Empat hari keluyuran di Pulau Lombok. Sudah empat hari pula perkara makan menganut paham “seketemunya-seadanya”.
Oleh sebab hal langka singgah di Lombok, semestinya pula dipuaskan menyantap makanan khas sana.
Tapi, apa boleh dikata....
Empat hari berlalu, dengan urusan makan mendapat prioritas yang kurang begitu signifikan dibanding menempuh perjalanan berjarak puluhan kilometer. #hehehe
SILAKAN DIBACA
Sarapan
Akan tetapi, pada akhirnya kesempatan mengunyah makanan khas Lombok datang juga.
Tepat pada hari kelima. Pada Rabu pagi (9/5/2018), beberapa jam sebelum terbang meninggalkan Nusa Tenggara Barat.
Oleh karena hotel tidak menyediakan sarapan cuma-cuma, jadilah pada pukul 07.00 WITA, aku dan sang istri terlucyu berjalan kaki dari Jl. Palapa menyeberangi Jl. Panca Usaha. Semata-mata, demi menyambangi tempat makan dengan nama yang cukup menggoda.
Rumah Makan Sederhana
Murah Meriah
Singkat cerita, dipesanlah dua porsi nasi campur dan segelas teh panas. Air putih berwujud kemasan 240 ml. Adapun kerupuk dicomot guna membungkam orkes perut.
Singkat waktu, hadirlah dua piring nasi campur di meja makan. Kering tempe, abon daging (sepertinya #hehehe), tumis wortel & labu siam, serundeng-kacang, dan suwiran ayam pedas menjadi selimut nasi.
Mirip seperti nasi rames yang jadi santapan ketiga terfavorit di Warmindo. Tapi, nasi campur ini beserta jumlah lauk dan rasanya lebih bisa dipertanggungjawabkan.
Enak. Skornya 7,5 dari 10 lah.
Aku lagi nggak mood makan yang pedas-pedas pagi hari.
Sepuluh menit kemudian makanan habis. Perut kenyang. Tibalah saatnya membayar.
Lumayan kaget. Dengan semua yang kami santap, satu lembar uang biru menyisakan kembalian selembar uang cokelat.
Sayang tak ada sesi tanya-jawab dengan ibu warung. Jadi, diasumsikan seporsi nasi campur setara dengan selembar uang hijau.
Benarkah segitu?
Jajanan
Misi Rabu pagi berlanjut dengan berburu jajanan. Perjalanan pulang masih panjang. Di tengah jalan, siapa tahu perut butuh camilan? #hehehe
Jadi, disusurilah Jl. Palapa II ke selatan, menuju Pasar Karang Jasi. Sepanjang jalan banyak juga warung nasi. Mungkin harga nasi campur di sana lebih miring.
Tapi ya sudahlah....
Nggak ada lima menit, kami pun tiba di muka pasar. Di sana banyak cidomo terparkir. Sayang sekali sang istri belum berkesempatan menikmati sensasi naik cidomo. #hehehe
Pasar Karang Jasi pun dimasuki. Berkelilinglah kami melihat-lihat suasana pasar tradisional di pulau seberang.
Dibanding pasar tradisional Jogja, perbedaan yang mencolok adalah adanya lapak yang menjajakan perabot sesaji umat Hindu. Lapak hasil laut juga lebih banyak.
Tak seberapa lama, ditemukanlah lapak jajanan pasar. Ia seakan terasing di antara lapak-lapak sayur-mayur dan hasil laut.
Jujur apa adanya, terbongkarlah kami sebagai warga negara bukan dengan nomor awal KTP 52. Sempat terpikir harga jajanan bakal berfluktuatif. Apalagi jika mempertimbangkan kamera yang sedari tadi terkalung.
Akan tetapi, kembali terkejutnya ketika sang ibu bilang bahwa boleh membeli jajanan seharga berapa pun. Beli Rp2.000 diperbolehkan oleh sang ibu.
Hmmm, inilah nikmatnya pasar tradisional! #senyum.lebar
Sang istri pun membeli tiga jenis jajanan pasar. Masing-masing seharga Rp2.000. Mereka terbuat dari olahan singkong, jagung, dan kelapa.
Menjelang pukul delapan kami pun kembali ke hotel. Barang-barang bawaan masih menanti untuk dikemas.
Hikmah yang didapat pada pagi ini adalah pasar tradisional tetap menjadi tempat mencari makanan dengan harga yang ekonomis. #senyum