HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Candi Gampingan

Sabtu, 6 Desember 2008, 07:19 WIB

Etika Berwisata Peninggalan Bersejarah

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak peninggalan bersejarah! Kalau bisa batasi kontak fisik ke benda tersebut!
  3. Baca informasi sejarahnya. Kalau perlu difoto dan dibaca lagi di rumah.
  4. Patuhi peraturan yang berlaku!
  5. Jaga sikap dan sopan-santun!
  6. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  7. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Minggu pertama di bulan Desember tahun 2008 ini diwarnai oleh cerahnya cuaca Kota Yogyakarta. Bahkan saking cerahnya, di pagi hari Gunung Merapi dan Gunung Merbabu bisa terlihat jelas dari Tugu Pal Putih dengan mata telanjang.

 

Nah, memanfaatkan momen langka di musim hujan ini, aku dan Andreas kembali meluncur mencari candi-candi yang tersebar di Yogyakarta. Di hari Jum'at pagi (5/12/2008) itu, lokasi candi sasaran kami agak jauh dari Prambanan dan Jl. Raya Yogyakarta – Solo. Sebab, lokasi candi yang kami incar ada di Kabupaten Bantul.

 

Saatnya kita menjelajah Bantul Pembaca! #senyum.lebar

 

Bila menyebut nama Kabupaten Bantul, yang pertama kali terbayang mungkin ya suasana porak-poranda akibat terjangan gempa bumi di tahun 2006 silam. Bila mengingat-ingat peninggalan bersejarah di Bantul, paling yang terbayang adalah bekas keraton Mataram di Pleret.

 

Tapi siapa sangka, bahwa di Dusun Gampingan, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta ada peninggalan bersejarah yang berwujud candi. Candi ini disebut-disebut memiliki relief yang tidak kalah cantik dari candi-candi lain di Yogyakarta. Sesuai nama dusun tempatnya berada, nama candi ini adalah Candi Gampingan.

 

Rute Tanpa Nyasar ke Candi Gampingan

Seperti adegan petualangan kami pada umumnya, perjalanan menuju ke Candi Gampingan sempat dimeriahkan oleh adegan nyasar (berkali-kali) #hehehe. Tapi setelah dipikir-pikir, ternyata rute jalan menuju ke Candi Gampingan tergolong mudah dan relatif dekat.

 

Pertama-tama, kami melintasi Jl. Raya Yogyakarta – Wonosari sampai di km 10. Kemudian di km 10 ini kami berjumpa dengan perempatan yang dijaga lampu lalu lintas. Di sana, kami berbelok ke kanan (arah selatan) dan terus menyusuri jalan hingga kami bertemu dengan papan petunjuk TK ABA di sisi kanan jalan. Perlu diperhatikan, semenjak berbelok dari lampu lalu lintas sudah masuk wilayah Desa Sitimulyo.

 

Selanjutnya, kami hanya tinggal mengikuti jalan yang ditunjuk papan penunjuk jalan tersebut hingga kami sampai di Dusun Gampingan. Kalau masih bingung, tanya saja warga setempat, di mana persisnya letak SD Negeri Gampingan.

 

Nah, hanya beberapa meter sebelum SD Gampingan, kami melihat “tanda” berupa papan peringatan berwarna putih yang berdiri tegak di tengah sawah. Sesuai apa yang dirasakan "insting batu" kami, di sanalah Candi Gampingan berada.

 


Euh, sebenarnya nggak putih juga sih warnanya. #hehehe

 

Oh iya, akses jalan menuju Candi Gampingan cukup nyaman dilewati baik bagi kendaraan roda dua maupun roda empat.

 

Candi Buddha di Tengah Sawah

Penampakan situs Candi Gampingan yang berada di tengah hamparan sawah dan dikelilingi rumah penduduk sedikit banyak mengingatkan aku pada suasana di Candi Karangnongko dan Candi Kalasan. Tapi kalau dipikir-pikir sih lebih mirip dengan Candi Sambisari karena posisi candi lebih rendah dari permukaan tanah di sekitarnya. Dugaan kami, Candi Gampingan ini dahulunya terkubur di bawah tanah akibat tertimbun endapan dari letusan gunung Merapi.

 

Sayang, di sekitar candi tidak terdapat papan informasi dan juga pos jaga juru kunci. Jadi, untuk menggali informasi lebih jauh tentang Candi Gampingan, aku merujuk ke beberapa referensi di internet.

 


Candi Gampingan yang hanya menyisakan bagian dasarnya saja.

