suara Pakdhe Goenari. Somehow it brings back some lovely memories that happened years ago.)

 

Yah, semoga untuk beberapa tahun ke depan aku masih ingat lokasi-lokasi ziarah ini. Salah satu usahanya ya aku dokumentasikan sebagai artikel blog. #senyum.lebar

 

Magetan dan Makam Nenek Buyut

Kota Magetan pukul dua belas siang. Tujuan kami yang pertama adalah berziarah kubur ke makam ibu dari Pakdhe Goenari. Tepatnya, nenek buyutku.

 

Petunjuk ke makam hanya sebatas ingatan Bu Amiek yang sejak muda mendaulatkan diri sebagai partner blusukan-nya Pakdhe Goenari ke mana-mana.

 

“Dulu itu kalau nyekar ke sana mobilnya diparkir dekat penjara habis itu ke sananya jalan kaki. Dekat sini ada warung nasi pecel.”

 

 

 

Alhamdulillah, dengan petunjuk yang hanya sepotong-potong itu akhirnya ketemulah pemakaman umum yang dimaksud. Pemakaman umum yang menjadi tujuan kami ini bisa dibilang tak bernama. Di gerbang masuknya hanya tertera aksara Arab berupa salam,

 

“Assalamu’alaikum ya Ahli Qubur”

 

Belakangan, kami baru tahu bahwa pemakaman ini dikenal dengan nama makam Kauman.

 

 

 

Urusan masih jauh dari selesai meskipun kami sudah tiba di pemakaman umum yang dimaksud. Sebab, mencari letak nisan nenek buyut sama sulitnya seperti menemukan jarum di tumpukan jerami!

 

“Kalau nggak salah, dulu itu naik bukit ini, habis itu makamnya dekat sini belok kiri.”, Bu Amiek kembali mengingat-ingat

 

Lagi-lagi pencarian lokasi nisan ini hanya mengandalkan ingatan yang kini tinggal sepotong-sepotong.

 

“Maklum, terakhir kali ke sini kan sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu.”

 

Iya juga sih. Pakdhe dan Budhe Goenari menghabiskan hari-hari tuanya di Jakarta. Alhasil, berziarah kubur ke Magetan yang jaraknya beratus-ratus kilometer dari ibu kota ini nggak bisa rutin dilakukan.

 

Lha wong, Bapak dan Ibu saja sepertinya baru sekarang ini kok ziarah kubur ke Magetan lagi. Seringnya kami berziarah kubur paling ya sebatas makam di Klaten dan Solo yang jaraknya lumayan dekat dari Jogja.

 

 

 

Di siang hari itu kami pun berpencar menelusuri nisan demi nisan di pemakaman Kauman yang sebagian besar kondisinya tak terawat dan dikerumuni ilalang lebat. Tim pencari nisan dipimpin oleh Oom Titoet yang merasa masih ingat lokasi dan bentuk nisan neneknya itu.

 

Sik, sik, belum dapat petunjuk ini.”, Oom Titoet sibuk mencari-cari nisan

 

Aku pun ikut bergerak mencari-cari nisan yang dimaksud. Meskipun aku kurang yakin bisa menemukannya dengan informasi yang serba minim. Bu Amiek beberapa kali menyebutkan nama yang mungkin terpahat di nisan. Tapi itu pun baru sebatas spekulasi.

 

Mana nggak ada juru rawat makam pula! Jadinya kan nggak bisa bertanya ke siapa pun toh?

 

Lha yo masak bertanya ke para ahli kubur? Kan ya nggak mungkin toh? #hehehe

 

 

 

“Ini, ini, ketemu!”, seru Oom Titoet

 

Kami pun segera berkerumun ke tempat di mana Oom Titoet berdiri. Dua nisan berlapis tegel keramik hitam berdiri berdampingan.

 

Pada nisan yang besar tertulis nama “Ibu Sapuroh binti Sastro Diwirjo”. Sedangkan di nisan yang lebih kecil tertulis nama “Anak Ibu Sapuroh bin Karjodarmojo”.

 

“Pangling aku, dulu seingatku nisannya belum ditegel seperti ini.”

 

Apabila menilik tahun kelahiran Pakdhe Goenari di tahun 1922, menurut pengamatanku kedua nisan ini bukanlah model nisan yang didirikan sekitar kurun tahun 1920-an. Besar kemungkinan nisan-nisan ini di-modern-kan beberapa tahun terakhir.

 

Sayang, kedua nisan ini tidak mencantumkan tanggal maupun tahun. Jadi, aku nggak tahu berapa usia Ibu Sapuroh dan anaknya ketika beliau meninggal dunia.

