Rabu malam (28/1/2009), pas aku lagi berkutat dengan angka-dan-huruf di layar monitor, handphone-ku mendadak bergetar. Di layar tertulis RumahSawo yang berarti si penelpon menelpon dengan telepon rumah #halah dari rumah di Jakarta. Kuangkat teleponnya, dan terdengar suara seorang wanita yang sudah tidak asing di telingaku,
"Halo, Assalamualaikum, Mas Wisna..."
"Walaikumsalam, Eh Yu Darti..."
Yu Darti bersama keluargaku.
Ingatan pun mendadak melayang ke beberapa hari silam. Aku ditelpon Ibu. Beliau mengabarkan Yu Darti sebentar lagi mau pamit alias tidak bekerja lagi untuk keluargaku.
Aku nggak terlalu kaget mendengar berita itu. Soalnya, beberapa tahun silam Yu Darti sudah pernah mengungkapkan keinginan yang serupa. Alasannya bukan karena sudah nggak betah kerja. Tapi karena Yu Darti ingin konsentrasi mengurus suami serta anaknya yang dua-duanya bekerja di Grogol, Jakarta Barat.
Dahulu, Yu Darti mengurungkan niatnya karena faktor keuangan keluarganya. Untuk kali ini sepertinya Yu Darti sudah mantap.
Kondisi rumah Jakarta sekarang juga sudah sangat sepi. Bapak, Ibu, dan Tiwul lebih sering berdomisili di Bandung. Sementara aku sendiri tinggal di Jogja. Apa mungkin Yu Darti pelan-pelan kehilangan nuansa saat kami dulu sekeluarga masih tinggal di Jakarta ya? Mungkin itu juga yang semakin memantapkan niatnya. Entahlah.
"Yu Darti mau pamit ya...?"
"Iya Mas, Yu Darti mau pamit, nggak kerja lagi, terima kasih buat semuanya ya..."
Seterusnya Yu Darti seakan mengilas-balik apa-apa yang pernah dirinya lakukan sewaktu mengabdi di keluargaku. Selama 22 tahun. Bersamaku.
Buat Pembaca, mungkin angka 22 itu tergolong kecil, masih ada angka 100, 1000, atau 1 juta. Tapi 22 tahun itu, sama dengan 264 bulan, atau kurang lebih 7920 hari, itu lamanya masa Yu Darti mengabdi untuk keluargaku. Kalau pembantu rumah-tangga biasa, paling lama bertahan sekitar 3-5 tahun, kalau Yu Darti bisa 22 tahun!
Apa arti 22 tahun itu?
Saat tulisan ini terbit, usiaku masih berada di angka 22 tahun. Itu artinya, Yu Darti sudah mengabdi dari semenjak aku bayi hingga aku mau lulus kuliah. Lama juga kan?
Aku mencoba mengingat-ingat apa saja momen-momenku bersama Yu Darti. Saat aku kecil, SD, aku teringat sering membuat Yu Darti repot dan bahkan menyakitinya. Tapi seiring dengan bertambahnya usiaku, seiring dengan makin bermoralnya aku, aku jadi bertambah-dan-tambah dekat dengan Yu Darti.
Itu dua-puluh-dua tahun, ada orang yang bersamamu selama itu, dan apakah kamu tidak menganggapnya sebagai bagian dari keluargamu? Walau ia tidak sedarah dan sedaging dengan dirimu?
Aku membantu mengajarinya membaca. Aku membantu mengajarinya menulis. Aku membantu mengajarinya berhitung. Menyuapiku ketika aku masih kecil. Menidurkanku ketika aku masih kecil. Memandikanku ketika aku masih kecil. Bermain denganku ketika aku masih kecil. Merawat kucing-kucingku dan sekaligus menguburkan mereka. Merawatku ketika aku sakit. Mengobati bisul di pantatku #serius. Mencarikan benda-benda aneh untuk pelajaran sekolahku. Itu belum termasuk kegiatan sehari-harinya, seperti memasak, mencuci, merawat rumah dan lain sebagainya. Walau aku sering mengeluh kalau masakannya tidak enak, tapi aku tetap menyantapnya, menikmatinya. Ia temanku, kala Bapak dan Ibu tidak di rumah, kala mereka naik haji. Ah ingatanku jadi tidak karu-karuan. Aku tidak bisa mengenang semuanya. Tapi entah kenapa beberapa air mataku meleleh ketika menulis alinea ini. Cengeng ya? Hehehe.
Yu Darti.
Selama 22 tahun itu, mungkin ia menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga kami. Menjadi anggota keluarga kami. Semua mengenalnya, baik saudara-saudara, kerabat-kerabat, dan tetangga-tetangga. Yu Darti dan kami saling mempercayai satu dengan yang lain.
Ah, tapi, ya sudahlah, setidaknya Yu Darti masih berada di salah satu tempat di Jakarta Barat kelak. Sewaktu-waktu jika aku membutuhkan dirinya, tidak sesulit jika Yu Darti pulang ke kampung halamannya di Gombong, Jawa Tengah.
...Mas, udahan dulu ya. Eh ya, Semoga nanti Mas Wisna menikah, dapet istri yang saleh, bisa ngerawat keluarga, ntar kalau nikah undang-undang Yu Darti ya. Yu Darti mau nangis nih...
Menikah? Itu salah satu topik yang belum terpikirkan olehku. Bahkan aku masih kebingungan memahami perasaan yang ada di dalam diriku saat ini. Menikah, kalau kata orang-orang adalah babak baru di kehidupan seseorang. Selama ini aku bisa melalui babak-babak itu berkat doa dan usaha dari kedua orangtuaku dan juga Yu Darti. Hadir di babak itu, bagi Yu Darti mungkin menjadi penutup dari serangkaian hidup yang telah ia habiskan bersama keluargaku, denganku. Walau aku belum bisa memastikan kalau babak itu akan ada.
Ucapan Terima Kasih, hanya sebuah kata rasanya sangat hina untuk bisa membalas pengabdian Yu Darti selama 22 tahun ini, tapi hanya itu yang bisa kuberikan...dan selamanya mungkin aku tidak akan bisa berterima kasih kepada Yu Darti...
...selama 22 tahun...
NIMBRUNG DI SINI
Paling tdk doanya Yu Darti telah terkabul, sampeyan dah nikah sama wanita yang suka ngluyur, tapi biarpun suka ngluyur semoga tetep jadi istri yang sholihah dan pinter masak.
Aamiin...
Hihihi, matur nuwun doanya. :D
Mungkin ga akan bisa membalas pengabdian Yu Darti, tapi mewujudkan harapan beliau insya Allah akan membuatnya bahagia.