HALAMAN UTAMA

PROFIL

ARSIP ARTIKEL

BUKU TAMU

 

KATEGORI

Kenalan Pagi Bukit Gondopurowangi

Kamis, 30 April 2020, 23:59 WIB

Etika Berwisata Alam

  1. Jangan buang sampah sembarangan!
  2. Jangan merusak alam!
  3. Patuhi peraturan dan tata krama yang berlaku!
  4. Jaga sikap dan sopan-santun!
  5. Jangan hanya foto-foto selfie thok!
  6. Kalau tempat wisatanya sudah ramai, jangan ke sana!

Lebih lanjut, silakan simak artikel ini.

Biasanya, menjelang akhir pekan muncul dua opsi:

 

  1. Blusukan mencari curug. 
  2. Dolan bersama Mbak Mar

 

Saat penentuan curug berakhir buntu, opsi nomor dua seringkali terpilih #hehehe. Dengan catatan, lokasi dolan bukan di persekitaran lereng Gunung Merapi. #hehehe #bosan

 

 

Adalah hal langka ketika Mbak Mar mengajak dolan lumayan jauh dari lereng Merapi. Lumayan jauh pula dari kediamannya di Turi.

 

Mungkin Mbak Mar ingin menikmati Merapi dari sisi yang berbeda.

Mungkin Mbak Mar sedang bosan mengabadikan Merapi dari sabo dam.

Mungkin pula Mbak Mar tertarik dengan tempat yang dipromosikan Nove. #hehehe

 

 

Lantas, Bukit Gondopurowangi terpilih sebagai TKP dolan pada Sabtu (29/6/2019) silam. Tempat ini belum eksis di Google Maps. Informasi di internet pun minim.

 

Sekelumit keterangan menyebutkan Bukit Gondopurowangi berada Desa Kenalan, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Jaraknya sekitar 40 km dari pusat Kota Jogja. #jauh.juga

 

 

Karena tema dolan pada Sabtu ini adalah menikmati sunrise di Bukit Gondopurowangi, aku dan sang istri berangkat mruput, pukul setengah empat pagi. Rutenya lewat Jl. Godean ke barat, disambung Jl. Nanggulan ‒ Mendut ke arah Magelang. Janjian dengan Mbak Mar langsung di TKP.

 

Mirip perjalanan ke Pos Mati setahun silam. Kami bersepeda motor (lumayan) kencang. Menerjang dinginnya sisa udara malam. Di tengah gelapnya pagi. Empat puluh kilometer pula. #wew

 

 

Hingga kilometer kesembilan Jl. Godean masih agak ramai pelintas. Selebihnya, sepi. Laju sepeda motor pun semakin kencang agar cepat terbebas dari situasi rawan begal semacam ini. #hehehe

 

Banjararum, Banjarasri, Banjarharjo, dan Banjaroyo. Jalan kenangan Nanggulan ‒ Mendut yang amat sangat minim pelaju terlewati dengan selamat. Sepertinya, hanya kami manusia yang masih bernyawa. Pasar Dekso pun masih sepi.

 

Berkaca dari pengalaman ke Pos Mati, lebih baik beribadah subuh di sekitar jalan raya Kalibawang. Rehat sejenaklah di Musala Al-Barokah dekat simpang tiga Pasar Jagalan. Jarak tinggal 5 km lagi.

 

 

In God we trust. 

In “jalan putih kecil” Google Maps we believe. #hehehe

 

Balkondes Kenalan menjadi titik patokan. Jarak 5 km terbilang dekat. Namun, sungguh amat menegangkan seperti tampak pada foto di atas.

 

Sepi. Kanan-kiri pohon lebat. Gelap gulita. Tak ada penerangan jalan. Tak ada kawan pelaju. Rumah warga pun serasa rumah hantu.

 

Waktu subuh sudah lewat. “Mereka” yang hidup berdampingan seharusnya sudah pulang kan? Jadi, mungkin yang terasa “berat” ini hanya sugesti saja. #hehehe

 

Alhamdulillah-nya di pinggir jalan banyak papan petunjuk arah ke Balkondes Kenalan. Walaupun, setibanya di Balkondes terbitlah pertanyaan

 

“terus, dari Balkondes ke Bukit Gondopurowangi-nya lewat jalan mana?”.

 

 

Di tengah pagi yang masih gelap itulah muncul sesosok simbah kakung. Tampilannya nyentrik. Bersarung. Melangkah santai di jalanan dusun. Radio tua tergantung di leher. Alunan lagu lawas memecah kesunyian.

 

Simbah kakung menunjukkan arah ke Bukit Gondopurowangi. Berlalulah kami seusai berterima kasih. Jalan aspal dusun yang kian menanjak disusuri. Tak ada sekelebat penasaran untuk menoleh ke belakang. #hehehe 

 

Selanjutnya,

 

“Ini mau menanjak sampai mana?”

