Sebagai seorang muslim yang tumbuh besar di lingkungan muslim, otomatis aku nggak tahu-menahu tentang ritual ibadah agama-agama lain. Yang aku tahu, ya di kalender ada hari bertanggal merah dan itu jadi hari libur nasional. Sesederhana itu.
Selebihnya? Mbuh!
Jikalau aku bertanya, “Pantaskah kita tahu ritual ibadah agama lain?”, mungkin sebagian besar dari kita akan menyatakan “tidak!”. Bahkan mungkin, bakal ada yang menyeret-nyeretnya ke wilayah “tindakan berdosa”.
Jujur, buatku yang seperti itu bikin penasaran. Sewaktu kecil aku kerap bertanya-tanya, Paskah itu seperti apa? Waisak itu milik Hindu atau Buddha? Kenapa saat Nyepi di Bali jadi seperti tidak ada orang?
Rasa penasaran ini semata-mata bukan karena tertarik berpindah keimanan lho ya! Sebagai seorang warga negara yang hidup di negara yang masyarakatnya beraneka-ragam, menurutku sepatutnya kita mengetahui tentang ritual ibadah agama lain.
Tidak perlu tahu secara detil. Paling tidak, kita tahu latar belakang ibadah mereka dan apa saja yang mereka perbuat pada saat itu. Sehingga (ini nih yang paling penting), kita sebagai pemeluk agama lain tahu harus bersikap seperti apa tatkala mereka tengah menjalankan ibadahnya.
Saat singgah di Gereja Hati Kudus Yesus, Ganjuran, Bantul, DI Yogyakarta aku menyempatkan diri untuk duduk di salah satu bangku panjang kapel. Aku mencoba merasakan suasana saat umat Katolik memanjatkan doa di sana.
Ini yang aku maksudkan dengan toleransi antar umat beragama. Sebuah kesadaran diri, bagaimana sebaiknya kita bersikap menghormati orang lain yang berbeda dengan kita.
Menurutku, sifat seperti ini masih langka di masyarakat kita. Masyarakat kita kurang bisa menghargai perbedaan. Mungkin, perbedaan baru akan dihargai mahal jika dikenai peraturan yang mengikat. Yakni, jika kamu melanggar maka kamu diberi sanksi (berat). Seperti itu.
Tapi sebetulnya, dari sekian banyak adegan mblusuk-mblusuk yang mengantarkanku untuk menyaksikan ritual ibadah agama lain, sebenarnya mereka hanya butuh satu hal.
KETENANGAN
Ketenangan bisa juga bukan suasana hening, melainkan rasa tenang menjalankan ibadah tanpa ada gangguan dari luar.
Aku tidak perlu menjelaskan panjang lebar lagi. Seandainya saja kita semua paham bahwa setiap dari kita yang beribadah, apa pun agamanya, membutuhkan ketenangan... ah, pastilah prosesi Waisak di Candi Borobudur yang kisruh itu tak kan pernah terjadi.
Hayo! Pembaca pas ada pemeluk agama lain beribadah melakukan apa? Diam di rumah atau...
NIMBRUNG DI SINI
Semoga ke depannya antar umat beragama saling menyayangi lagi.
kekuatan iman, semakin besar ujiannya... jadi itulah yang disebut kesabaran tanpa batas
pada lingkungannya. Sekarang ini banyak yang tidak mendapatkan ketenangan dalam
beribadah, jangankan ketenangan... mau beribadah aja udah ga bisa krn tempat
ibadahnya dibakar atau disegel oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab.
gereja Ganjuran, lama ga pernah menyambanginya :)