Yang akan segera menjumpai maut.
Suatu malam aku kebetulan diberi kesempatan untuk berbincang-bincang dengan salah satu tetanggaku. Tetanggaku itu adalah mantan anak mushalla, yang kini juga masih aktif sebagai pembina. Mendekati Idul Adha, tetanggaku tersebut bertugas untuk mencari hewan kurban dan para shahibul kurban (orang yang berkurban). Dari tetanggaku tersebut, mengalir beragam kisah yang mewarnai suka-dukanya menjadi petugas kurban.
Di tengah krisis global seperti ini, jelas mau-tidak-mau harga-harga komoditi merangkak naik, termasuk di antaranya adalah harga hewan-hewan sapi dan kambing. Apalagi semakin mendekati Idul Adha, yang berarti permintaan dari pasar yang semakin banyak juga membuat harga sapi dan kambing semakin menukik naik. Okelah kurban juga erat kaitannya dengan hukum ekonomi, permintaan banyak, stok sedikit, akibatnya harga naik. Jadi kita mau kurban hewan atau kurban uang sih?
Bisa dibayangkan harga sapi ukuran standar sebelum Idul Adha, bisa berkisar antara 5,5 juta dan harganya akan meroket menjadi 6 koma sekian juta saat mendekati Idul Adha. Kambing juga tidak mau kalah, mendekati Idul Adha harga seekor kambing bisa menembus harga 1 juta. Lucunya, di tengah kompetisi harga itu, masih ada yang membeli sapi-sapi dengan harga belasan bahkan puluhan juta setiap minggunya. Jadi, sebenarnya orang kaya itu masih banyak tapi siapa mereka?
Kita hitung secara matematis sederhana saja. Harga sapi ukuran standar mendekati Idul Adha adalah sekitar 6,3 juta. Kalau satu sapi bisa dibagi ke 7 shahibul kurban, berati masing-masing shahibul kurban hanya perlu mengeluarkan biaya Rp. 900.000,- saja. Bandingkan jika shahibul kurban itu memilih berkurban kambing yang harganya minimal 1 juta saat mendekati Idul Adha. Bukankah mereka bisa berhemat?
Tapi masih ada yang bersikeras berkurban kambing, karena Nabi Ibrahim sendiri pada waktu itu menyembelih domba dan bukan sapi. Mereka berpikir kalau tidak kambing ya tidak sah. Tapi mereka itu apa mengerti bedanya kambing dengan domba? Kalau begitu sekalian cari saja domba dan jangan kambing dan jangan juga heran kalau harga domba lebih mahal dari kambing.
Ada juga shahibul kurban yang berkurban kambing tetapi pada saat pembagian daging kurban mereka meminta jatah daging sapi. Alasannya sederhana, entah karena mereka memang tidak boleh makan daging kambing karena faktor kesehatan atau karena masalah rasa saja. Ada juga yang tidak mau membayar biaya perawatan hewan kurban, nah kalau begitu apakah mereka mau membersihkan sendiri tai-kotoran hewan kurban mereka?
Dengan mendengar cerita-cerita itu aku masih bisa tersenyum. Rupanya mereka yang mengaku taat beragama masih berbuat ”lucu” dengan kurban mereka sendiri. Ah, tapi itu juga belum lagi ditambah kisah-kisah dari para panitia dan juga penjagal hewan kurban.
Kalau dipikir-pikir apa yang kita lakukan (maunya) atas dasar agama, kadang malah (selalu) didasari sifat egois dan ketamakan diri sendiri. Aku nggak mau berceramah tentang makna Idul Adha yang senantiasa saya dengar setiap kali Salat Ied. Tapi yang jelas, akhir-akhir ini aku merasa perbuatan manusia, yaitu ibadah, hanya semacam gali-tutup lubang-dosa saja.
Dengan semua itu, bisa aku maklumi karena kita semua, masih manusia yang berusaha dan mengaku beriman kepada yang Maha Kuasa.
NIMBRUNG DI SINI
so, berkurbanlah kalau sudah mampu suatu saat. aku tahu kau mampu melakukannya.