 

Upaya penyelamatan Candi Gampingan tercatat sudah tiga kali dilakukan, yaitu pada tahun 1995, 1996, dan 1997. Dari usaha penyelamatan tersebut, situs Candi Gampingan diketahui memiliki 7 buah bangunan yang tidak lagi utuh. Sedangkan saat ini sendiri hanya bisa disaksikan 3 bangunan dengan jelas. Satu di antaranya diduga kuat merupakan candi induk.

 


Apakah ini dahulunya bangunan candi perwara ya?

 

Dalam candi induk pernah ditemukan arca Buddha Vairocanna, Arca Jambhala dan Arca Candralokesvara. Namun arca-arca tersebut tidak kami temukan di situs Candi Gampingan. Besar kemungkinan sih sudah diselamatkan ke tempat lain.

 

Nah, dari arca-araca yang pernah ditemukan itu diduga Candi Gampingan merupakan candi Buddha yang khusus diperuntukkan menyembah Dewa Jambhala yang notabene dewa rejeki. Dari arsitekturnya, Candi Gampingan diduga dibangun pada abad ke-9 Masehi.

 

Relief Hewan di Kaki Candi

Apa yang saat ini tersisa dari bangunan candi induk di Candi Gampingan hanyalah bagian kaki candi setinggi 1,2 meter. Bangunan candi induk ini memiliki tangga masuk yang menghadap ke arah timur.

 

Di bagian kaki bangunan candi induk terukir sejumlah relief binatang yang didominasi relief burung dan relief katak. Total ada 9 panel relief yang menghiasi bagian kaki candi.

 


Relief katak yang sepertinya mereka sedang bercengkrama.

 

Relief burung erat kaitannya dengan keyakinan di zaman lampau bahwa burung adalah perwujudan dari para dewa serta pembawa pesan dari nirwana. Sedangkan relief katak sendiri berkaitan dengan keyakinan bahwa katak merupakan hewan gaib yang dapat mendatangkan hujan.

 


Relief burung bangau yang sedang mengigit untaian bunga.

 

Terkait dengan hal tersebut, di tengah candi terdapat sebuah lubang sumur yang berisi air. Aku tidak tahu apakah keberadaan lubang berisi air di dalam bangunan induk candi merupakan kebetulan belaka karena saat ini Yogyakarta sedang mengalami musim hujan.

 

Akan tetapi, Andreas bersikeras dengan pendapatnya bahwa bangunan candi induk itu memang memiliki sumur sebagai tempat pemujaan layaknya Candi Lumbung di Magelang. Sayangnya, nggak ada keterangan rinci mengenai hal ini. Juga, apakah relief-relief tersebut menggambarkan suatu cerita binatang seperti yang ada di Candi Sojiwan dan Candi Mendut.

 


Lubang sumur di Candi Gampingan yang berisi air. Sepertinya sih dangkal. Apa hanya genangan air ya?

 

Penggalian Candi yang Terancam

Selang beberapa saat semenjak kami mengobservasi Candi Gampingan, datanglah seorang bapak yang merupakan juru kunci candi. Dari bapak tersebut (lupa tanya namanya siapa #hehehe) kami memperoleh informasi tentang suatu bangunan candi yang sedang digali dan berada tidak jauh dari situs Candi Gampingan.

 


Bangunan candi yang sedang digali terancam dikubur lagi. Sedih. #sedih

 

Sayang, bangunan candi yang berada di sawah milik warga tersebut rencananya akan ditpendam kembali. Alasannya sederhana, karena sewa sawah untuk penggalian bangunan candi tersebut sudah habis. Duh! Benar-benar tindakan yang patut disayangkan. #sedih

 

Selain itu, ketinggian permukaan situs Candi Gampingan yang lebih rendah dari permukaan tanah di sekitarnya mengakibatkan situs ini terendam air jika hujan deras tiba. Sepertinya BP3 harus cepat menanggapi hal ini dengan membangun saluran drainase yang baik. Perhatian pemeliharaan benda-benda purbakala di negeri ini sepertinya masih setengah-setengah. #sedih

 

 

Saat kami hendak pulang, kami berencana memberi sedikit rejeki kepada bapak juru kunci. Akan tetapi, beliau menolak dengan halus.

 

Tatkala sepeda motor perlahan melaju meninggalkan situs Candi Gampingan, sekilas aku menengok ke belakang dan memperhatikan beliau sedang tengah duduk membaca buku seusai menyiangi rumput yang tumbuh di sela-sela batuan candi. Ah, andai kami bisa tanpa pamrih menjaga pusaka bangsa ini seperti beliau....

NIMBRUNG DI SINI