Mudik alias pulang kampung sepertinya sudah menjadi tradisi bagi mayoritas penduduk Indonesia. Sepengetahuanku, mudik itu nggak terbatas ketika kita bicara tentang hari raya Idul Fitri alias lebaran saja. Setiap ada hari raya keagamaan yang diperingati secara kolosal, umumnya penduduk Indonesia yang merayakannya bakal mudik.
Sebab mudik itu maknanya sederhana, PULANG!
Apa pun dilakukan untuk pulang ke rumah?
Faktor Mudik
Yang berikut adalah berbagai faktor yang umumnya mendorong orang untuk mudik.
- Sebab ada hari libur dan biasanya hari libur itu dirangkai bersama beberapa hari yang semula tidak libur menjadi pekan liburan. Liburan itu identik dengan bersenang-senang bukan?
- Penduduk Indonesia umumnya punya ikatan kekerabatan yang kuat. Ah...betapa senangnya bila dapat berkumpul bersama keluarga tercinta dalam khusyuknya peringatan hari besar keagamaan...kira-kira seperti itulah!
Sejauh dari apa yang aku tulis di atas, aku masih memandang mudik sebagai sesuatu yang...damai, indah, dan menyenangkan.
Tapi pandangan itu jelas berubah jungkir-balik, 180 derajat, tatkala realita yang kita temui berujar:
Sudah terlampau banyak + banget + sekali orang yang mudik!
Anak-anak ini memilih untuk memulung sampah plastik yang dibuang oleh pemudik di sepanjang jalan.
"Penyakit"
Seperti yang kita tahu, ada pepatah yang mengatakan bahwa sedikit itu obat, banyak itu penyakit. Jumlah pemudik memang erat kaitannya dengan “penyakit”, tatkala kita berhadapan dengan rincian tragedi naas di jalan raya sepanjang masa mudik berlangsung. Buntutnya, berbagai pihak saling tuding mencari letak kesalahan demi jawaban atas harapan “Kalau saja ...”.
Berbekal logika ilmu matematika semata, aku yang awam ini berpikir bahwa “penyakit” ini ... sulit untuk dicari jalan keluarnya.
Ambil contoh:
Pulau Jawa, luasnya dari dulu tidak pernah bertambah kan?
Penduduk pulau Jawa, makin hari makin bertambah banyak.
Ruas jalan di pulau Jawa, sangat lambat pertambahannya.
Jumlah kendaraan di pulau Jawa, makin hari makin bertambah banyak banget.
Bisa dibayangkan kan permasalahan yang muncul, kalau pada suatu kurun waktu terjadi peningkatan mobilitas di hampir seluruh pelosok Pulau Jawa?
Korban berjatuhan termasuk mobil yang kuat melahap medan mudik.
Masuk Akal Jadi Tak Masuk Akal
Lucunya, para pemudik umumnya kuat “menahan sakit”. Mungkin karena tak tahu bagaimana “menyembuhkan penyakit” ya? Atau tak ada pilihan lain karena “Mau bagaimana lagi?”.
Jalur mudik yang sempat aku icipi di suasana Idul Fitri 1432 H ini adalah jalur selatan lintas 3 provinsi, yang menghubungkan Bandung – Garut atau Tasikmalaya – Ciamis – Banjar – Cilacap – Kebumen – Purworejo – DI Yogyakarta.
Kemacetan parah membuat hal-hal yang dulu masuk akal menjadi tak masuk akal. Seperti jarak 60 km ditempuh selama 4 jam dan macet mendadak di tengah malam.
Kalau mau “menyalahkan” kondisi jalan, ya memang beberapa ruas jalan termasuk dalam kategori jahanam (buat kendaraan bermotor aja jahanam, apalagi buat sepeda ). Seperti tanjakan di Nagreg (Garut) dan Gentong (Tasikmalaya) yang hampir securam Cinomati. Juga, ruas jalan dari Garut hingga Kebumen yang seperti membelah hutan pinus Mangunan.
Singkat cerita, banyak tanjakan dan ruas jalannya berkelak-kelok, sehingga tak mungkin bisa bersantai memacu kecepatan 120 km/jam hingga sampai di tujuan.
Berbagai rumah makan hanya menyediakan menu prasmanan dan untuk menu sederhana pun harganya naik.
Tambah Lama, Tambah Parah
Jadi, dari apa yang aku utarakan di atas, pilihan mudik menggunakan jalur darat akan menimbulkan penyakit yang kian lama akan bertambah parah. Tidak menutup kemungkinan, pengalihan dari jalur darat ke jalur udara ataupun jalur laut juga akan membawa penyakit yang serupa.
Intinya, permasalahan mudik ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah pemudik yang tidak diimbangi oleh peningkatan sarana dan prasarana transportasi.
Sekian dan terima kasih (beh! Udah kayak ceramah aja )
NIMBRUNG DI SINI
#mengelus dada...