 

 

 

Menurut cerita putra-putri Pakdhe Goenari, Ibu Sapuroh alias nenek mereka itu meninggal dunia selepas melahirkan si anaknya ini. Bisa diasumsikan mereka meninggal pasca melahirkan. Sedangkan sang suami, yaitu Pak Karjodarmojo, sudah terlebih dahulu meninggal dunia.

 

Aku bisa merasakan, Ibu dan saudara-saudaranya tidak memiliki memori dengan kakek dan nenek dari garis ayah semasa mereka kecil. Memori akan kakek dan nenek mereka ya hanya sebatas nisan ini.

 

Di sekitar nisan nenek buyut ini juga terdapat nisan-nisan lain yang merupakan kerabat Pakdhe Goenari. Beberapa di antaranya hanya nisan polos tanpa nama dan tahun. Namun Ibu dan saudara-saudaranya masih mengenali beberapa nisan dan juga sang mendiang semasa mereka hidup.

 

 

Madiun dan Makam Nenek Canggah

Selepas berziarah di Magetan, tujuan ziarah yang berikutnya adalah Madiun. Kalau Magetan adalah tempat di mana semuanya berawal, maka Madiun adalah tempat di mana semuanya mulai berjalan.

 

Magetan dan Madiun terpisah jarak sekitar 24 kilometer. Di Madiun inilah seorang Pakdhe Goenari menghabiskan masa muda dan remajanya.

 

Pakdhe Goenari adalah anak ketiga dari 6 bersaudara. Dua adiknya adalah perempuan. Sedangkan saudara bungsunya, ya itu, sudah terlebih dahulu meninggal dunia saat masih kecil.

 

Hidup sebagai anak-anak yatim piatu, Pakdhe Goenari beserta kedua adiknya lantas diasuh oleh kakek dan neneknya yang bermukim di Madiun. Kakek dan neneknya ini berprofesi sebagai juragan batik. Alhasil, semasa kecil Pakdhe Goenari sudah terlibat dalam usaha perbatikan.

 

Tapi nasib kemudian berkata lain. Selepas kakek dan neneknya meninggal, usaha batik ini pun melesu. Pakdhe Goenari banting setir. Beliau menimba ilmu di sekolah perkebunan yang dikelola Belanda yang kemudian kelak menghantarkannya ke Jakarta sebagai salah satu PNS di Kementrian Kehutanan.

 

 

Kota Madiun ini adalah kota yang menyimpan sejuta kenangan bagi Ibu dan saudara-saudaranya. Di kota inilah terdapat suatu rumah yang mereka sebut sebagai “rumah Madiun”. Tempat di mana mereka melewatkan momen “pulang kampung” dan bercengkrama ria bersama saudara sepupunya.

 

Aku sendiri merasakan rumah di Jogja yang kini aku huni ini sebagai rumah “pulang kampung”. Rumah yang menyimpan jutaan kenangan. Di mana dahulu semasa kecil aku bercengkrama ria dengan saudara sepupu dari garis Bapak.

 

Tapi sayang, sewaktu singgah di Madiun itu, kami tidak sempat mampir ke “rumah Madiun”. Meski demikian kami sempat mampir ke salah satu rumah saudara sepupu Ibu yang mereka undang dengan panggilan Mbak Wi. Tentu di sana mereka saling melepas rindu dan bernostalgia mengenang momen kebersamaan berpuluh-puluh yang tahun lampau.

 

“Dulu pas kecil Ibu mainnya sama Mbak Wi ini.”

 

 

 

Pukul dua siang, kami pun menepi di Makam Precet guna menuntaskan misi terakhir, berziarah ke makam kakek dan nenek buyut Ibu dan saudara-saudaranya.

 

Jadi ini makam eyang canggah-nya aku. Ancestor level 4 di atas seorang Wijna. #senyum.lebar

 

Untuk Pembaca yang masih bingung dengan istilah silsilah garis keturunan di Jawa macamnya anak, putu, buyut, canggah, wareng, udeg-udeg, dsb bisa melirik referensi berikut:

 

https://id.wikipedia.org/wiki/Anak_cucu

http://gusdayat.com/2012/11/02/10-level-istilah-silsilah/

 

 

Tugas berat lagi-lagi menanti kami di Makam Precet ini. Apalagi kalau bukan menemukan lokasi nisan yang entah ada di mana itu.

 

Bu Amiek sebagai personil yang terakhir kali berziarah ke Makam Precet bertahun-tahun yang lampau kembali menggali ulang ingatannya.

 

“Kalau nggak salah lokasi nisannya di sana itu. Dulu nisannya dipindah karena kalinya banjir.”

 

Letak Makam Precet ini memang hanya beberapa puluh meter dari Sungai Bengawan Solo. Meskipun aku sulit membayangkan Sungai Bengawan Solo bisa meluap, tapi dahulu peristiwa tersebut pernah terjadi dan alhasil mengubah susunan nisan di Makam Precet.