 

Langit perlahan menerang. Siluet gunung perlahan terlihat. Tapi, sinyal seluler alpa. Jadi, Mbak Mar tidak bisa dihubungi. Eh, memangnya jika dihubungi pun bisa memberikan arahan lokasi? #hehehe

 

 

Kami berjumpa dengan suatu bangunan kayu di tepi jalan. Sepertinya, untuk menyaksikan pemandangan dari ketinggian. Kuat asumsi ini bukan Bukit Gondopurowangi yang dimaksud. Alhasil, kami berhenti. #bingung

 

Ndilalah, dari belakang muncul dua sepeda motor. Penumpangnya berpasang-pasangan. Dari plat nomor dan busananya bukan berciri warga lokal. Mereka bingung dan juga bermaksud ke Bukit Gondopurowangi. Tapi, bukan tanpa membawa secercah petunjuk,

 

“Mungkin lewat jalan kecil di pertigaan tadi?”

 

 

Ya Gusti! Ya Rabbi!

 

Jalan kecil yang pantasnya dilewati para peladang malah dilewati sepeda motor!

 

Sempit. Kanan kiri hutan. Gelap. Naik turun. Tanpa petunjuk.

 

Gila! Gila! Gila! PEKOK-nya aku sudi bersepeda motor lewat sini! #hehehe

 

Lha, kok ya sang istri malah antusias? Biasanya dia bete kalau sudah bertemu jalan tidak jelas semacam ini. #hehehe

 

Untungnya, jalan kecil ini sudah dicor semen. Istimewa dan niat sekali.

 

Tapi, tetap berdoa! Semoga selamat. Khususnya, tidak ada sepeda motor yang hendak simpangan dari arah sebaliknya! Modyar saja akrobatnya jika itu terjadi. #hehehe

 

 

Luar binasa sekali, di ujung jalan kecil ternyata berdesakan sepeda motor! Lokasi parkirnya pun luar binasa karena nyempil-nyempil di antara pepohonan.

 

Salah satu dari sepeda motor itu milik Mbak Mar. Berarti kami berada di lokasi yang tepat. 

 

Tapi, entah di mana gerangan Mbak Mar berada. Tak ada seorang pun di sana. Tak ada pula penjaga parkir. 

 

Jawabnya mungkin dengan menyusuri jalan setapak membelah bukit. Oleh sebab langit kian terang, dua anak tangga pun dijamah dalam sekali langkah. #hehehe

 

Sepanjang melangkah kaki, tak henti-hentinya heran. Beberapa bagian bukit benar-benar dibelah! Niat sekali membuat jalan setapak membelah bukit. Dipasangi jalur pipa pralon pula. 

 

Ini bau-baunya objek wisata yang bakal tenar. #hehehe

Tapi, masak dengan jalan kecil seperti itu? #hehehe  

Mobil mau diparkir di mana? #hehehe

 

 

Kurang lebih 5 menit menyusuri jalan setapak, berakhirlah di suatu ujung bukit, di belakang suatu batu besar. Beberapa gazebo berdiri di sana. Demikian pula dengan sebuah toren air jingga nan mencolok.

 

Di gazebo tertinggi orang-orang berkumpul. Sebagian bersiaga dengan kamera tertopang tripod. Salah satunya Mbak Mar. Ia sendiri. Tirta kan sudah hijrah ke ujung barat Jawa.

 

Waktu menunjukkan pukul enam lewat lima menit. Langit benderang nila. Siluet duet Merapi dan Merbabu terlihat jelas. Jernih bersih. Tanpa selubung mendung. Tanpa tirai kabut.

 

Sepertinya, pagi ini bakal menjadi pagi yang menyenangkan. #senyum

 

 

Spot pemotretan di ujung tebing dihuni Mbak Mar dan kenalan-kenalannya. Ya sudah. Mari mencari spot pemotretan lain.

 

Dari gazebo berlanjutlah menyusuri jalan setapak yang sudah ditata apik nan nyeni. Menuruni lereng bukit. Menyeruak di antara pepohonan ramping yang menjulang tinggi. Daun-daunnya berguguran. Kemarau kian mendekati puncaknya.

 

Di sudut sana, di sudut sini, para pengunjung tanpa kamera berada. Menyepi, berpasangan, atau berkelompok. Duduk sekenanya. Di rumput, di gazebo, di kayu. Sama-sama menatap ke siluet dua gunung. Menanti sang surya terbit. Menanti momen romantis itu hadir.

 

Aku? Sendiri. #hehehe

Sang istri berkumpul di atas dengan Mbak Mar.

 

 

Observasi spot pemotretan Bukit Gondopurowangi selesai. Masih ada satu-dua-tiga spot yang belum dihuni pengunjung berkamera.

