Aku terdiam di dalam sebuah gerbong kereta api yang membawaku dari Surabaya menuju Jogja. Hari itu adalah hari Senin, namun sepertinya orang-orang tetap saja memadati gerbong kelas ekonomi itu. Dengan tarif tiket yang hanya Rp26.000 untuk tujuan Surabaya-Jogja-Jakarta, jelas terasa sangat nikmat di kantong masyarakat menengah ke bawah.
gambar dipinjam dari http://denni-keren.blog.friendster.com/files/ekonomi-1.jpg
Pemandangan di gerbong kereta ekonomi kontras dengan gerbong kereta eksekutif. Di sini ada banyak orang yang menggantungkan hidup mereka di atas kereta. Pedagang asongan yang hilir-mudik ke sana ke mari. Mereka melemparkan barang dagangannya ke penumpang. Sebuah teknik promosi yang unik namun licik. Kalau tak mawas diri bisa-bisa kita disuruh untuk melunasi barang dagangannya itu.
Di gerbong ekonomi inilah contoh potret riil bagaimana masyarakat menengah ke bawah di negeri ini bertahan hidup.
Ada pedagang, pengamen, dan pengemis yang melaju dari gerbong ke gerbong.
Ada para penumpang yang menanti penuh harap untuk sampai di kota besar.
Ada pula para petugas kereta api yang kerap memancing di air keruh.
Diriku menyaksikan mereka semua, sempat berpikir;
Apakah sesulit itukah bertahan hidup hingga mereka kerap mengorbankan segalanya?
Berperilaku tak teratur asalkan mendapat imbalan uang?
Terlalu rumit hingga aku tak mengerti.
Kereta berhenti di Stasiun Lempuyangan. Diriku turun dan meninggalkan mereka yang hendak bertolak ke Jakarta. Tujuh jam lagi. Selama itu mereka akan terus menggeliat berusaha bertahan hidup.
NIMBRUNG DI SINI
pengalamanan naik kereta ekonomi jkt-jgja
th 2016, pertama naik kereta walau tiap
penumpang sudah duduk dibangku masing2
dan ber-ac, ttp saja duduk saling berhadapan dg orang asing terasa sangat sumpek & tak
nyaman, sayang aku lupa nama keretanya.
Pengalaman pertama dan terakhir pakai
kereta ekonomi, setelah itu selalu pakai
kereta bisnis, sesekali eksekutif kalau tiket
bisnis habis.
masalah ekonomi memang hal yang susah untuk dipraktekan ilmunya. Apalagi ketika
terdapat jurang yang cukup tinggi antara kaum bawah dan kaum atas, ah tidak perlu
atas, kaum bawah dan tengah saja. Seperti di Indonesia ini, negeri tercinta ini..
ada pengasong,ada punumpang
hanya yang bekerja keras,yang mampu hidup
justru di kereta ekonomi,kita diuji keberanian hidup.
orang menjadi ulet dan cerdas menyiasati hidup.
aku suka naik keretta ekonomi,
karena di sana,aku menemukan pencerahan dalam berbisnis.
dalam inspirasi.
ck..ck.. bener2 potret riil tapi nyebelin juga cara gak jujurnya begitu...
Saya selalu pura-pura tidur kalau ada pedagang yang gitu. Mereka mau taruh apa di pangkuan saya, saya nggak mau tau. Saya baru melek lagi kalo mereka udah ngambil barangnya dari pangkuan saya.
Pas mau demo ke Jakarta aku juga merasakan hal yang sama denganmu Wij, merasakan ketidakteraturan. Membuatku g nyaman menaiki kereta ekonomi, tetapi disitu ternyata ada hikmah. Di sepanjang hari, ada orang2 yang mencari nafkah ketika yang lain tertidur pulas di rumah mereka
di eksekutif, coba deh tengok ke bagian restorasi. pramugara-nya kalo tengah malam kadang ada yg mabok (tidak semua kereta eksekutif sih, tapi beberapa begitu) dan karaoke dangdutan (dan menjual miras)..
:)
Baru tahu ya ?! Namanya juga muraaaaaaaaaahhhh !!
Paling diingat waktu ada stiker dari PT KAI ditempel di dinding gerbong, tulisannya \"dilarang berjualan di atas kereta api\"... lha kok malah ada yg iseng ditulisi, \"kita jualannya di dalam kereta kok\" :)
Begitu lah hidup mas, terkadang mereka yg punya kuasa untuk merubah itu semua, gak mengetahui dan gak mau tahu masalah2 yang terjadi. Mereka terlena dengan kereta-kereta eksekutifnya. Gak pernah terjun kelapangan. Dan ini terjadi disemua lini kehidupan...
Yang buatku tampak seperti simbiosis mutualisme: aku (sebagai penumpang matar) membutuhkan mereka, mereka membutuhkan orang2 sepertiku. Karena dengan perjalanan 18 jam dan minim fasilitas, kami membutuhkan mereka yang menyediakan makanan, minuman, tempat tidur, hingga membersihkan sampah2 kami.
Kupikir begitulah cara warga kelas bawah hidup: dengan saling menyokong yang lain.
kasihan rakyat kita musti berhimpitan dalams ebuah gerbong yang terkadang buat napas aja sesak rasanya
alhamdulillah sekarang kagak