 

 

 

Walaupun dibantu oleh seorang juru pelihara, pencarian nisan eyang canggah ini tak juga membuahkan hasil. Pak Juru Pelihara pun angkat suara,

 

“Apa mungkin makamnya yang disebelah sana Bu?”

“Maksudnya Pak?”

“Makam Precet ada dua Bu. Yang ini Pangongangan. Yang di sana Mangunharjo.”

 

Wedalah! Ada dua makam yang sama-sama namanya Precet!

 

Yang bikin beda hanya nama kelurahannya saja, Pangongangan dan Mangunharjo.

 

Haduh....

 

 

Berhubung jarak kedua pemakaman ini hanya sepelemparan batu, kami pun berpindah mencari peruntungan di Makam Precet versi Mangunharjo. Entah bagaimana sejarahnya kok bisa ada dua pemakaman berbeda kelurahan seperti ini.

 

Tapi sayang, rupa-rupanya nasib kami belum membaik di Makam Precet versi Mangunharjo ini.

 

Kondisi Makam Precet versi Mangunharjo 11-12 dengan tetangganya si versi Pangongangan. Banyak nisan-nisan tua yang nggak terawat. Beberapa tulisan yang terpahat pada nisan terbaca samar. Apalagi di sini nggak ada juru pelihara yang berjaga dan bisa dimintai bantuan.

 

 

Dengan demikian, opsi pamungkas pun akhirnya diambil.

 

Bu Amiek menelpon salah seorang saudara sepupunya yang juga bermukim di Kota Madiun. Alhamdulillah suami beliau bisa menyempatkan diri datang menemani kami di Pemakaman Precet dan lantas menunjukkan lokasi nisan eyang canggah.

 

Inilah wujud nisan eyang canggah. Hanya tertera nama “Sastra Diwirja” pada nisannya. Tanpa ada embel-embel tanggal, tahun, maupun nama bin/binti yang menyertainya.

 

 

Tapi kok hanya ada satu makam?

 

“Kakek buyut kakung dulu meninggal kena wabah penyakit pes. Terus dimakamkan di tempat yang jauh, yang kita semua nggak pada ada yang tahu.”

 

Semoga memang betul dimakamkan. Bukan dibuang ke sungai dan jadi santapan ikan-ikan. #sedih

 

 

Penutupnya Nasi Pecel Yu Gembrot

Oleh sebab tak ada lagi nama yang bisa ditelusuri, maka dari itu selesailah perjalanan menelusuri jejak leluhur dari seorang Wijna. Lumayan bisa mengerti asal-usul dari 4 generasi ancestor. #senyum.lebar

 

Adapun perjalanan kali ini ditutup dengan bersantap di warung nasi pecel Yu Gembrot yang letaknya ada di Pasar Besi Njoyo Madiun. Walaupun katanya ini bukan warung nasi pecel kenangan putra-putrinya Pakdhe Goenari, tapi bolehlah dicoba.

 

 

Harganya terbilang murah. Nasi pecel polos dihargai Rp6.000. Tambahan lauk tahu atau tempe bacem dikenai harga Rp3.000 dan telur dadar Rp4.000. Sedangkan harga nasi pecel berlauk daging empal Rp11.000.

 

Rasanya buatku sih lumayan. Nggak terlalu pedas. Tapi juga nggak begitu berkesan “wah”. Kalau diberi skor ya mendapat nilai 7 dari 10 lah.

 

 

Nasi pecel yang di lidahku terasa nikmat masih dipegang oleh nasi pecel Bledek di Nganjuk sana. #senyum.lebar

 

Oh iya, bumbu pecelnya juga bisa dibeli untuk dibawa pulang lho!

 

 

 

Demikianlah cerita perjalanan Wijna mencari jejak leluhur. Aku berharap semoga dokumentasi ini berguna di masa yang akan datang.

 

Siapa tahu besok-besok aku kembali ziarah kubur ke sini lagi?

Siapa tahu mungkin gantian Tiwul yang berziarah kubur?

Atau mungkin anak-anak atau cucu-cucu kami kelak?

 

 

Setiap yang bernyawa kelak akan mati. Demikian pula bagi kita-kita yang saat ini menyempatkan waktu membaca tulisan ini. 

 

Semoga, selama kita masih bernyawa, kita senantiasa diberikan kesempatan oleh-Nya untuk dapat berbuat baik dan menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari.

 

Sehingga generasi penerus kita kelak dapat mewarisi sesuatu dari kita yang tidak terlihat oleh mata.

 

Aamiin....

NIMBRUNG DI SINI