 

Perlu model foto. Panggil istri saja ke bawah sini. Oh, rupanya di atas sana wanita-wanita tukang dolan sudah ramai berkumpul.

 

Lalu diajaklah sang istri ke pinggir tebing. Hamparan rumput kering agak luas. Pohon meranggas tumbuh jarang.

 

Sang istri berpose berdiri. Angin pagi nan dingin sesekali berhembus. Sejuk. Nyaman.  

 

Untung spot pemotretan ini tidak ada yang menjamah. Inilah yang engkau saksikan dari Bukit Gondopurowangi. 

 

 

Langit semakin terang. Matahari semakin meninggi. Pukul setengah tujuh. Manusia di Bukit Gondopurowangi tak banyak bertambah.

 

Di barat laut Gunung Sumbing gagah menjulang. Di belakangnya, Sindoro mengintip malu. Ada banyak gunung yang terlihat dari sini.

 

Merapi dan Merbabu masih setia berwujud siluet. Karenanya pindah ke spot pemotretan sepi kedua. Masih di pinggir tebing. Masih padang rumput. Hanya saja tidak seberapa luas.

 

Sang istri duduk di tengah ilalang yang bergoyang manja. Duduk membelakangi Gunung Sumbing. Playful.

 

Ya, karena bukan golongan pendaki beginilah cara berpose bersama gunung. #senyum.lebar 

 

Lebih bagus sepertinya jika tebing di belakang istri itu rata. #hehehe

 

 

Dari tadi berfoto model terus. Sang istri bosan. Aku pun bosan. Kenapa matahari belum terbit?

 

Eh, matahari ya sudah terbit. Karena Alhamdulillah ini bukan hari kiamat #hehehe. Hanya saja sosoknya belum tampak di langit.

 

Kira-kira pukul tujuh kurang sepuluh menit. Sang surya akhirnya menyembul dari puncak Merapi.

 

Inilah momen yang dinanti-nanti. Ketika matahari terbit dari puncak gunung. Unik. #senyum

 

 

Berduyun-duyun, mereka yang berkamera pindah ke spot pemotretan di atas. Sang surya di puncak gunung memang kurang ideal dipotret dari gazebo teratas.

 

Spot pemotretan ini sekarang ramai. Harus berbagi kesempatan dengan pemotret lain. Ya, menyingkirlah dari sini.

 

Ah, Noveria… Noveria....

 

Sekarang giliran Nove yang berpose. Banyak kamera mengabadikan gayanya. Model dan pemotret saling mendulang tenar. Bersimbiosis mendulang likes? #hehehe

 

Waktunya kurang dari satu menit. Ketika pancaran mentari beranjak terang. Ketika sang surya bertengger di puncak Merapi. Ketika wanita Tempel itu masih available untuk dipotret. #hehehe

 

Aiyooo... aku jadi tidak berselera memotret. #hehehe

 

 

Wanita yang gemar bergaya tak hanya sang istri dan Nove. Ada pula Naj yang tiba-tiba njedul dari ujung selatan Kulon Progo Binangun.

 

Sesekali ia berada di belakang lensa. Seringkali juga ikut bergaya di depan lensa. Posenya lebih enerjik dibandingkan Nove. #hehehe

 

Duh ibu guru. Bagaimana jika aksimu ter-konangan murid-muridmu? #hehehe

 

 

Matahari semakin tinggi. Pukul tujuh lewat lima belas menit. Cahayanya menyilaukan. Tidak lagi ideal untuk memotret duet Merapi dan Merbabu.

 

Udara menghangat. Perut bergemuruh. Waktu pun terlewati di gazebo teratas. Ngobrol ngalor-ngidul sambil mengunyah camilan yang dibawa Mbak Mar. All hail untuk ibunya Mbak Mar! #senyum.lebar

 

Mereka yang berkamera mulai undur diri. Beberapa yang berpasangan masih menyepi. Bapak-bapak tukang berdatangan. Proyek pembangunan Bukit Gondopurowangi berlanjut lagi.

 

 

Bukit Gondopurowangi namanya. Tidak menawarkan pemandangan Candi Borobudur layaknya Punthuk Setumbu. Akan tetapi keindahan pemandangannya boleh diadu.

 

Cakupan pemandangannya luas. Spot pemotretannya banyak. Gunung-gunung terlihat jelas. Dengan catatan, cuaca cerah.

 

Semoga saja ke depan tidak didirikan objek-objek selfie. #hehehe

 

Pukul delapan kurang lima belas menit pamit pulang. Sebelumnya, foto bersama dulu. Mengiming-imingi Tirta. #hehehe 

 

 

Kebersamaan kami terpisah di warung makan Jl. Raya Borobudur. Jalan pulang yang lebih ngalang ngulon. Bukankah rute berangkat harus berbeda dengan rute pulang? #hehehe

NIMBRUNG DI SINI